CULTURE

14 November 2020

Melati Suryodarmo Berbahasa Seni Lewat Tubuh


Melati Suryodarmo Berbahasa Seni Lewat Tubuh

Lewat seni rupa pertunjukan, Melati Suryodarmo menganalisis dan menjadikan tubuh sebagai subjek sekaligus gagasan dalam berkarya.

Salah satu seniwati kontemporer Indonesia yang dikenal akan karya performanya yang menantang fisik dan berdurasi panjang. Dalam nyaris 30 tahun, Melati Suryodarmo telah mencipta 50 karya seni rupa pertunjukan. Pertunjukan Melati menyuguhi kita komposisi seni yang luar biasa, memadu tari, teater, dan bahkan arsitektur.

Tema-temanya bertumpu pada pengalaman perempuan yang mempertanyakan diri, cinta, nasionalisme, dan sejarah. Seniwati Indonesia yang mendunia ini meyakini psikologi manusia terbentuk oleh sejarah, pengalaman hidup, dan memori. Meski karyanya berangkat dari hal pribadi, ia berupaya mempertemukan pengalamannya dengan pengalaman orang lain. Dalam pertunjukan I Love You, Melati menopang selembar kaca tebal berukuran 80x200 cm seberat 36 kilogram. Ia menari sembari mengucap kata “I Love You” yang dilakukannya selama 5 jam. “Ribuan kali mengatakan ‘I Love You’ sambil mengawasi selembar kaca besar bukanlah pekerjaan ringan. Dan pada akhirnya, pernyataan ‘I Love You’ menjadi tidak penting dibanding pengorbanan dalam upaya menjaga kaca besar,” kata Melati mengungkap makna.

wawancara eksklusif melati suryodarmo
Butter Dance (2000)

Jalannya dalam melakoni seni rupa pertunjukan bagai sebuah takdir. Ibunya seorang penari. Ayahnya, Suprapto Suryodarmo, adalah seniman tari yang mendirikan Padepokan Lemah Putih yakni tempat pembelajaran Joget Amerta, sebuah seni gerak dan tari, sekaligus pusat pengembangan kesenian lewat lokakarya dan festival seni di Solo, Jawa Tengah. Tahun 2012, Melati kemudian mendirikan Studio Plesungan yang fokus pada pengembangan seni rupa pertunjukan, seni tari kontemporer, dan seni eksperimental. Semasa kuliah di Universitas Padjadjaran Bandung, Melati aktif mengikuti kegiatan teater. Ia lantas menekuni seni rupa pertunjukan saat kuliah di Hochschule für Bildende Künste Braunscheweig, Jerman, tahun 1994.

Selama tahun 1988-1995, Melati melakukan berbagai pentas tari dan teater di Indonesia dan Jerman. Selanjutnya, ia mulai sering mengadakan pertunjukan di berbagai negara, antara lain Jerman, Inggris, Denmark, Italia, Irlandia, Spanyol, Republik Ceko, Kanada, Belanda, Swiss, Australia, Finlandia, Singapura, Prancis, Swedia, Malaysia, Belgia, Norwegia, Amerika Serikat, Portugal, Kroasia, Polandia, Estonia, dan Hongkong. Bertahun-tahun kita mengenal Melati Suryodarmo lewat berbagai pertunjukan berdurasi panjang, di antaranya yakni I Love You (2007) dan I’m a Ghost in My Own House (2012). “Apa yang saya kerjakan merupakan pendobrakan atas kemapanan medium seni dan segala sistem aturan waktu dan ruang. Tubuh berproses menjadi sebuah peristiwa dalam kerangka artistik yang telah dirancang sesuai kebutuhan karya,” ujarnya.

wawancara eksklusif melati suryodarmo
I’m a Ghost in My Own House (2012)

Bagaimana awal ketertarikan Anda pada seni pertunjukan?

“Ibu saya penari, sedangkan ayah seorang seniman gerak dan tari. Waktu kecil saya belajar tari Jawa dan ikut aktif di kelompok teater semasa kuliah di Bandung. Suatu hari, saya melihat film dokumenter tentang Joseph Beuys, pelaku seni performans dari Jerman. Saya kemudian terinspirasi dan akhirnya menginspirasi saya untuk menekuni seni performans. Tahun 1994, saya mulai belajar seni rupa khususnya seni performans di perguruan tinggi seni di Braunschweig, Jerman."

Bagaimana kisah didirikannya Studio Plesungan dan Padepokan Lemah Putih?

