FASHION

30 Juni 2021

Cinta Abadi Jeanne Lanvin Bagi Sang Putri, Marguerite Marie-Blanche


Cinta Abadi Jeanne Lanvin Bagi Sang Putri, Marguerite Marie-Blanche

Rumah mode Lanvin, yang mendapatkan namanya dari sang pendiri, Jeanne Lanvin, merupakan salah satu rumah mode tertua di dunia yang masih beroperasi hingga hari ini. Dikenal lewat koleksi gaun miliknya yang begitu feminin dan mencirikan lini masa busana kontemporer di abad ke-19 dan 20, siapa yang dapat menyangka bahwa Lanvin mengawali kariernya sebagai seorang desainer mode lewat koleksi busana anak-anak terlebih dahulu? 

Selepas melahirkan putri semata wayangnya, Lanvin mulai menciptakan busana-busana anak-anak yang terinspirasi dari kecintaan dan hubungan eratnya dengan sang putri, Marguerite. Lanvin baru kemudian melebarkan sayap bisnisnya dengan meluncurkan koleksi busana perempuan, ketika klien-kliennya saat itu menginginkan gaun-gaun yang ia rancang untuk putrinya dalam ukuran dewasa. Sejak saat itu, rumah modenya pun terus berkembang seiring tumbuh kembang sang putri, Marguerite.

Jeanne Lanvin.

Humble Beginning

Lahir pada tahun 1867, Jeanne Lanvin merupakan anak sulung dari sepuluh bersaudara. Meski dikenal cerdas dan cemerlang, penghujung abad ke-19 bukanlah periode waktu terbaik bagi seorang perempuan muda dari keluarga kelas menengah untuk meniti karier dan mengikuti ambisi-ambisi dalam diri. Di usia 13 tahun, Lanvin pun mengambil keputusan praktis dan menjadi gadis pesuruh seorang penjahit. Masa remajanya pun dihabiskannya untuk magang dan memelajari caranya membuat topi. Ia kemudian naik pangkat menjadi seorang asisten penjahit sebelum akhirnya memutuskan akan bekerja untuk dirinya sendiri.

Tak lama setelah menginjak usia 22 tahun dan menyelesaikan program magangnya, Jeanne membuka toko topi pertamanya pada tahun 1889 di sebuah lantai mezzanine di 16 rue Boissy d’Anglas. Meski usianya terbilang cukup belia, kepiawaian dan talentanya sebagai seorang milliner atau pembuat topi kian mencuri perhatian.

Butik Jeanne Lanvin di 22 rue du Faubourg Saint-Honoré, Paris © Studio Lipnitzki / Roger-Viollet

Empat tahun kemudian, Lanvin mendapatkan izin sewa komersil di area prestisius, rue de Fabourg Saint-Honoré, dan mendirikan butik topinya sendiri. Tak butuh waktu lama bagi sang desainer untuk mencicipi manisnya buah kesuksesan. Perempuan-perempuan Paris pun datang memadati butik Lanvin Modes—nama butik Lanvin saat itu—untuk mencari Mademoiselle Jeanne. 

Mother and Child

Pada tahun 1895, Jeanne Lanvin memutuskan untuk menikah dengan seorang bangsawan asal Italia, Henri Emilio Georges Di Pietro. Dua tahun kemudian, keduanya dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Marguerite Marie-Blanche. Meski pernikahan tersebut kandas ketika Marguerite baru berusia enam tahun, kelahiran sang putri melambungkan status finansial Jeanne di Paris. Ia kemudian menikahi suami keduanya, Xavier Melet, seorang jurnalis yang kemudian menjadi konsul jenderal Prancis untuk Manchester, Inggris.

Kehadiran Marguerite dalam hidup Lanvin mengubah hidup sang desainer selamanya. Kecintaannya pada sang putri membentuk hubungan erat antara keduanya. Marguerite pun berperan sebagai muse bagi sang desainer, di mana ia kerap didandani sang ibu dalam balutan gaun-gaun mewah. Sosok elegan Marguerite pun mencuri perhatian ibu teman-temannya, yang kemudian meminta Madame Jeanne—sebagaimana Jeanne Lanvin dikenal saat itu—untuk membuatkan mereka tampilan ibu-anak yang serasi dan menjadi klien setia rumah mode tersebut.

Melihat adanya peluang bisnis yang begitu unik dan belum pernah terjamah oleh siapa pun sebelumnya, Lanvin lantas membuka departemen busana anak-anaknya pada tahun 1908 dan mendedikasikan bagian khusus di butiknya untuk memenuhi kebutuhan para kliennya. Dinilai baru dalam sejarah mode dan adibusana, Lanvin mampu menciptakan pasar baru yang dapat ia monopoli sendiri. 

