LIFE

11 Oktober 2018

Afgan Telah Menetapkan Arah Berkarya


Afgan Telah Menetapkan Arah Berkarya

Hidup tidak selalu berjalan mulus, tapi berputar seperti roda. Afgan telah berhasil melewati rotasinya selama satu dekade.

Banyak hal yang terjadi dalam 10 tahun; Indonesia memiliki Menteri Luar Negeri perempuan pertama serta menjadi Dewan Keamanan Tidak Tetap PBB (Persatuan Bangsa Bangsa), Instagram tak lagi berbentuk square, dan George Clooney akhirnya menikah! Itu adalah segelintir fenomena yang berdampak secara global. Tetapi, tulisan ini bukan untuk membicarakan hal-hal tersebut. Hari itu, saya menunggu Afgansyah Reza (29) selesai pemotretan dengan tim ELLE Indonesia di kamar 511, Hotel Monopoli. Memori saya akan penyanyi bersuara bariton itu segera tertuju pada lagu Terima Kasih Cinta. Lagu tersebut menjadi debut yang sukses mengantarkan jalan laki-laki yang akrab disapa Afgan ini sebagai salah satu penyanyi solo terbaik di Indonesia, dengan berbagai gelar penghargaan dari institusi lokal maupun internasional.

Selagi menunggu, saya pun bernostalgia dan mendengarkan kembali lagu-lagu Afgan lewat sebuah layanan musik digital. Album teranyarnya yang dirilis Februari silam berjudul Dekade. Telinga saya belum familiar dengan empat lagu urutan teratas, tidak seperti 10 judul lain yang merupakan lagu lama tapi dalam aransemen baru. Jadi, bisa dikatakan, ini adalah album best of the best Afgan. Meski begitu, satu hal menarik perhatian saya, sang lagu legendaris Terima Kasih Cinta tidak masuk daftar 14 lagu Dekade. “Mungkin orang lain menilai album ini sekadar best of the best, kumpulan dari lagu-lagu lama. Tapi, bagi saya, maknanya jauh lebih dalam dari itu,” kata Afgan saat saya bertanya perihal Dekade.

afgan interview elle indonesia - photography panji indra - styling ismelya muntu - editor feature anovalia
Afgan for ELLE Indonesia Oktober 2018, photography PANJI INDRA styling ISMELYA MUNTU fashion HERMÈS location HOTEL MONOPOLI

Laki-laki berkacamata bundar ini membawa saya menjelajahi waktu, mundur hingga sepuluh tahun silam, ketika ia menamatkan bangku SMA (Sekolah Menengah Atas) dan memulai karier di bidang musik. “Pertama kali masuk industri musik tahun 2008, yang saya inginkan sebenarnya menyanyikan black music; R n B, soul, dengan sedikit jaz. Tapi label saya saat itu bilang ‘Oh, suara kamu lebih cocok untuk lagu sedih’ dan bahwa saya akan lebih sukses dengan lagu balada atau melayu.” Afgan muda, yang kala itu baru saja lulus SMA serta masih naif akan tujuan hidup, akhirnya menuruti arahan bermusik dari label rekamannya yang terdahulu. Pendapat sang label rekaman mengenai citra ‘suara’ Afgan memang terbukti. Lagu Terima Kasih Cinta meraih lima nominasi dari berbagai ajang penghargaan pada 2009. Salah satu nominasi memberikan kemenangan manis kepada Afgan sebagai penyanyi solo terbaik di Asia Tenggara. Album perdananya sendiri, Confession No. 1 (2008), mendapatkan tiga piala penghargaan di tahun yang sama. Ketika Afgan merilis Sadis sebagai single kedua albumnya, masyarakat beramai-ramai menjadikan lagu tersebut sebagai anthem patah hati. Sambutan baik masyarakat tersebut seolah semakin membenarkan sudut pandang label rekaman. Padahal, “Jujur, saya tidak merasa puas dengan album saya saat itu,” ungkap Afgan.

Saat ia menyampaikan pandangannya kepada label rekaman, tanggapan yang diterima jauh dari harapan. “Sepuluh tahun lalu, saat saya mulai menggeluti bidang ini, pilihan lagunya hanya melayu, jika tidak galau. Masyarakat memiliki andil besar dalam hal tersebut. Mungkin karena pengaruh selera pasar juga, sehingga label merasa harus memenuhi ‘tuntutan’ berskala besar tersebut. Dan label saya dulu, masih merupakan label kecil yang terbilang baru. Mereka tidak berani atau mau mengambil risiko. Menurut mereka, jika sebuah lagu terlalu idealis tidak akan laku di pasar.” Ia menambahkan, “Jadi, saya hanya diperbolehkan menyanyikan lagu bertema sendu. Bahkan, mereka mengawasi saya rekaman sekadar untuk memastikan saya tidak bernyanyi menggunakan vibra. Saya benar-benar merasa hidup saya dikendalikan, secara karya maupun sebagai manusia.”

