FASHION

21 Maret 2022

Mengenal Lebih Dekat Sosok Marc Jacobs Sang Revolusiner


Mengenal Lebih Dekat Sosok Marc Jacobs Sang Revolusiner

Marc Jacobs mungkin akan dikenang sebagai salah satu sosok penting yang mengubah nasib sebuah label koper bersejarah panjang menjadi salah satu rumah mode paling penting di dunia. Meski namanya terus dibayang- bayangi label-label besar yang pernah ia pimpin, nyatanya nama Marc Jacobs sendiri memiliki pengaruh kuat dalam mengubah budaya dan mode dunia. Kemampuannya ‘meramal’ momen- momen kultural, menginisiasi kebaruan, dan mencerminkannya lewat karya, menjadikannya salah satu kreator dan visioner terbaik yang kita miliki saat ini.

REFUGE OF FEAR

Lahir di kota New York pada tahun 1963, Marc Jacobs merupakan sulung dari tiga bersaudara. Ketika dirinya berusia 7 tahun, sang ayah meninggal karena kolitis ulseratif kronis, sebuah penyakit jangka panjang yang menghasilkan peradangan dan luka pada usus besar dan rektum. Sepeninggal sang suami, ibu Jacobs yang mengidap gangguan bipolar, tak mampu mengurus anak-anaknya. Tumbuh besar, Jacobs yang tak merasa benar-benar dicintai oleh orangtuanya, terpaksa harus menjadi sosok ayah dan ibu bagi adik-adiknya, sebuah tanggung jawab yang tentunya tidak ia sukai. Namun keadaan di rumah berubah 180 derajat ketika ia mulai menginjak usia remaja dan pindah untuk tinggal dengan neneknya yang memiliki sebuah apartemen di kawasan Central Park West.

Perubahan besar dalam kehidupan domestiknya ini menjadi awal dari kehidupan baru yang begitu Jacobs syukuri. Nenek Helen mencurahkan begitu banyak cinta untuk Jacobs, mengajarkannya konsep berbusana sesuai musim, perbedaan busana musim semi dengan musim gugur, tanpa melupakan tas dan sepatu nan serasi—yang hanya akan dikeluarkan dan disimpan sesuai dengan pergantian musim. Ia juga mengajari Jacobs pentingnya memiliki sehelai sweter berkualitas baik alih-alih 10 sweter berkualitas buruk. Pelajaran- pelajaran tentang gaya serta perhatian Nenek Helen memberikan kestabilan dan keamanan bagi Jacobs. Bersama wali yang juga merupakan malaikat pelindungnya, Jacobs pun menemukan kepercayaan diri untuk berkarya di dunia baru yang kini ia tinggali.

THE GURU OF GRUNGE

Ketertarikan Marc Jacobs pada mode mengantarnya pada kesempatan mengenyam pendidikan di High School of Art and Design, sebelum kemudian melanjutkannya di salah satu institusi pendidikan mode terbaik dunia, Parsons School of Design. Untuk proyek tahun terakhirnya, Jacobs mempersembahkan sebuah koleksi yang terdiri dari 3 sweter bersiluet oversized dan turut dirajut tangan oleh sang nenek. Ia kemudian lulus pada tahun 1984 dan mengantongi penghargaan Chester Weinberg and Perry Ellis Gold Thimble serta Design Student of the Year. Pada tahun yang sama, ia mendirikan label mode eponimnya.

Sisi playful dan whimsical Jacobs yang tercermin lewat karya-karyanya mencuri perhatian Council of Fashion Designers of America dan membuat sang desainer dianugerahi penghargaan Perry Ellis Award for New Fashion Talent. Kemampuannya menciptakan humor yang juga dapat mengandung arti filosofis, membuat Jacobs menjadi desainer termuda yang pernah ada untuk menerima pengahargaan bergengsi tersebut.

Pada 1989, Jacobs bergabung dengan Perry Ellis dan menjadi direktur kreatif sekaligus wakil presiden label asal Amerika Serikat tersebut. Kiprah Jacobs di Perry Ellis membuatnya begitu dikenal secara internasional, terlebih lewat koleksi bergaya grunge yang ia luncurkan pada tahun 1992 dan dinilai banyak kalangan begitu revolusioner. Terinspirasi dari musik grunge yang mulai naik daun saat itu, koleksi tersebut menampilkan beragam kombinasi tak lazim—meliputi deretan gaun flora bergaya feminin yang dipadankan dengan pasangan combat boots nan tangguh—untuk mewujudkan gaya individualistis dan mengekspresikan sikap acuh tak acuh.

Marc Jacobs dan Kate Moss di helatan Met Gala 2009.

Pada era ini pula, gaya waif khas supermodel Kate Moss mulai dilirik dunia. Dinilai kontras dengan keglamoran para model bertubuh fit yang kerap menghiasi sampul majalah-majalah internasional, model kelahiran Inggris tersebut menjadi salah satu peraga koleksi gubahan Jacobs tersebut. Bersama- sama, keduanya seakan mengantarkan dunia pada sebuah era mode baru yang menyoroti gaya grunge sebagai porosnya. Meski koleksi Jacobs yang begitu monumental membuatnya dianugerahi penghargaan CFDA Womenswear Designer of the Year, nyatanya pencapaian tersebut tak mampu menjaga kursinya di Perry Ellis. Konon, kontrak sang desainer yang dihentikan merupakan hasil dari perubahan radikal yang dipimpinnya yang menjauhi citra tradisional dan minimalis label tersebut.

