FASHION

26 September 2020

Mengenal Desain Radikal Rei Kawakubo


Mengenal Desain Radikal Rei Kawakubo

Busana-busana Comme des Garçons dikenal memberikan kenyamanan bagi sang pemakai dan ketidaknyamanan bagi siapapun yang melihatnya. Siluet busananya tidak pernah ‘membungkus’ tubuh perempuan untuk kebutuhan seduksi. Palet warna hitam mutlak hukumnya, dengan sedikit tambahan warna abu-abu tua dan putih. Pilihan warna ini membuat para pemujanya kerap dipanggil ‘the Crows’. Tak sedikit yang mengkredit Rei Kawakubo, sosok tunggal di balik label  Comme des Garçons, sebagai pencipta warna hitam. Di balik sosoknya yang pemalu dan raut wajahnya yang selalu intens, Kawakubo menyimpan kemampuan berbisnis yang tak kalah unggul dari pemain industri luksuri lainnya.

MASTERMIND IN THE MAKING

Rei Kawakubo (1986).

Kawakubo lahir di Tokyo pada tahun 1942. Walau tumbuh besar saat Jepang masih dihantui trauma pasca perang dan insiden Hiroshima-Nagasaki, Kawakubo mengaku karya-karyanya tak pernah terpengaruh oleh kejadian tersebut. Karier di industri mode pun tak pernah terbersit di pikirannya. Ia bahkan tidak memiliki pengalaman mengenyam pendidikan atau pelatihan mode. Awal mula Kawakubo bersentuhan dengan industri mode adalah ketika ia mendapatkan pekerjaan di departemen pemasaran sebuah manufaktur tekstil, Asahi Kasei. Di tempat inilah Kawakubo melatih mata dan keterampilannya.

Pada tahun 1973, ia mendirikan perusahaannya sendiri, Comme des Garçons Co. Ltd di Tokyo, dan membuka butik pertamanya di tahun 1975. Nama Comme des Garçons sendiri berasal dari sebuah lirik lagu karya penyanyi Prancis, Francois Hardy, yang berarti “seperti anak laki-laki”. Walau begitu, Kawakubo kukuh sedari awal untuk tidak pernah menjadi seperti orang lain. Awalnya ia hanya merancang pakaian perempuan, namun ia kemudian menambahkan lini laki-laki pada tahun 1978. Bisnis berkembang baik dan per 1980, Comme des Garçons memiliki seratus lima puluh toko franchise di seluruh Jepang, delapan puluh pegawai, dan penghasilan tahunan sebesar tiga puluh juta dolar Amerika. Rancangan-rancangan awal Kawakubo tidaklah seeksentrik sekarang, malah cenderung sederhana, terinspirasi dari pakaian nelayan dan petani Jepang.

DRESSED FOR DEFIANCE

Visi kreatifnya berubah di tahun 1981, ketika Kawakubo mempresentasikan koleksi pertamanya di Paris, bersamaan dengan sesama desainer Jepang, Issey Miyake dan Yohji Yamamoto. Ketiganya mengejutkan dunia mode Barat dengan melawan aturan mode konvensional. Koleksi Kawakubo didominasi oleh busana serba hitam bersiluet oversized, dekonstruktif, dan melawan bentuk. Bukanlah pemandangan yang umum bagi para kritikus mode Paris di masa itu.

Kawakubo membuka butik perdananya di Paris pada tahun 1982, dan pada tahun yang sama, meluncurkan koleksi bertajuk “Destroy”. Ia mendandani model dalam balutan legging, dan knitwear bersiluet longgar, tunik, serta sweter-sweter berlubang. Tampilan ini tentunya tidak lazim di awal tahun 80-an, dan para kritikus pun dibuat kalut olehnya. Tampilan ini dicela dan dijuluki “Hiroshima’s revenge”.  

Penentangan paling radikal Kawakubo terhadap teknik tailoring Barat ada pada potongan busananya. Rasanya tak berlebihan apabila mengatakan ia adalah salah seorang pionir dalam urusan potongan dekonstruktif. Apabila sebelumnya desainer-desainer hanya bereksperimen dengan gaun-gaun berpotongan asimetris atau jaket dengan lapel diagonal, Kawakubo mampu mewujudkan bentuk baru yang tak pernah terpikirkan oleh siapapun sebelumnya. Kreatifitas Kawakubo tidak pernah dibatasi oleh fungsi maupun anatomi tubuh perempuan.

Salah satu koleksinya yang bertajuk “Dress Meets Body, Body Meets Dress” (Spring/Summer 1997), mewakili dengan sempurna pemikirannya tersebut. Ia membuat para modelnya bak Quasimodo—dengan bantalan-bantalan yang ia lekatkan di punggung, perut, juga bahu—dan membalut mereka dengan materi-materi gingham yang memeluk tubuh. Model-model yang menapaki runway tampak seakan membawa serta tumor-tumor mereka, memprovokasi pikiran para kritikus dan umat mode.

Kawakubo memiliki pandangan tersendiri menyoal perempuan. Ia selalu merancang untuk perempuan-perempuan yang tidak akan terpengaruh oleh pendapat suami mereka. Ia bahkan menyatakan bahwa gaya hidup seseorang seharusnya tidak terpengaruh oleh formalitas pernikahan. Kawakubo tak pernah menganggap dirinya sebagai seorang feminis, namun ia mampu memunculkan sisi femininnya lewat busana-busana yang membebaskan perempuan.

