8 Juli 2022
Adikara Fardy Terinspirasi oleh Cinta
Garis hidup seseorang berjalan beriringan dengan keyakinan yang kuat dan kegigihannya; sebagaimana kisah Adikara Fardy dalam melantangkan impian.
"Musik adalah jalan tercepat untuk mendekati seorang perempuan; sebuah pelajaran awal tentang percintaan yang saya peroleh dari kakak,” Adikara Fardy tertawa ringan membuka obrolan kami pada siang hari itu. Pengutaraannya tersebut merupakan respon cepat atas keingintahuan saya perihal yang mengantarkan langkahnya bermusik. Ia tidak benar- benar berpikir demikian, setidaknya setelah kini menekuni musik hampir separuh usia hidupnya. “Musik telah menjadi ‘akar’ yang membawa saya kembali pada diri sendiri,” kata nomine Artis Jazz Kontemporer ajang Anugerah Musik Indonesia, selama dua tahun berturut-turut, dari tahun 2020.
Lahir tahun 2000, Adikara telah memiliki angan bahwa ia akan merayakan hidupnya dengan melantunkan sajak bermelodi. “Sejak usia tiga tahun, saya pikir saya sudah tahu bahwa saya berkeinginan menjadi seorang penyanyi,” akunya. Adalah sang ayah, sosok yang berperan besar dalam menumbuhkan kecintaan Adikara terhadap musik. “Semasa kanak- kanak, bokap akan memutar koleksi DVD Blu-ray konser musisi-musisi idolanya untuk kami tonton bersama, setiap malam, sebelum waktu tidur. Mulai dari Michael Jackson, The Jackson 5, The Beatles, sampai Mick Jagger. Seolah olah beliau telah menyadari minat saya terhadap musik sedari dulu, dan dengan sengaja membantu saya mengasahnya,” tutur Adikara mengenai awal perkenalannya—yang sesungguhnya—dengan musik. Kendati begitu, ucapannya yang memecahkan suasana di awal percakapan ini bukan sepenuhnya gurauan. Ia mengakui perbincangan bersama sang kakak mengawali ketertarikannya memelajari instrumen musik. “Dia adalah orang yang mengajarkan saya bermain gitar, terlepas dari alasannya semula ialah untuk merayu perempuan,” Adikara kembali tergelak sebelum melanjutkan bicara, “Tapi sejak itu saya mulai mengenal dan mendalami melodi. Thanks to him!”
Keseriusan Adikara berkarya di dunia musik mulai nyata terlihat sejak ia duduk di bangku sekolah menengah. Ia sempat bergabung dalam sebuah band; menjuarai sejumlah kompetisi musik hingga tampil di televisi. Namun alur persekutuan tidak lama menggarisi hidup Adikara. Sebuah peristiwa kurang menyenangkan yang melibatkan keputusan sepihak memangkas karier berkelompoknya. Ia mengisahkan masa lalunya secara maju-mundur. Beberapa kali menarik ulang ucapannya agar tidak timbul kesalahpahaman, sampai meminta saya untuk menyimpan kisahnya sendiri (“Tidak, tidak, bagian ini hanya untuk telinga Anda,” katanya). “Anda tahu bahwa Anda lebih baik berjalan sendiri ketika keberadaan Anda tidak dihargai sebagaimana semestinya,” tuturnya setelah merasa menemukan ungkapan yang tepat. Pengalaman kurang menyenangkan itu menjadi ‘cambuk’ yang menggelorakan gairah Adikara teguh berdaya di kakinya sendiri, ketimbang meributkan keadaan.
“Tantangannya kemudian setiap kali kita berencana memulai sesuatu, pasti ada orang-orang yang memandang sebelah mata, dan menertawakan upaya kita,” tuturnya. Pengalaman itu pun tak luput “mewarnai” perjalanan bermusiknya. Di sekolah, ia kerap menerima ejekan lantaran gemar mengunggah video rekaman mengover lagu-lagu milik musisi lain di akun media sosial pribadinya. “‘Mau jadi pengamen lo?’ adalah sindiran yang terus-menerus menggemakan telinga saya. Mereka juga selalu memanggil saya dengan julukan: Indomusicgram-boy (karena hashtag yang ia gunakan di setiap unggahan videonya),” ia bercerita lugas, “Tapi saya tidak peduli. Saya sama sekali tidak merasa malu. Apa yang saya lakukan ialah untuk mewujudkan cita-cita yang saya yakini. Saya bisa berada di tempat saya berdiri hari ini karena berpegang pada keyakinan itu, dan tidak membiarkan mereka melemahkan aspirasi saya.”
Tahun 2019, konten video Adikara berhasil menarik atensi salah satu label musik besar di Indonesia, Trinity Optima Production, hingga mendapat tawaran kontrak rekaman. Tanpa berpikir dua kali, ia menyambut penuh antusias invitasi itu. Single bertajuk Pesona Cinta—rilis pada tahun tersebut—menandai debut karier profesional Adikara Fardy sebagai seorang musisi. “Dilirik oleh label besar sempat membuat saya mengalami star syndrome,” Adikara tergelak mengungkap euforia yang ia rasakan di awal karier. Saya tersenyum. Bukankah lumrah jika seseorang berbangga diri bilamana cita-cita yang diperjuangkan sepenuh hati akhirnya terlaksana. Namun fase tersebut beralih menjadi titik balik yang menempa Adikara agar lebih mengenal pribadinya. “Sebagai ‘anak baru’ saya menerima segala usulan serta arahan dengan tangan terbuka. Tanpa sadar saya telah mengesampingkan suara pribadi, sampai akhirnya saya mendengarkan hasil rekaman yang dibuat dan tidak merasakan nyawa saya di dalamnya. Saya tidak ingin menjadi musisi yang tidak punya identitas,” tuturnya.
Kesadaran diri itu pun mendorongnya berlatih mencipta karya secara mandiri. Ia telah menetapkan swing-pop sebagai iramanya saat mendapati hatinya larut dalam buaian karya-karya Frank Sinatra. “Tubuh saya seakan-akan bereaksi secara natural mengikuti iramanya,” katanya. Persona nada itu termanifestasi dalam minialbum Love & Imagination yang rilis tahun 2020 silam. Dalam karya tersebut, ia juga menulis sendiri seluruh liriknya (beberapa lagu merupakan narasi kolaboratif) yang berfokus pada romansa.
“Pertemuan dan cinta adalah sumber inspirasi saya. Saya mudah terpicu afeksi. I’m all about love,” kata Adikara. Ia mengungkapkan rencananya mengikuti program singkat pelatihan songwriting di Berklee College of Music di bulan Juni mendatang. “Kalau nilai saya cukup baik, saya berkeinginan melanjutkannya ke jenjang kuliah,” tuturnya. Bagaimana dengan rencana albumnya? “Kami sedang dalam tahap mematangkan konsepnya. Ada waktu untuk setiap proses. Mungkin belum tahun ini, tapi rencana itu tentu ada,” janjinya sebelum mengakhiri perbincangan.