17 September 2021
Angga Yunanda Menemukan Prioritas Pribadi

Angga Yunanda menemukan jalan kehidupan riuh tepuk tangan dan sanjungan. Sang aktor muda membicarakan perasaannya bertumbuh dewasa di perlintasan ketakpastian.
Manusia bertumbuh dengan memahami sebuah konsep bahwasanya kehidupan adalah suatu proses. Anda tahu apa yang berjalan paralel dengan proses? Waktu. Suatu dimensi masa yang cara kerjanya elusif, sebagaimana kehidupan itu sendiri. Kita dapat berencana untuk satu tahun, hingga dekade yang akan datang; melewati setiap fase sesuai alurnya. Barangkali juga kita butuh tempo lebih lama dalam melampauinya, dan jika beruntung, kita akan memperoleh sebuah momentum yang membuat jalan hidup berubah seketika.
Tahun 2019, Angga Yunanda—aktor muda asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang memulai debut akting lewat sinetron televisi—merasakan dunianya bertransisi setelah membintangi layar lebar Dua Garis Biru. Film itu bukan peran perdananya. Namun karya Gina S. Noer yang melejit di pasaran (menjadi salah satu film laris yang dipuji para kritisi, serta meraih 14 piala berbagai ajang penghargaan) tersebut secara drastis memperkuat eksistensinya di kancah perfilman Indonesia. Kepiawaiannya menghidupkan tokoh Bima di film tersebut mengantarkan ia, yang kala itu berusia 19 tahun, sebagai nominator aktor terbaik Festival Film Indonesia 2019, Piala Maya 2020, juga memenangkan penghargaan Indonesia Movie Actor Awards 2020.

styling Ismelya Muntu fashion Hartono Gan (kemeja dan celana), Moral (jaket), Raccoonandbabies (aksesori), location The Dharmawangsa Jakarta.
Saya kali pertama berkenalan dengan Angga (sapaan akrabnya) di tahun 2020 silam. Berbagai tawaran bermain peran tengah membanjirinya secara beriringan. Saat itu, ia baru menyelesaikan syuting beberapa proyek untuk jadwal perilisan tahun depan: serial web berjudul Antares dan Kisah Untuk Geri, serta film Cinta Pertama Kedua & Ketiga yang mempertemukannya kembali dengan Gina S. Noer. Agendanya terencana matang, “Setidaknya dua tahun ke depan,” ungkap figur ELLE Young Talent 2021 itu. Di waktu bersamaan, reputasi Angga telah menjangkau basis penggemar jauh lebih luas dari yang pernah ia bayangkan. Orang-orang semakin mengindahkan keberadaannya. Disapa hingga diberhentikan untuk permintaan foto bersama di tengah jalan, selayaknya ‘makanan’ sehari-hari yang terbiasa ia kecap di empat tahun awal kariernya. Tetapi mendapati sekitar 40–50 orang singgah di depan rumahnya setiap saat ia pulang ke Lombok— tanah kelahiran sekaligus kediamannya selama seperempat abad bernapas—ialah sesuatu di luar antisipasinya.
“Efek Dua Garis Biru benar-benar signifikan bagi karier dan hidup saya,” Angga mengenang titik monumentalnya itu ketika kami kembali berbicara beberapa bulan lalu. Ia tersentak menyadari kalimatnya bisa jadi berbeda makna, seiring tawanya memecah suasana. “Saya pernah menemukan beberapa orang yang benar-benar mengikuti gerak saya. Ke mana pun saya pergi, di sana ada mereka,” ceritanya cekikikan. Di titik ini, ia telah berdamai dengan keterkejutan yang sempat membuatnya gelisah ke luar rumah ketika berada di kampung halaman, dan bersikap lebih santai. Namun tetap saya bertanya, bagaimana—sesungguhnya—yang ia rasakan? Reaksi Angga penuh tutur kata santun (persis pribadinya). Ia mengaku tidak merasa terbebani oleh segala bentuk atensi publik. Ia memahami betul impak atas pilihan profesinya. Ia menekankan setiap perkataannya agar tidak tercipta salah paham selagi berterus terang, “Saya menghargai perhatian yang diberikan, sungguh saya tidak mempersoalkan, apalagi menganggapnya sebagai beban risiko. Namun adakalanya—saat pulang ke Lombok—saya hanya ingin menjadi orang biasa dan istirahat dari hiruk-pikuk dunia.”

