FASHION

30 Oktober 2020

Mendalami Seni Adibusana Viktor&Rolf


Mendalami Seni Adibusana Viktor&Rolf

Viktor Horsting dan Rolf Snoeren pertama kali bertemu di tahun 1988 ketika keduanya sama-sama tengah menjalani ujian masuk Arnherm Academy of Art and Design. “Kami berada di kelas yang sama selama 4 tahun, dan dengan segera langsung tertarik pada karya satu sama lain. Kami pun menjadi sahabat dekat,” kenang Rolf Snoeren dalam sebuah talkshow dengan National Gallery of Victoria, Melbourne (2017).

Viktor Horsting dan Rolf Snoeren.

Seusai menamatkan pendidikan, mereka hijrah ke Paris di tahun 1992. Kepindahan ini dilihat Viktor sebagai sebuah leap of faith. “Saat itu, kami tak memiliki apa-apa. Kami tidak memiliki pekerjaan. Kami hanya memiliki pendidikan dan ambisi besar. Hanya itu!” seru Viktor.

Di Paris, mereka meluncurkan sebuah koleksi yang kemudian mereka lombakan dalam ajang Hyerès Fashion Festival, di Prancis Selatan. Walau datang dengan persiapan seadanya—tak seperti para kontestan lain yang hadir lengkap dengan nama dan label—nyatanya keduanya mampu memenangkan tiga penghargaan di festival mode ini. “Mereka memiliki segalanya sementara kami tak memiliki apa-apa. Tapi kami menang dan para juri harus memanggil kami ke atas panggung. Mereka pun menamai kami ‘Viktor&Rolf’.  Dari situ lah kami mendapatkan nama kami,” aku Viktor dengan gelak tawa.

Larut Di Ranah Seni

Walau karya-karya awal Viktor&Rolf tak mampu menembus sistem fashion saat itu, dunia seni menyambut mereka dengan tangan terbuka. Kemampuan keduanya menjembatani dunia mode dan seni menjadi salah satu unique selling point yang masih mereka pegang erat hingga kini. Tahun-tahun awal kepindahan mereka ke Paris pun diisi oleh berbagai peluncuran koleksi dan pembuatan instalasi mode di galeri-galeri seni. Mau tak mau, mereka harus mengakui bahwa dunia seni merespon koleksi mereka lebih cepat dari dunia mode.

Larut dalam dunia seni, Viktor dan Rolf kemudian menyadari telah kehilangan fokus dari tujuan utama mereka, yaitu menjadi desainer sesungguhnya. Mereka pun memutuskan—setelah tiga tahun tinggal di Paris—untuk pulang kembali ke Amsterdam dan meluncurkan koleksi adibusana pertama. “Couture merupakan environment yang tepat bagi kami karena ia merepresentasikan bagian teratas piramida fashion,” ungkap Viktor. “Kami tak memiliki business plan saat itu. Kami pikir, well, kita selalu bisa memulai dari paling atas dan turun apabila tidak berhasil, namun tak bisa sebaliknya,” tambah Rolf sambil tertawa.

Selalu ada sisi teatrikal nan ekstrem dalam gelaran adibusana Viktor&Rolf, Koleksi Russian Dolls (A/W 1999-00) misalnya, menampilkan satu orang model saja, di mana Maggie Rizer yang datang mengenakan gaun mini dari bahan rami—bahan yang tak lazim dalam panggung couture—didandani dalam sepuluh tumpukan gaun dan mantel kaya sulaman dan kristal. Pada penghujung show, ia menahan beban total pakaian sebesar 70kg dan terpaku layaknya boneka Rusia yang mengenakan babushka.

Seni dan Bisnis Bukan Suatu Kontradiksi

Pada tahun 2000, Viktor&Rolf memutuskan untuk merambah ke ranah ready-to-wear. Langkah ini merupakan keputusan logis yang diambil keduanya untuk mendanai keberlangsungan koleksi adibusana mereka tiap musimnya. Bukanlah perkara mudah bagi keduanya untuk terjun ke dunia yang relatif baru. Mengawali karier sebagai seorang desainer adibusana yang sering kali bekerja layaknya seorang seniman, terasa sulit bagi mereka untuk sekadar menggambar lalu mengirimkannya ke pabrik, alih-alih bereksperimen langsung pada model dengan tangan. Couture seakan mendarah daging dalam diri keduanya. Tak mengherankan, sentuhan-sentuhan adibusana pun selalu disisipkan, bahkan pada koleksi ready-to-wear sekalipun.

Lambat laun, seni dan bisnis bukanlah suatu kontradiksi bagi Viktor&Rolf. Keduanya melihat pernikahan ini sebagai sebuah tantangan, tantangan untuk melakukan sesuatu yang mampu beroperasi dalam dua dunia ini. “Sering kali, orang-orang tidak paham bahwa Anda bisa menjadi artistik dan komersil, atau konseptual dan komersil pada waktu bersamaan.” ungkap Viktor dalam suatu wawancara dengan The Talks (2011). Pemahaman ini menghantarkan keduanya pada beberapa kesuksesan komersil Viktor&Rolf seperti peluncuran parfum pertama mereka, Flowerbomb (2004), serta koleksi kolaborasi bersama raksasa retail H&M (2006).

 Sadar bahwa couture merupakan cinta terbesar mereka, keduanya memutuskan untuk menghentikan bisnis ready-to-wear mereka pada tahun 2015 dan kembali pada dunia adibusana. Momen istimewa ini dirayakan dengan lansiran koleksi couture Wearable Art (musim dingin 2015-16).

20 orang model yang mengenakan busana smock sederhana dari bahan denim layaknya pelukis, menjajal panggung runway dengan sampiran lukisan-lukisan cat minyak. Dirancang untuk memimik lukisan-lukisan klasik dengan bingkai sepuhan, jajaran busana ini meliputi potongan mantel, gaun, dan rok. Lewat permainan ilusi dan manipulasi kontruksi, Viktor&Rolf mengubah lukisan-lukisan berbingkai menjadi garmen-garmen haute couture, lalu kembali menjadi lukisan.

Selama gelaran tersebut, kedua desainer melepas lima garmen dari para model, dan menggantungnya kembali pada tembok putih. Koleksi ini memprovokasi para kritikus dan penikmat mode, membangkitkan pertanyaan akan peran busana haute couture sebenarnya. Can couture be a form of art? Can you wear a painting as a dress? With Viktor&Rolf, you definitely can!