14 Agustus 2021
Kisah, Karya, dan Keikhlasan Lulu Lutfi Labibi

Kisah pertemuan saya dengan Lulu Lutfi Labibi berawal lima tahun silam, ketika saya berkesempatan untuk bertemu sang desainer dalam sebuah sesi pemotretan. Tutur katanya yang halus serta perawakannya yang lugas masih terekam dalam benak saya. Meski tak berkesempatan untuk berbincang banyak, saya masih ingat betul bagaimana kesederhanaan beliau membuat saya menyamakan dirinya dengan sesosok kawan yang sudah lama tak berjumpa. Namun dalam kesederhanaan itu pula, terkadung kebijaksanaan yang hanya dapat dicapai oleh mereka yang telah mengecap asam garam kehidupan.

Di tahun yang sama, nama Lulu Lutfi Labibi tengah melambung tinggi. Karya-karyanya yang kian menginkorporasikan kain lurik kian mencuri perhatian industri mode Indonesia dan mendorong banyak perempuan (dan juga laki-laki) untuk kembali mengapresiasi tekstil tradisional. Tak sedikit orang yang rela merogoh kocek lebih untuk ‘terbang’ dan berbelanja langsung di studio Lulu Lutfi Labibi di Kotagede, Yogyakarta.
Namun demikian, kesuksesan label Lulu Lutfi Labibi turut mendatangkan sejumlah tantangan baru, terlebih soal plagiarisme. Tak jarang, karya-karya Lulu Lutfi Labibi ditiru dan dijual dengan iming-iming harga yang lebih miring. Kendati demikian, semua tantangan tersebut berhasil mengantarkannya ke suatu titik baru, di mana ia belajar untuk ikhlas.
LINE OF SIGHT
Lahir di Banyumas pada tahun 1982, Lulu Lutfi Labibi melewati masa kecil dengan banyak bermain. Tanpa gadget dan media sosial, ia kerap menghabiskan waktu di sawah dan gunung, serta nonton film kartun yang hanya diputar di hari Minggu pagi. Lulu, sebagaimana ia akrab disapa, gemar menggambar dan mengumpulkan perangko. Ia mengaku bahwa untuk urusan menggambar, apa pun bisa dijadikan media.
“Yang paling membekas di ingatan saya adalah dulu saya selalu ke Masjid untuk salat berjamaah, tapi dengan tujuan melihat motif batik yang selalu dipakai oleh seorang bapak tetangga,” kenangnya. “Ketika salat saya selalu sengaja berdiri tepat di belakang bapak itu, untuk melihat lebih jelas motif batik yang ada di punggungnya, lalu pulang ke rumah dan menggambarnya di atas kertas.”
Kecintaannya pada menggambar pun berlanjut hingga ia duduk di bangku kuliah. Ia mantap mengambil jurusan Kriya Tekstil di Institut Seni Indonesia dan mulai menggambar sketsa busana. Titik ini turut menjadi awal mula Lulu bersinggungan dengan kain, khususnya kain lurik.
Nyatanya, ketertarikannya pada kain lurik justru tumbuh dari motif yang sangat sederhana, yaitu garis. Dibandingkan motif kain tradisional Indonesia lainnya yang kaya corak dan motif beraneka ragam, karakter lurik yang tegas dan sederhana mencuri perhatian Lulu. “Setelah mencoba mencari tahu, filosofi yang terkandung dalam makna garis ini pun sangat spiritual, membuat saya merasa bahwa lurik adalah laku hidup kita sehari-hari yang harus dirawat, baik dari lahir maupun batin,” jelas sang desainer.
Imbuhan kain lurik menjadi ciri khas rancangan Lulu Lutfi Labibi. Imbuhan kain lurik menjadi ciri khas rancangan Lulu Lutfi Labibi.
Tahun 2011 menjadi awal mula kisah Lulu membangun label eponimnya. Ia meminta restu kepada sang ibu dan berbagi mimpi dengan sang adik, Hami Effendi, yang selalu setia mengantar serta menjemput di stasiun kala Lulu harus berkunjung ke Ibu Kota. Pada tahun itu juga, untuk pertama kalinya, Lulu mulai menjahit namanya—yang merupakan nama pemberian sang ayah—pada tengkuk baju rancangannya.
Ia dikenal lewat karya-karyanya yang menikahkan kain lurik khas Indonesia dengan filosofi wabi-sabi ala Jepang—sebuah filosofi yang menitikberatkan keindahan dalam ketidaksempurnaan. Seluruhnya diolah secara terampil lewat permainan draping, detail lilit dan aksen tumpuk. Meski demikian, sebuah kesalahan besar untuk berpikir bahwa label Lulu Lutfi Labibi hanya ‘berhenti’ pada kain lurik saja. Sebab karya-karyanya selalu mengandung spirit yang membebaskan dan memerdekakan.
“Jika dilihat dari perjalanan karya, selain lurik, material pendukung lain seperti batik sutra dengan motif kontemporer, renda, dan organza sering mendapatkan ruang yang cukup penting dari rangkaian koleksi yang menyegarkan. Tidak menjadikannya kaku dan terus berevolusi,” jelas Lulu.
HONING THE CRAFT
