8 September 2020
Mengenal 5 Penulis Perempuan Indonesia
Penulis perempuan memberikan warna tersendiri bagi dunia sastra di Indonesia. Penulis perempuan mendobrak dengan sajian sudut pandang yang berbeda.
Saya ingat kali pertama mengenal buku Nh. Dini adalah ketika saya duduk di bangku SMP. Karyanya yang saya baca pada waktu itu berjudul Pada Sebuah Kapal. Kala itu, saya mengira Nh. Dini adalah nama pena dari seorang laki-laki. Hingga akhirnya saya tahu bahwa Nh. Dini adalah nama penulis yang bernama asli Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin. Saat itu saya kagum sekaligus terkejut. Di dalam dunia sastra yang didominasi laki-laki, saya menemukan seorang perempuan dengan karya yang memukau.
Nh. Dini tidak hanya memukau karena beliau seorang perempuan. Lewat karya-karya Nh. Dini, saya jadi tahu bahwa karya sastra tidak harus selalu memiliki tata bahasa tingkat tinggi yang sulit dimengerti dan digapai oleh keterbatasan kosakata banyak orang. Rangkaian katanya tetap indah, meski tidak perlu dibaca berulang kali untuk mencerna maknanya. Sampai akhirnya tahun 2000-an, saya mulai mengenal satu per satu para penulis perempuan. Di tengah kebangkitan penulis perempuan kala itu, sayangnya muncul label kurang mengenakkan. Sastra wangi. Sebuah istilah khusus bagi penulis perempuan, khususnya penulis yang mengangkat persoalan perempuan dan kesetaraan gender.
Kebanyakan penulis perempuan lebih berani dalam berekspresi dan berkata-kata. Hal ini ditandai lewat upaya menggambarkan seksualitas perempuan yang lebih gamblang, serta memutarbalikkan penggambaran tokoh perempuan dari yang lazim tergambar dalam karya-karya sastra sebelumnya. Pada karya-karya penulis perempuan, kaum perempuan digambarkan sebagai sosok yang kuat dan berani.
Keberadaan penulis perempuan dalam dunia sastra ibarat memberi warna dalam jagat literasi di Indonesia. Kesan feminin yang kuat membawa pembacanya pada nuansa yang berbeda.
Nh. Dini
Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, seorang perempuan berdarah Bugis yang lebih dikenal dengan sebutan Nh. Dini. Ia bercita-cita menjadi masinis, tetapi gagal karena pada saat itu ia tidak menemukan sekolah bagi calon masinis kereta api. Namun kegagalan Dini menjadi masinis malah mengantarkannya pada profesi penulis yang membesarkan nama Nh. Dini.
Nh. Dini mulai menulis sejak kelas 2 SMP, tahun 1951. Memasuki usia SMA, kumpulan cerita pendeknya yang berjudul Dua Dunia diterbitkan pada tahun 1956. Selepas sekolah, ia bekerja sebagai pramugari di Garuda Indonesia. Tahun 1960, seorang diplomat Prancis menikahinya dan membawanya tinggal berpindah-pindah negara. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai dua orang anak. Meski sibuk sebagai istri diplomat dan ibu dari dua orang anak, Nh. Dini tidak melupakan minatnya pada menulis. Pasca bercerai pada 1984, karya-karyanya mulai hadir lagi dan membanjiri ruang baca masyarakat Indonesia.
Perempuan kelahiran Semarang 29 Februari 1936 ini kerap disebut sebagai penulis yang menegakkan tonggak feminisme karena dalam karyanya kerap menyuarakan perlawanan perempuan terhadap tradisi patriarki yang mendominasi pelbagai segi kehidupan. Tahun 2003, Nh. Dini menulis novel berjudul Dari Parangakik ke Kamboja. Ia mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku suami kepada istrinya. “Saya akan marah ketika mendapati ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum perempuan,” tulis Nh. Dini dalam novel tersebut. Beberapa karya Nh. Diniyang terkenal meliputi Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), dan masih banyak lagi karya lainnya dalam bentuk kumpulan cerpen ataupun novel. Pada Sebuah Kapal, Kemayoran, dan Orang-orang Tran adalah sebagian dari karyanya yang menyoroti ketimpangan perlakuan yang menimpa perempuan.
Sederet penghargaan pernah diterimanya: Hadiah Seni untuk Sastra dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1989), Bhakti Upapradana Bidang sastra dari Pemerintah Daerah Jawa Tengah (1991), SEA Write Award dari pemerintah Thailand (2003), Hadiah Francophonie (2008), dan Achmad Bakrie Award bidang Sastra (2011). NH Dini meninggal dunia pada 4 Desember 2018 di Rumah Sakit Elizabeth Semarang. Hingga ajalnya, Nh. Dini tidak bergeser dari posisinya yang didapuk sebagai penulis yang konsisten menyuarakan hak-hak perempuan.
Mira W
Mira Widjaja, perempuan berdarah Tiongkok ini lebih akrab dikenal dengan nama Mira W. Perempuan kelahiran 13 September 1951 ini berprofesi sebagai dokter sebelum memulai karirnya sebagai penulis cerita roman dan kriminal. Ia kerap menuangkan kehidupan di rumah sakit ke dalam ceritanya.
Karya pertama Mira yang dikenal banyak orang adalah sebuah cerita pendek berjudul Benteng Kasih yang dimuat sebuah majalah perempuan di tahun 1972. Saat menulis cerpen tersebut, Mira masih duduk di bangku kuliah Fakultas Kedokteran di Universitas Trisakti.