Pada bulan Maret 2005, Kawakubo meluncurkan koleksi “The Broken Bride”. Jajaran busana berwarna putih bak gaun pengantin, diselimuti perasaan resah dan keraguan di detik-detik terakhir. Romansa melankolis terpancar, namun turut menyiratkan perasaan pesimis bak pernikahan yang tidak membahagiakan, menyimbolkan ketangguhan dan kerapuhan hati para perempuan modern. Walau koleksi ini diapresiasi secara universal dan bahkan menjadi salah satu koleksi yang paling dikenang darinya, Kawakubo mencelanya habis-habisan. Ia kesal, ketika semua orang terlalu mudah mengerti karyanya.

BUSINESS IN BETWEEN

Kemampuan Kawakubo dalam menciptakan mahakarya tak dapat diragukan lagi. Karya-karyanya telah menginspirasi desainer-desainer dunia sekaliber Martin Margiela, Ann Demeulemeester, serta Helmut Lang. Talenta ini turut ia imbangi dengan intuisi bisnis yang mengagumkan. Tak seperti desainer kebanyakan, Comme des Garçons masih mempertahankan dirinya sebagai perusahaan independen. Hal ini memberikan banyak ruang gerak bagi Kawakubo untuk terus menghasilkan rancangan inventif tanpa perlu terikat tuntutan para investor. Kawakubo merupakan pemilik tunggal perusahaan yang ia dirikan ini, dan mengoperasikannya bersama sang suami, Adrian Joffe, selaku presiden dan CFO.

Kawakubo melebarkan sayap perusahaannya dengan meluncurkan begitu banyak sub-label di bawah payung besar perusahaan Comme des Garçons. Mulai dari lini Comme des Garçons Homme untuk laki-laki di tahun 1978, lini khusus knitwear; Tricot Comme des Garçons yang diluncurkan pada tahun 1981, lini khusus kemeja; Comme des Garçons SHIRT di tahun 1988, hingga Comme des Garçons Comme des Garçons di tahun 1993 yang menjual pakaian basic dan lebih terjangkau.

Pada tahun 2002, Kawakubo meluncurkan Comme des Garçons Play, lini difusinya yang begitu sinonim dengan logo hati dan sepasang mata. Play menyuguhkan pakaian-pakaian kasual seperti kaus, kardigan, dan kemeja, yang dijual dengan harga entry-price. Walau relatif terjangkau, Kawakubo dengan cermat merencanakan sistem distribusinya, memastikan agar lini ini tidak overexposure. Lini ini hanya dijual di toko-toko multilabel ternama dunia, dan karena tidak mengenal tren, pakaian dari lini ini tidak pernah diskon.

Selain beberapa sub-label di atas, Kawakubo turut mewujudkan aspirasinya untuk menginkubasi talenta-talenta terbaik di industri mode dengan melahirkan ‘anak-anak’ kreatif di bawah Comme des Garçons. Sebut saja Junya Watanabe, yang bekerja di Comme des Garçons sebagai pembuat pola, mendapatkan lini khusus dirinya pada tahun 1992. Setelahnya, ada Tao Kurihara yang mendapatkan lini “Tao” di tahun 2005, Fumito Ganryu dengan lini “Ganryu” di tahun 2007, dan yang terbaru, Kei Noinomiya lewat lini “Noir by Kei Ninomiya” pada tahun 2012 silam. Saat keempat protégé Kawakubo ini meluncurkan lini di bawah payung besar Comme des Garçons, beberapa memilih hengkang untuk mewujudkan lini mereka masing-masing, seperti Chitose Abe yang mendirikan Sacai, dan Junichi Abe yang melansir Kolor.

Dover Street Market New York.

Walau sukses dengan berbagai lini yang dinaunginya, Dover Street Market mungkin menjadi proyek terpenting dalam portofolio Comme des Garçons. Butik multi-label yang memiliki lima lokasi—New York, London, Singapura, Tokyo, dan Beijing—ini menyumbang pemasukan Comme des Garçons sebesar 35%. Dover Street Market atau yang kerap dikenal dengan nama DSM, menaungi label-label ternama seperti Jil Sander, Gucci, Supreme, dan Dior, serta desainer-desainer baru seperti Gosha Rubchinkiy dan Virgil Abloh. Selain koleksi label yang hip, DSM turut dikenal lewat visual merchandising dan instalasi in-store miliknya yang inovatif.

Rei Kawakubo/ Comme des Garçons: Art of the In-Between.

Kesuksesan Comme des Garçons turut membuatnya begitu didambakan untuk urusan proyek kolaborasi. Label-label besar seperti Levi’s, Converse, Speedo, Nike, Moncler, Lacoste, Chrome Hearts, H&M, Supreme, hingga Louis Vuitton, telah masuk daftar kemitraan  Comme des Garçons. Uniknya, dengan berbagai proyek kolaborasi yang pernah ditanganinya, Kawakubo mampu mengontrol labelnya untuk tetap accessible, namun tidak terlalu accessible; terkenal, namun hanya bagi kalangan tertentu. Ia fasih mempermainkan faktor X tersebut.

Kekaguman umat mode pada Rei Kawakubo akhirnya terekspresikan lewat sebuah ekshibisi di Metropolitan Museum of Art di New York City pada tahun 2017 silam. Ekshibisi mode yang paling dinanti tiap tahunnya ini, menampilkan rekam jejak karier Rei Kawakubo selama tiga dekade ke belakang. Lewat ekshibisi Rei Kawakubo/ Comme des Garçons: Art of the In-Between, ia turut menjadi desainer kedua setelah Yves Saint Laurent—sekaligus desainer perempuan pertama—yang karya-karyanya diabadikan di museum ini saat masih hidup. Bagaimanapun juga, sulit rasanya untuk tidak memuja dirinya. Ia mungkin salah satu desainer yang rancangannya tidak pernah terkungkung oleh referensi.

Photography: COMME DES GARÇONS, DOVER STREET MARKET, MET MUSEUM