A MASTERCLASS IN COLLABORATION

Marc Jacobs kembali dilirik dunia seusai meluncurkan koleksi perdana untuk label eponimnya, Marc Jacobs, pada April 1994. Kesuksesan show tersebut mengantarkannya pada berbagai proyek kreatif, peluncuran sejumlah koleksi independen serta kesempatan membuka butik di beberapa kota. Tiga tahun kemudian, Jacobs menjual 96% saham label miliknya kepada LVMH. Keputusan ini bertepatan dengan penunjukkan dirinya sebagai direktur kreatif Louis Vuitton, di mana sang desainer tak hanya menyegarkan label koper kaya sejarah dan warisan tersebut, namun turut memperkenalkan lini busana siap pakai serta melebarkan sayapnya dan merambah ke departemen aksesori.

Apabila kita menengok rumah mode Louis Vuitton hari ini—atau bahkan rumah mode luks lainnya—proyek kolaborasi tampak lumrah, dan bahkan menjadi pakem untuk dilaksanakan tiap musimnya. Baik antar desainer, dengan seniman, musisi, atau bahkan antar label yang tak saling berhubungan, segalanya menjadi mungkin sedikit banyak berkat sosok Marc Jacobs.

Lewat kepemimpinannya di Louis Vuitton, Jacobs menginisiasi sejumlah proyek kolaborasi yang teramat sukses dengan seniman- seniman kontemporer seperti Stephen Sprouse (2001), Takashi Murakami (2005), Richard Prince (2007), dan Yayoi Kusama (2012). Kesuksesan koleksi-koleksi kolaborasi ini menjadi begitu penting dalam strategi bisnis Louis Vuitton, dan membuka pintu bagi sejumlah rumah mode lainnya untuk mengikuti langkahnya. Kolaborasinya dengan Murakami, bahkan disebut-sebut dunia sebagai proyek pertama yang akhirnya mampu menjembatani industri mode dengan dunia seni. Dihelat selama 12 tahun, koleksi kolaborasi ini mampu meraup penghasilan mencapai USD300 juta dan masih menjadi buruan di pasar luxury second-hand hingga hari ini.

Koleksi terakhir Marc Jacobs untuk Louis Vuitton.

Tak hanya sukses di Louis Vuitton, label Marc Jacobs turut berkembang di bawah naungannya. Pada tahun 2001, Marc Jacobs meluncurkan lini difusi pertamanya, Marc by Marc Jacobs. Lewat koleksi tas warna-warni bak permen, celana jeans berpotongan flare, hingga segala pernak-pernik yang dibanderol dengan harga lebih murah, Jacobs mendemokrasikan mode dan membuatnya dapat diakses oleh siapa saja. Visinya yang terbilang maju pada waktunya, mengantarkannya pada berbagai kesempatan bisnis nan atraktif seperti meluncurkan lini wewangian (2007), toko buku Boomarc di New York (2010) dan Jepang, serta lini kosmetik Marc Jacobs Beauty (2014).

MAKING PEACE

Setelah 16 tahun berkarya dan mengubah paras Louis Vuitton menjadi salah satu label luks paling dikenal dunia, Marc Jacobs memutuskan untuk hengkang pada tahun 2013 agar dapat fokus pada lini eponimnya. Dua tahun kemudian, Jacobs menutup lini difusinya, Marc by Marc Jacobs. Langkah ini mengejutkan banyak pihak terlebih ketika mengingat lini ini merupakan salah satu penghasil pendapatan terbesarnya. Meski demikian, Jacobs dikabarkan terus merugi di tahun 2018 dan telah kehilangan lebih dari USD57 juta tiap tahunnya seiring namanya yang kian meredup.

Meski begitu adanya, Jacobs menghadapinya dengan penuh lapang dada. Berbicara mengenai relevansi dan umur panjang, ia sadar adanya sebuah siklus yang harus dihadapi tiap desainer. Ia juga tahu betul bahwa setiap orang menginginkan kebaruan dari seseorang yang baru. Ia bukan lagi seorang desainer berusia 25 tahun yang ditawarkan pekerjaan bergengsi di Perry Ellis, atau seseorang yang baru saja meluncurkan koleksi grunge-nya di tahun 1990-an. Jacobs melihat dirinya kini sebagai seorang laki-laki paruh baya yang masih diberi kesempatan untuk mengerjakan sebuah koleksi tiap musimnya. Dan ia menerimanya dengan penuh kesadaran.

Setelah melewati beberapa tahun penuh tantangan, secercah harapan mulai tampak dalam karier Jacobs, meliputi peluncuran Redux Grunge Collection 1993/2018, sebuah koleksi khusus yang kembali menampilkan karya-karya terbaik Jacobs di Perry Ellis serta kebangkitan kembali produk-produk Marc by Marc Jacobs dalam format The Marc Jacobs—sebuah lini khusus yang mengombinasikan produk basic dari arsip lama Jacobs serta produk-produk kolaborasi terbarunya. Konon katanya, sutradara dan muse Jacobs, Sofia Coppola, turut membantu sang desainer untuk memilih produk mana saja yang akan diluncurkan kembali.

Walau namanya tak sebesar label-label luks raksasa Prancis yang begitu diagung-agungkan, nyatanya nama Marc Jacobs masih memiliki daya tarik yang mampu membuat sejumlah jurnalis Eropa dan belahan dunia lainnya terbang tiap musimnya untuk menghadiri show yang dihelatnya di New York Fashion Week. Ketika sejumlah desainer Amerika tengah bereksperimen dengan pasar lain dan mulai mempresentasikan di Paris, Jacobs terus setia dengan kota kelahirannya. Dan layaknya seorang desainer sejati, Marc Jacobs tak berniat untuk berhenti berkarya selama masih ada banyak visi yang terus lahir di kepalanya.