Kami duduk bersama di balkon kamar tempatnya beristirahat usai sesi pemotretan ELLE Man September 2021 yang menyertakan aksi potong rambut. Kini, penampilan rambut Angga lebih pendek dari semula ia datang. “Segar banget! Saya memang ingin potong rambut sejak lama. Tapi karakter di film berikutnya mengharuskan berambut gondrong,” ujarnya. Film yang ia bicarakan adalah Mencuri Raden Saleh, proyek baru sutradara Angga Dwimas Sasongko, di mana ia akan memerankan peretas ulung yang terlibat upaya pencurian lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya seniman Raden Saleh yang legendaris. Ia tidak mangkir dari komitmen profesionalnya—jika itu yang Anda pikirkan. Sebelum pemotretan, ia mendapat kabar bahwa jadwal syuting filmnya ditunda sehubungan krisis layanan kesehatan nasional. “Semestinya kami mulai syuting di bulan Juli. Tapi situasi sekarang membuat segala sesuatunya terus-menerus berubah. Kita hanya bisa optimis dan selalu siap saat waktunya datang,” kata Angga.
Sudah lebih dari 70 minggu sejak awal pandemi membelenggu bumi. Dunia telah melalui beragam peristiwa. Beberapa di antaranya cukup bersejarah; seperti Indonesia memenangkan medali emas olahraga bulu tangkis Ganda Putri di ajang Olimpiade Tokyo 2020. Ironinya roda kehidupan seakan tak berputar; kita masih berada di titik ketakpastian berselimut kesenyapan. “Saya pernah membayangkan betapa menyenangkan kalau bisa pergi ke sebuah tempat di mana tidak ada banyak orang. Saat benar- benar mengalami hal itu sekarang, saya enggak lagi mengharapkannya,” Angga tersenyum miris lalu melanjutkan, “Terlepas dari kekacauan dan kesedihan yang disebabkan pandemi, berada di situasi ini membuat saya mampu melihat dan memahami segala hal jauh lebih baik, termasuk bersyukur atas perihal kecil yang terlihat ringan namun sebenarnya berharga.” Begitulah perangainya, selalu berupaya mencari sisi terang dalam setiap gelap.
Beberapa agenda proyek film Angga di tahun ini berpindah lini masa. Alih-alih kesehariannya berjalan sedikit lebih tenang. Suasana tenteram itu membawanya pada perenungan atas eksistensinya di dunia seni peran dan entitas kemanusiaannya.

“Bagaimana jika saya tidak lagi bisa melakukan hal yang saya cintai? Bagaimana jika—semoga tidak terjadi dalam waktu dekat hahaha—saya tak lagi relevan di dunia seni peran?” gumamnya. Dunia entertainment, sebagaimana bidang industri lain, bergerak selaras dengan zaman yang senantiasa menuntut kebaruan. Pengandaian itu pun tak luput mencolek pikiran Angga. Selaku wajah muda bereputasi gemilang, ekspektasi terhadap karyanya terus-menerus ditantang. Tidak jarang kapabilitasnya dipertanyakan. Seperti ketika namanya diumumkan sebagai pemeran utama serial web Antares (premier 6 Agustus 2021) besutan Rizal Mantovani, antipati publik segera bergemuruh di media sosial.
“Mungkin ada sekitar lebih dari 6.000 komentar yang menulis, ‘Kenapa Angga yang memerankan Ares??” kisahnya. Apakah ia membaca satu per satu sentimen tersebut? Ya. Jika bicara menyoal media sosial, intinya tentang sudut pandang. Opini publik bukan sebuah kebaruan bagi profesinya, dan ia paham akan perihal tersebut. Angga berusaha untuk mendengar apa pun aspirasi publik terhadap sosoknya, tidak hanya terhanyut dalam eulogi yang malah dapat menyesatkan arah langkah. “Saya memandang kritik sebagai narasi kehidupan yang membangun motivasi. Meski ada juga ungkapan murni ketidaksukaan, tapi cukup tidak saya pedulikan. Kita adalah pengguna media sosial, posisi ini menjadikan kita sesungguhnya pemilik kendali dan bukan sebaliknya. Saya pikir, penting untuk lebih bijak dalam menempatkan peran kita. Sebab, kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di balik unggahan seseorang,” katanya.
Saat ditemukan oleh casting director di sebuah festival pencarian bakat pada 2015, dunia entertainment terasa asing bagi Angga yang minim pemahaman seni peran. “Keberadaan saya di industri hiburan saat ini bukanlah sebuah perjalanan mulus. Tahu enggak jumlah audisi yang lepas dari tangan saya sampai hari ini? Banyak. Banget.” Angga mengaku sempat tidak menaruh ekspektasi tinggi untuk dapat memiliki karier profesinya, kala pertama menjajal akting. “Tapi lewat audisi juga saya belajar untuk meningkatkan potensi diri. Maka itu, saya tidak pernah merasa kecil hati bila gagal mendapat peran,” ujarnya. Seni peran memberikan Angga ruang bertumbuh sebagai manusia, yang membuat ia kian mencintai profesinya. Oleh karena alasan tersebut, ia berusaha mengurasi peran-perannya secara lebih matang. “Saya tidak ingin karakter yang saya mainkan sekadar menjadi ‘pemanis’ visual,” tegasnya.