Pada tahun 1909, pesanan untuk busana anak-anak melampaui pesanan topi. Lanvin pun merasa bahwa sudah saatnya bagi rumah mode Lanvin untuk memasuki era baru. Tahun itu, Lanvin membuka departemen Young Ladies’ and Women’s. Para ibu dan putri-putri mereka pun datang berbondong-bondong untuk memilih baju-baju rancangan Lanvin bersama-sama. Pakaian untuk siang hari, gaun malam, mantel, hingga pakaian dalam. Tak dapat dipungkiri, Lanvin menjadi bagian penting dalam gaya hidup perempuan-perempuan Paris saat itu.

Ambisius dan bertekad teguh, Lanvin kemudian menjadi anggota Chambre Syndicale de la Couture pada tahun yang sama. Ia turut mengubah statusnya dari seorang miliner atau pembuat topi, menjadi seorang couturier. Meski telah menjadi seorang desainer dan pebisnis unggul, ia tetap memprioritaskan peran utamanya sebagai seorang ibu. Ia lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama putrinya daripada bergaul dengan sirkuit sosialita elit Paris; membuatnya dikenal sebagai pribadi yang tertutup.

Botol parfum Arpège.

Kedekatan Lanvin dengan Marguerite turut melahirkan salah satu kreasi wewangian paling ternamanya, Arpège. Untuk hari ulang tahun Marguerite yang ke-30, Jeanne ingin menghadiahkan putrinya dengan sebuah parfum yang ia kembangkan bersama perfumer ternama, André Fraysse. Ketika Marguerite menciumnya untuk pertama kali, ia pun berseru dan mengatakan bahwa parfum tersebut seperti sebuah arpeggio. Berkomposisikan mawar Bulgaria, melati Grasse, kamperfuli, dan bunga bakung, parfum Arpège menjadi simbol cinta Lanvin bagi sang putri yang tak pernah lenyap.

Terlepas dari segala perubahan dan ekspansi bisnis yang terjadi, Lanvin menyadari penuh kekuatan abadi dari tema mother and child miliknya. Itulah sebabnya juga, botol parfum Arpège masih diproduksi berhiaskan ilustrasi logo ibu dan anak rancangan Paul Iribe. Logo ini terus menjadi kunci inspirasi koleksi-koleksi Lanvin hingga hari ini, diinterpretasikan oleh Direktur Kreatfi Lanvin saat ini, Bruno Sialelli, ke dalam ragam kaus dan aksesori. 

Adapting to Change

Tak hanya menjadi seorang desainer dan kreator, Jeanne merupakan seorang pebisnis perempuan yang cermat. Selalu sadar dan waspada akan apapun yang terjadi di sekitarnya, Lanvin pertama kali menyadari bahwa topi-topi khas miliknya tak lagi sesuai dengan perkembangan zaman di tahun 1922. Ia pun tak ragu untuk memperhalus garis rancang topi-topinya dan memberikan perempuan-perempuan Paris topi cloche.

Meski dikenal sebagai desainer mode yang banyak menggagas beragam gaya di tahun ‘20-an dan ‘30-an, Lanvin dikenang lewat rancangan Robe de Style—gaun malam yang populer di tahun ‘20-an—yang cantik dan romantis. Terbuat dari materi lembut, longgar dan tidak membentuk tubuh, gaun-gaun ini kerap dihiasinya dengan rumbai dan selendang tipis untuk membuatnya tampil semakin feminin. Siluetnya yang bersih dan rapi, kerap disemarakkan oleh aplikasi sulam dan manik-manik—keduanya menjadi ciri khas rumah mode tersebut—ataupun detail-detail etnik dari Mesir, Roma dan Yunani.

Jeanne Lanvin menyampirkan bahan pada seorang model, 1936 © Laure Albin Guillot / Roger-Viollet

Memasuki tahun ‘30-an, jajaran gaun Robe de Style yang lembut melambai perlahan-lahan menemukan bentuk barunya yang lebih formal dan tegas. Lagi-lagi, Lanvin berada di garis depan perubahan sejarah mode kontemporer. Meski saat itu dunia tengah menggandrungi siluet utilitarian ala Chanel, Lanvin tetap setia dengan gaun-gaun Robe de Style miliknya yang memiliki rok pannier lebar serta bergaya romantis dan feminin.

Marie-Blanche de Polignac, 1946 © DR / Patrimoine Lanvin

Pada tanggal 6 Juli 1946, Jeanne Lanvin wafat dengan tenang di usia 79 tahun. Lanvin—yang sempat menjadi seorang millinercouturier, dan pencipta parfum—meninggalkan tak hanya perusahaan modenya, namun sejumlah kontribusi besar dalam sejarah mode. Sepeninggal sang ibu, Marguerite menjadi presiden perusahaan Lanvin dan lanjut mendesain koleksi-koleksi Lanvin hingga tahun 1950. Sejumlah desainer ternama seperti Alber Elbaz, Bouchra Jarrar, Olivier Lapidus, dan kini, Bruno Sialelli, pun melanjutkan visi Madame Jeanne tanpa melupakan DNA miliknya yang begitu elegan, feminin, dan muda.