Tekanan dari label rekaman tersebut membuat Afgan sulit berkata tidak hingga akhirnya dilanda frustasi. Ya, bahkan dengan seluruh kesuksesan besar yang ia capai. “Saya tidak bisa mengekspresikan diri. I didn’t get to my full potential.” Perasaan tidak lengkap itu lama-kelamaan menggerogoti dirinya. Saat bernyanyi, Afgan seperti tidak lagi mengenali suaranya sendiri. “Pergulatan mencari jati diri itu terkadang saya rasakan ketika tampil di hadapan publik. Situasinya benar-benar membuat depresi,” ceritanya.

afgan interview elle indonesia - photography panji indra - styling ismelya muntu - editor feature anovalia
Afgan for ELLE Indonesia Oktober 2018, photography PANJI INDRA styling ISMELYA MUNTU fashion CK Calvin Klein location HOTEL MONOPOLI

Afgan tak sedang menunjuk siapa yang patut disalahkan dari masa lalu. Ia hanya mengenang kembali masa-masa berat yang telah lewat dan bagaimana ia berhasil melaluinya. Dengan begitu, menjadi salah satu caranya memotivasi diri ketika menghadapi fase sulit, selain mendekatkan pribadi kepada Sang Pemilik Semesta. Saya meminta Afgan untuk berandai, bagaimana jika ia tetap memaksakan kehendak untuk berkarya dengan aliran musik pilihannya? “Saya tidak tahu. Everything works out in the end. Saya sadar tidak akan sampai di posisi sekarang tanpa lagu-lagu itu. Mereka telah membesarkan nama saya. Saya anggap proses itu suatu bentuk pendewasaan diri yang mendorong saya lebih jujur dalam berkarya.”

Dua tahun adalah waktu yang diberikan Afgan untuk ‘menyenangkan’ orang lain. “Saya tidak mau menyalahi kontrak yang telah ditandatangani dengan label lama. Jadi, saya sabar saja menunggu masa kontrak selesai hingga 2010,” kata Afgan menjelaskan alasannya. Tahun 2011, ia memulai langkah baru bersama label rekaman Trinity Optima Production—masih menjadi rumahnya bernaung sampai hari ini. Hal pertama yang ia rasakan: terbebaskan. “Mereka memberikan saya keberanian serta mendorong diri saya agar berkembang. Saya diminta menulis lagu sendiri dan diberi kebebasan bernyanyi dengan cara apa saja. Mereka ingin saya menemukan suara saya.” Kini, Afgan telah menjalankan hidup sebagaimana yang ia inginkan. “I’m a better human being now,” ujarnya menilai diri sudah jauh berkembang. Ia belajar dari kesalahan serta tidak malu mengakuinya.

Jika Anda bertanya, apakah Afgan bahagia? Ya, dan ia siap berkata ‘tidak’ kapan saja. “Dulu, saya tidak menjadi diri sendiri karena masih ingin menyenangkan orang lain. Saya bersedia menjalankan segala hal termasuk yang tidak saya suka. Sekarang, saya berusia 29 tahun dan merasa nyaman dengan diri sendiri. Saya telah menemukan hasrat yang membuat saya bahagia. I’m in my own control, no one can control me. Saya tidak takut menolak sesuatu jika itu bertentangan dengan keyakinan saya,” tegasnya. Seperti jika diminta menulis lagu berisikan isu kontemporer nan berat, misalnya. “Saya tidak akan mencipta sesuatu yang tidak saya pahami. Ini juga yang mendasari saya memilih tema cinta untuk lagu-lagu saya. Sebab, hal itu saya mengerti,” kata Afgan tertawa.

afgan interview elle indonesia - photography panji indra - styling ismelya muntu - editor feature anovalia
Afgan for ELLE Indonesia Oktober 2018, photography PANJI INDRA styling ISMELYA MUNTU fashion HERMÈS location HOTEL MONOPOLI

Walau mengaku andal menulis lirik cinta, Afgan masih terbelit ketika kami membahas topik romantisisme ini lebih jauh. Bahkan, ia tampak bimbang saat saya tanyakan seberapa penting keberadaan cinta untuk hidupnya. “Katanya cinta hadir dalam banyak bentuk, kan?” Ia balik bertanya pada saya lalu tertawa.

Prinsip Afgan dalam hal ini adalah cinta tidak harus memiliki. Terdengar klise, memang, ia mengakui. Namun, ia tidak terlihat ragu-ragu ketika mengatakan, “Dalam hidup, tak semua hal bisa Anda dapatkan sesuai harapan. Lagipula tidak memiliki bukan berarti harus berhenti mencintai, kan? Saya perhatikan, Afgan selalu mengakhiri penyataannya dalam sebuah bentuk pertanyaan. Isyarat tidak yakin atau justru mencari pembenaran?

“Cinta itu murni. Anda hanya ingin yang terbaik untuk seseorang. Melihatnya bahagia, tanpa syarat untuk dibalas. Bisa ikhlas menerima bagian buruk, bukan hanya yang baik. Rela berkorban, dan jika Anda bisa melepaskan sesuatu berarti Anda benar-benar mampu untuk mencintai,” katanya kemudian menghapus keraguan saya apakah ia sungguh meyakini setiap perkataannya. Suaranya menghalus, seolah ia berbicara atas dasar pengalaman pribadi.

Keyakinan Afgan terhadap cinta, ia dapatkan dari tiga keponakannya yang masih kecil. “Mereka yang membuat saya mengerti cinta. Dengan melihat mereka bahagia, tertawa, walaupun kadang juga sangat berisik, perasaan saya sudah bahagia sekali. Saya pikir, itu bisa dibilang perasaan cinta. Saya harap saya mampu merasakan hal itu juga jika suatu hari bertemu jodoh saya.”

Afgan sudah dipanggil lagi untuk melanjutkan pemotretan. Sebelum pergi, ia memberikan saya, dan untuk Anda juga, sebuah gagasan, “Jika Anda benar-benar menemukan cinta dalam hidup, it stays.”