“Padepokan Lemah Putih didirikan oleh ayah, almarhum Bapak Suprapto Suryodarmo, pada 1983. Tempat ini utamanya didirikan sebagai pusat pembelajaran Joget Amerta, sebuah seni gerak dan tari yang diciptakan oleh Suprapto Suryodarmo. Padepokan ini mengadaptasi sistem sekolah seni tradisional yang memiliki jaringan internasional di mana kegiatannya tidak hanya proses pembelajaran, tapi juga mendukung perkembangan kesenian melalui lokakarya dan festival. Awalnya saya banyak melibatkan diri di Padepokan Lemah Putih, namun pada tahun 2012 saya mendirikan Studio Plesungan. Di sini saya fokus pada pengembangan seni performans, seni rupa, seni tari kontemporer, dan seni eksperimental. Bentuk kegiatannya berupa laboratorium seni, workshop, dan ajang pentas OnStage yang digelar 2 bulan sekali. Solo Butoh (festival butoh), serta kelas pelatihan seni tari anak-anak. Studio Plesungan juga mengadakan undisclosed territory sebuah festival seni performans internasional yang sudah sebelas kali diadakan. Studio Plesungan bekerja secara sederhana namun berkesinambungan sebagai wadah pertemuan berbagai seniman dengan latar belakang praktik seninya untuk mengembangkan kemampuan dan pengetahuan atas praktik seni.“

Mengapa Anda memilih berkarya lewat seni performans yang menantang fisik serta berdurasi panjang?

“Saya menekuni seni performans yang berdurasi panjang dengan berbagai motivasi dan kecintaan saya pada bentuk seni ini sejak lebih dari 20 tahun lalu. Seni performans berdurasi panjang merupakan salah satu cara untuk melakukan pendobrakan atas kemapanan medium seni dan segala sistem atas ruang dan waktu. Tubuh yang berproses menjadi sebuah peristiwa dimana perubahan adalah kejadian organik yang amat dekat realita kehidupan."

Sejauh mana peran dan pengaruh Anzu Furukawa dalam perjalanan Anda?

“Saya mengenal Anzu Furukawa saat menekuni seni rupa pertunjukan sewaktu kuliah di Hochschule für Bildende Künste Braunscheweig, Jerman, tahun 1994. Saat itulah saya mengenalnya sebagai seorang koreografer butoh yakni seni gerak tari Jepang yang dirintis tahun 1950-an. Ia salah satu guru saya yang penting dan berpengaruh. Tidak hanya dalam berkesenian dan penciptaan karya, tetapi juga sebagai sosok perempuan inspiratif. Dengan kedisiplinan tinggi, ia membimbing dan mengajarkan saya bahwa harus ada keselarasan antara tubuh dan pikiran. Banyak hal saya dapatkan dari proses mengasah ilmu bersama Furukawa. Mulai dari riset untuk menghadirkan gagasan serta mencari keindahan bentuk koreografi dari hal-hal tak lazim seperti serangga, orang sakit, dan tubuh yang telah mati. Ia juga mengajarkan saya pentingnya manajemen produksi pertunjukan dan proses riset sebelum membuat karya.”

wawancara eksklusif melati suryodarmo
Why Let the Chicken Run? (2001)

Selain Furukawa, pertemuan Anda dengan penampil sekelas Marina Abramović juga tak kalah penting. Bagaimana pengaruhnya dalam karya Anda?

“AbramoviĆ mempengaruhi saya dalam memahami seni rupa pertunjukan serta menyikapi seni dengan cara profesional. Praktik seni rupa pertunjukan berdurasi panjang merupakan metode yang beliau turunkan sebagai salah satu cara mengembangkan karya. Ia juga mengajarkan saya bahwa kerja keras yang beretika yang akan menentukan ke mana arah seorang seniman. Ia juga menginspirasi saya agar tidak berhenti berkarya meski usia tak lagi muda.”

Dalam pertunjukan berdurasi panjang, apakah artinya Anda memahami seni pertunjukan sebagai bentuk meditasi?

“Konotasi kata ‘meditasi’ sering menjebak kita pada pemahaman spiritualitas, sementara melakukan performans dalam kurun waktu yang panjang adalah bentuk penguraian keberadaan kita dalam konsep waktu. Problemnya, kita kerap kali tak menyadari keberadaan waktu melakukan rutinitas tanpa memperhatikan nilai dari sebuah kejadian. Bagi saya, seni performans berdurasi panjang bukanlah sebuah meditasi. Meskipun pada pelaksanaannya, salah satu teknik latihan yang saya lakukan adalah melatih kesadaran melalui meditasi.”

Eins und Eins (2016)

Bagaimana proses persiapan Anda dalam melakukan ‘Long Durational Performances’?

“Setiap persiapan berbeda-beda. Ada kalanya saya melatih pernapasan dan kekuatan otot tangan yakni ketika saya hendak melakukan pertunjukan I’m a Ghost in My Own House dan I Love You dimana saya banyak membutuhkan kekuatan otot tangan dan lengan. Pada kesempatan yang lain, saya latihan berdiri tenang dan fokus. Saya juga melakukan beberapa pantangan nutrisi untuk menjaga metabolism dan peredaran darah, serta mengatur waktu agar istirahat yang cukup dan hemat berbicara.”