FASHION

21 Agustus 2020

Giorgio Armani dan Setelan Ikonisnya


Giorgio Armani dan Setelan Ikonisnya

Ketika mendengar nama Armani, ada begitu banyak hal yang terbersit dalam pikiran. Bisa jadi jajaran suit dengan teknik tailoring paripurna, deretan gaun karpet merah yang menawan hati, atau bisa juga rantai hotel luks dan restoran mewah yang turut tergabung dalam dinasti Italia ini. Meski demikian, nama Armani menjadi begitu penting mengingat kontribusi-kontribusi besarnya dalam sejarah mode perempuan—terutama para perempuan bekerja—di tahun ’80-an.

            Empat puluh lima tahun yang lalu, nama Giorgio Armani dikenal sebagai spesialis menswear atau busana laki-laki berkat kreasi suit miliknya yang tak bercela. Reputasi ini turut menemaninya pada tahun 1980-an dan 1990-an ketika Armani mulai mengalihkan perhatiannya pada womenswear atau busana perempuan serta busana red carpet (baca: gaun-gaun untuk kebutuhan karpet merah). Namun siapa sangka karier cemerlang Armani baru dimulai ketika sang desainer menginjak usia 40 tahun?

FORTY AND FINE

Mode bukanlah pilihan pertama Armani. Lahir pada tahun 1934 dan tumbuh besar di sebuah kota kecil di luar Milan, Armani dan kedua saudaranya merasakan langsung penderitaan semasa Perang Dunia II. Meski jauh dari kehidupan glamor, dunia perfilman di Milan diaku Armani sebagai sebuah pelarian, di mana ia dapat bermimpi akan kehidupan glamor para bintang film dan kecantikan para bintang Hollywood yang begitu dielu-elukan.

            Sejak usia dini, Armani memiliki ketertarikan khusus terhadap anatomi. Ketertarikannya pada tubuh manusia ini mengantarkannya pada pengalaman mengenyam pendidikan medis selama dua tahun. Ia pun meninggalkan bangku sekolah sebelum waktunya lulus untuk berpartisipasi dalam program wajib militer. Tak disangka, pengalaman inilah yang membuatnya mengenal dunia mode. “Saya sedang menjalankan program wajib militer dan memiliki 20 hari libur. Saya pun pergi berlibur ke Milan,” ujarnya dalam sebuah wawancara. Lewat seorang teman, Armani malah mendapatkan sebuah pekerjaan di sebuah department store ternama di Milan, La Rinascente. “Di sana, saya membantu fotografer melakukan pemotretan, merancang jendela butik dan lainnya.”

Giorgio Armani di kediamannya di Milan.

            Berkat talenta dan selera uniknya, tak butuh waktu lama hingga Armani dipromosikan. Ia pun naik jabatan menjadi sales associate di departemen laki-laki, dan pada tahun 1960-an, menjabat sebagai desainer busana laki-laki di Nino Cerruti. Pada akhir tahun 1960-an, Giorgio Armani tak lebih dari seorang lelaki paruh baya yang tengah berandai-andai apabila masa-masa jayanya telah lewat. Hidup berkecukupan, Armani merasa dirinya baik-baik saja saat itu. “I was fine,” ujar Armani akan kehidupannya saat itu. “Fine.”

            Forty and fine. Perasaan yang lazim dirasakan para lelaki di usia empat puluhan ini turut merasuki pikiran Armani. Pada usia inilah umumnya para lelaki mulai mengesampingkan ambisi masa muda mereka dan mulai berserah diri untuk menjalani kehidupan yang lebih realistis. Meski demikian, Armani menolak untuk menyerah pada umur. 

Giorgio Armani berpose dengan salah seorang modelnya di Milan.

            Armani kemudian bertemu dengan Sergio Galeotti. Pada tahun 1973, Galeotti mendorong Armani untuk membuka sebuah kantor desain di 37 corso Venezia, Milan. Untuk mendanainya, mereka menjual mobil Volkswagen Beetle milik Armani dan mempergunakan uang hasil penjualannya untuk membuka kantor. Hanya dengan dua orang karyawan, keduanya melakukan beragam pekerjaan desain lepasan untuk sejumlah rumah mode ternama saat itu. Galeotti mengurus pembukuan, sementara Armani memimpin divisi kreatifnya.

SUIT-SPECIALIST

Tak lama bagi Armani dan Galeotti untuk memutuskan menjadi mitra bisnis, keduanya pun mendirikan Giorgio Armani S.p.A pada bulan Juli 1975. Sebuah koleksi busana laki-laki pun diluncurkan Armani sebagai koleksi pertama rumah mode yang ia dirikan. Sang desainer kemudian melansir koleksi busana perempuan pada tahun berikutnya, yang mendapatkan sambutan hangat dari dunia mode. Busana-busana rancangan Armani dinilai revolusioner pada zamannya, di mana ia memperkenalkan siluet pakaian yang pas dengan tubuh dan mempergunakan palet warna alami nan subtil.

Empat orang model berpose dalam balutan setelan khas Armani (1982).

            Nama Armani pun selalu terdaftar dalam tiap buku sejarah mode kontemporer berkat peran pentingnya merevolusi jajaran business suit modern—baik untuk laki-laki maupun perempuan. Armani membebaskan perempuan dari jajaran setelan bersiluet kaku, dan menyediakan jaket bersiluet lembut tanpa kerah yang serasi dipadankan dengan potongan celana panjang berbahan nyaman. Sang desainer mendandani para perempuan bekerja untuk tampil penuh kuasa tanpa terlihat keras. Ia tak pernah lupa untuk menginjeksikan jiwa feminin lewat siluet setelan yang halus, kontur bahu yang lembut, serta bahan yang mengikuti bentuk tubuh.