Karya novel Mira W yang sukses melejitkan namanya adalah berjudul Di sini Cinta Pertama Kali Bersemi yang terbit pada tahun 1980. Novel ini bahkan diadaptasi menjadi sebuah film di tahun yang sama. Hingga tahun 1995, Mira telah menerbitkan lebih dari 40 novel dan cerita-cerita lainnya yang diadaptasi menjadi karya sinematografi.
Ayu Utami
Justina Ayu Utami lahir pada 21 November 1968. Ia dikenal sebagai sosok perempuan yang kritis dan tegas pada pendiriannya. Ia adalah seorang aktivis, jurnalis, sekaligus sastrawan yang lulus dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Novel Ayu yang pertama berjudul Saman. Novel tersebut membuat nama Ayu Utami dikenal banyak orang karena berhasil memenangkan sayembara penulisan roman yang digelar Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998. Ia juga diganjar penghargaan Prince Clause Award 2000 dan Khatulistiwa Literary Award 2008. Saman sendiri telah berhasil terjual sebanyak 55ribu eksemplar dalam waktu 3 tahun. Novel yang menarik hati para kritikus sastra dan mengubah wajah kesusastraan di Indonesia.
Selain penulis, Ayu juga berprofesi sebagai jurnalis dan seorang pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Ayu memiliki latar belakang yang sama dengan NH Dini yaitu mendukung penuh gerakan dan pemikiran-pemikiran feminisme. Karya Ayu Utami yang lainnya turut menjadi bacaan wajib para perempuan di Indonesia, yakni di antaranya Larung (2001), Bilangan Fu (2008), Cerita Cinta Enrico (2012), dan Si Parasit Lajang (2013).
Dee Lestari
Dee Lestari lahir pada 20 Januari 1976. Ia merupakan salah satu penulis yang sukses menggebrak literasi Indonesia. Awalnya ia dikenal sebagai penyanyi dan bagian dari trio vokal Rida Sita Dewi. Dee sudah giat menulis sejak ia berprofesi sebagai penyanyi, tetapi baru dikenal sebagai penulis sejak ia menerbitkan novel pertamanya pada tahun 2001 yang berjudul Supernova: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh. Dee kemudian meneruskan buku-buku berikutnya dengan balutan Supernova yang digarap menjadi 6 bagian: Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001), Supernova 2: Akar (2002), Supernova 3: Petir, (2004), Supernova 4: Partikel (2012), Supernova 5: Gelombang (2014), dan Supernova 6: Intelegensi Embun Pagi (2016).
Selain bertema sains, Dee juga pernah menulis novel yang mengawinkan fiksi dan musik, yakni berjudul Rectoverso. Ia juga merampungkan karya-karya lain yang diadaptasi menjadi sebuah film. Filosofi Kopi dan Madre merupakan hasil tulisan Dee Lestari yang telah diangkat ke layar lebar perfilman Tanah Air. Hingga hari ini, Dee menjadi penulis perempuan yang dianggap mampu menyihir pembacanya melalui karya-karya yang layak dinikmati lintas generasi.
Ika Natassa
Perempuan ini mahir dalam menulis novel sekaligus sukses dalam berkarier di bidang perbankan. Sejak kecil, Ika Natassa sudah senang menulis dan saat usianya 19 tahun ia telah berhasil menyelesaikan novel pertamanya dalam Bahasa Inggris. Ia mengawali kariernya di dunia perbankan sebagai Officer Development Program di Bank Mandiri. Ika kemudian menjabat di berbagai posisi Antara lain Credit Analyst, Relationship Manager, Commercial Banking Analyst, dan Project Leader Wholesale Transaction Banking.
Ika Natassa terkenal karena rangkaian novelnya berfokus pada kehidupan para bankir muda di Indonesia. Novel pertamanya terbit tahun 2007 dengan judul A Very Yuppy Wedding. Disusul dengan judul-judul lainnya yakni Divortiare(2008), Underground (2010), Antologi Rasa (2011), Twivortiare (2012), Twivortiare 2 (2014), Critical Eleven (2015), The Architecture of Love (2016), dan Susah Sinyal (2017). Sebagian novelnya diadaptasi ke layar lebar yaitu Critical Eleven, Antologi Rasa, dan Twivortiare. Di tahun 2018, Ika Natassa dinominasikan dalam kategori Talented Young Writer Category dalam ajang Khatulistiwa Literary Award.
Di tengah masa pandemi tahun ini, Ika Natassa tidak kehilangan akal agar dirinya tetap produktif dan kreatif. Ia menulis naskah cerita berjudul Sementara, Selamanya yang amat relevan dengan kondisi terkini di Indonesia di masa pandemi. Sementara Selamanya berkisah tentang luapan perasaan dalam kesendirian. Karya ini berbicara tentang hubungan, mengenai jarak, soal adaptasi, hal-hal yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Kisah ini dianggap mewakili perasaan orang-orang di luar sana ketika mereka harus masuk ke sebuah ruang baru dengan kebiasaan-kebiasaan baru, di mana jarak kita dengan orang-orang terkasih terasa semakin jauh. Karya Ika Natassa yang berjudul Sementara Selamanyadapat dinikmati dalam film serial yang tayang di aplikasi streaming Vidio.