Bicara soal proses kreatif, Lulu termasuk orang yang mengamini sesuatu yang organik. Ia mengaku proses kreatifnya lahir dan mengalir dari kebiasaan hidupnya sehari-hari. Hal-hal sederhana dalam keseharian adalah sesuatu yang magis dan misterius. Pendekatan lain yang menurutnya juga tak kalah penting dan menjadi ruh dalam karya-karyanya adalah ‘narasi pengisahan’. Di sini, kisah-kisah selalu erat dengan keseharian, tak jarang ia menarasikan perjalanan manusia dari sisi gelap dan terang.
“Dari pendekatan ini, maka judul-judul koleksi yang pernah saya buat juga menceritakan tentang perjalanan manusia; misalnya SS 2017 Perjalanan, SS 2018 Persimpangan, SS 2019 Tepian, SS 2020 Sewindu Bercerita, adalah bagian dari perjalanan karya yang sangat emosional karena banyak membagi tentang kegelisahan, rasa sakit dan senang yang hadir secara bersamaan, dan bagaimana sebuah karya itu ‘menyembuhkan’,” ujarnya.
Koleksi Ramadhan Dalam Kediaman. Koleksi Ramadhan Dalam Kediaman.
Sejak awal mendirikan labelnya, Lulu selalu mengutamakan karakter atau gaya dalam berkarya, alih-alih bersandar pada tren yang sedang dicari banyak orang. Ia selalu ingin melahirkan karya dengan desain yang bisa dipakai dalam segala kesempatan dan selalu relevan tanpa batasan waktu. “Artinya, ketika seseorang mempunyai koleksi saya, ia akan menjadi aset jangka panjang yang bisa diwariskan ke anak dan cucu,” ungkapnya.
Visi ini tentunya sejalan dengan faktor sustainability yang menjadi begitu penting bagi para konsumen saat ini. Tak jarang, spirit sustainable diangkat menjadi tema besar dalam rancangan-rancangan Lulu. Sebut saja koleksi bertajuk Hypecyclus yang diluncurkan pada tahun 2017, di mana sang desainer berkolaborasi dengan seniman Indieguerillas. Keduanya mengolah pakaian bekas menjadi baru dan memberikan kehidupan baru pada pakaian-pakaian yang sudah lama tak terpakai. Karya-karya tersebut kemudian dipresentasikan dalam sebuah ekshibisi di Mizuma Gallery, Singapura.
Koleksi Ramadhan Dalam Kediaman. Koleksi Ramadhan Dalam Kediaman.
“Lalu di tahun 2020, selama pandemi, spirit sustainable justru menjadi kekuatan dalam berkarya,” terang Lulu. Seluruh material yang dipergunakan dalam koleksi SS 2021 Laku Tirakat memanfaatkan kain yang ada di gudang. Lulu bahkan mengaku ia tidak pergi berbelanja sama sekali selama pandemi. “Sustainable dalam proses berkarya tidak hanya perkara soal pemanfaatan kain dan limbahnya, tapi bagaimana laku hidup saya bisa berdampak baik untuk orang lain. Terutama merawat keberlangsungan nasib para perajin dan merawatnya sebagai sumber daya manusia yang perlu terus lestari.”
GOLDEN THREAD
Menjadi seorang desainer Indonesia yang karya-karyanya menyoroti keindahan tekstil tradisional tentunya datang dengan seperangkat tantangan tersendiri. Salah satunya menyoal masalah plagiarisme. Lulu harus menelan kenyataan pahit bahwa karya-karyanya kerap diimitasi.
“Saya sadar hal ini tidak bisa lepas dari industri dan menjadi bagian dari konsekuensi,” tuturnya. Ia pun menyikapinya dengan legowo dan memilih untuk tidak memedulikannya. “Karena sayang sekali dengan energi yang seharusnya tetap bersih, tapi menjadi keruh karena memikirkan fenomena ini. Tapi saya percaya sekali dengan seleksi alam. Bahwa semakin banyak muncul plagiarisme, semakin terkurasi dengan baik dan semakin jelas segmen pasar yang kita bidik; mereka yang tidak mungkin membeli barang tiruan.”

Oscar Wilde pernah mengatakan bahwa imitasi merupakan bentuk sanjungan paling tulus yang dilayangkan orang biasa pada sesuatu yang agung. Ketika produk atau karya seseorang ditiru, maka ia telah mencapai level kesuksesan yang berbeda. Meski tak konvensional, tak jarang faktor ini menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang. Namun Lulu melihat kesuksesan dari kacamata yang berbeda.
Kesuksesan bagi Lulu adalah ketika kita laku hidupnya bisa bermanfaat untuk orang lain dan menjadi berkah untuk lebih banyak orang. Kini, di usia labelnya yang hampir menginjak satu dasawarsa, ia masih memiliki mimpi-mimpi yang ingin ia wujudkan. Ia ingin terus berkarya sampai kapan pun, sehat secara lahir dan batin, serta mampu naik sepeda setiap sore. “Barangkali itu mimpi yang setiap hari sedang saya wujudkan. Mungkin tabungan kenangan yang sedang saya kumpulkan sampai hari ini dan semoga menjadi catatan baik adalah karya,” tutupnya.