            Tak butuh waktu lama bagi jajaran jaket Armani untuk memiliki posisinya sendiri di sejarah mode kontemporer. Jaket-jaket ini menjadi kunci penampilan Armani tiap musimnya, hanya berubah sedikit demi sedikit lewat permainan materi, proporsi, serta warna baru. Palet warna yang dipergunakannya pun tidak pernah berteriak dan tidak pernah mengalihkan perhatian dari sang pemakai. Ia mengisi dunia para perempuan bekerja dengan tona-tona kelabu yang subtil serta ribuan variasi warna beige. Bagi Armani, warna-warna greige (warna-warna yang berada di antara spektrum warna abu-abu dan beige) menjadi elemen khas miliknya, yang kerap bersanding dengan warna-warna netral seperti hitam, putih, dan biru tua.

Giorgio Armani menyapa para penggemarnya seusai helatan show musim gugur/dingin 1984 (1983).

            Selama era ‘80-an, Armani menjadi simbol status kemapanan dan kesuksesan bagi para eksekutif namun juga bagi para bintang sekaliber Julia Roberts, Diane Keaton, Michelle Pfeiffer hingga Demi Moore. Tingginya permintaan akan produk-produk Armani, Armani dan Gaelotti pun mampu memperluas jaringan bisnis mereka dengan meluncurkan beragam lini meliputi Armani Privé (lini haute couture), Emporio Armani (lini busana siap pakai turunan dari Giorgio Armani), Armani Collezioni (lini made-to-order suits), A|X Armani Exchange (lini busana basic dan kasual), Armani Jeans (lini busana denim) hingga Armani Junior (lini busana anak-anak). Armani turut merambah bisnis restoran pada tahun 1989 dan membuka hotel pertamanya di Dubai pada tahun 2010. Kepiawaian Armani dalam menciptakan sebuah gaya hidup—yang tak hanya sebatas mode—memang tak dapat dipandang sebelah mata.

THE FUTURE OF LUXURY

Sepuluh tahun yang lalu, Armani menyatakan bahwa rasanya konyol membayangkan dirinya masih memimpin bisnis di usia 85 tahun. Namun kenyataannya, kini di usia 86 tahun, ia masih belum mengumumkan penerusnya ataupun menunjukkan tanda-tanda melambat. Armani justru masih bergulat dengan sejumlah pemikiran untuk mengubah industri mode menjadi lebih baik. Sang desainer mengaku bahwa apabila ada satu hal yang ia ingin ubah dari industri mode ialah kecepatannya yang berlebihan.

            “Kita dituntut untuk menghasilkan ide dan koleksi dengan kecepatan luar biasa, tetapi penemuan dan kualitas membutuhkan waktu,” ujarnya dalam sebuah wawancara. “Solusi saya adalah keberlanjutan: Saya bergerak dengan kecepatan saya sendiri, karena perempuan dan laki-laki yang saya dandani mengharapkan ini dari saya, bukan sekadar ide yang baik untuk di catwalk. Fashion, sekali lagi, perlu menemukan ritme yang lebih manusiawi dan nyata.”  

[metaslider id=17891 cssclass=""]

            Pemikiran serupa pun tengah hangat dibicarakan menyusul krisis kesehatan yang melanda dunia enam bulan silam. Bagaimana kehadiran sebuah pandemi akhirnya mampu memporak-porandakan sistem mode dunia yang begitu terintegrasi namun mampu memperlambat arus industri yang begitu kencang. Lewat sebuah surat terbuka yang diterbitkan oleh WWD, Armani menggarisbawahi pemahaman bahwa luxury seharusnya tidak mengimitasi fast fashion. “Kemunduran sistem mode seperti yang kita ketahui, dimulai ketika luxury mulai mengadopsi metode fast fashion,” ungkap Armani dalam cuplikan surat terbukanya.

            “Produk-produk pada jajaran teratas meniru laju pengiriman tanpa henti dan berharap untuk menjual lebih. Tetapi luxury tidak bisa dan tidak boleh terlalu cepat. Tak masuk akal bagi kreasi-kreasi saya untuk berada di butik hanya selama tiga minggu sebelum mereka menjadi usang. Saya tidak bekerja demikian dan saya merasa hal tersebut tidaklah bermoral.” Armani pun berniat untuk memperkecil koleksi berbasis tren dan memperbanyak koleksi season-less tiap tahunnya. “There is definitely too much offer versus real need,” jelas Armani.

[metaslider id=17872 cssclass=""]

            Sang desainer turut menekankan bahwa luxury harus fokus kembali pada keotentikan dan tidak boleh menjadi sebuah rutinitas. “Krisis ini juga menjadi kesempatan untuk kembali pada nilai keotentikan. Helatan-helatan istimewa harus didedikasikan untuk momen-momen istimewa, dan tidak menjadi sebuah rutinitas.” Lebih jauh, ia mengungkap bahwa dirinya tengah meramu formula yang tepat menyoal jadwal show yang dapat mendukung konsep slow-paced fashion. Wacana ini dibeberkan Armani tak lama setelah ia dengan terpaksa harus membatalkan kehadiran para tamu-tamunya pada show musim gugur/dingin 2020 silam dan mengajak mereka untuk menikmati show lewat siaran live stream.

            Meski tak lagi berusia muda, tampaknya masih ada banyak hal yang ingin dibuktikan oleh Armani. Baik lewat jajaran koleksi busananya yang elegan dan tak pernah berlebih, ataupun kepiawaiannya menggarap bisnis yang berakar pada pemikiran progresif, sosok Armani mampu meyakinkan siapapun bahwa dirinya tetap relevan hingga sepanjang masa.