Beberapa minggu usai hari pemotretan, Angga mengabarkan bahwa ia telah ditunjuk sebagai salah satu duta Festival Film Indonesia (FFI) 2021. “Saya benar-benar merasa terhormat dapat dipercaya untuk menjadi bagian dari sejarah FFI,” tulisnya dalam pesan singkat yang tampak begitu bersemangat. Seiring perjalanannya di dunia seni peran Tanah Air, kini Angga tak lagi berusaha sekadar meneguhkan presensi. Ia berhasrat untuk lebih berkontribusi dalam memajukan ekosistem perfilman Indonesia. “Saya berharap keterlibatan kami semakin meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap film- film Indonesia, serta memotivasi generasi muda lainnya untuk optimis berkarya,” ujarnya.
“Angga adalah sosok individu yang tahu caranya menghargai sesama manusia, dan karenanya ia merupakan aktor yang baik. Kualitas ini juga yang membuat kami, para sutradara, terutama saya, untuk berani mengeksplorasi kerapuhan hidup manusia dalam bercerita. Sebab, kita tahu bahwa aktor yang memerankannya akan melakukan dengan penuh ketulusan dan rasa hormat. Dalam berperan, Angga tidak sungkan menjadi vulnerable. Ia selalu mau mendengarkan, dan bersikap terbuka. Keinginannya untuk mengembangkan diri sangat besar,” Gina S. Noer mengungkapkan sudut pandangnya perihal karakter sang aktor muda ketika saya bertanya lewat telepon.

“Menjadi aktor mengajarkan saya untuk lebih memahami perasaan diri sendiri. Saya rasa hal inilah yang menguatkan kemanusiaan kita,” ujar Angga saat berbicara di balkon pada hari itu. Atas pilihannya sendiri, ia telah ‘keluar rumah’ sejak usia 15 tahun. Ia merantau ke Ibu Kota untuk meraih setiap peluang yang ditawarkan dunia sinematik. Antusiasme menjelajahi realitas kehidupan, bergelimang keleluasaan (plus ketiadaan jam malam), barangkali menyuguhkan kenikmatan sebuah kemerdekaan. Kendati demikian, hidup jauh dari orangtua bukan tanggung jawab mudah untuk dilalui oleh seorang remaja. “Tidak dipungkiri, terkadang rasa kesepian hadir. Tapi saya beruntung memiliki orangtua yang selalu mendukung setiap pilihan saya,” katanya.
Bulan Mei silam, Angga menginjak usia ke-21; sebuah fase kedewasaan di mana seseorang, biasanya, mulai mendamba ruang lebih untuk privasinya. Namun jiwa family man dalam dirinya justru bersorak saat orangtuanya memutuskan hijrah ke Jakarta, setelah keduanya menunaikan masa bakti mengajar. Sebuah rumah pun ia persiapkan untuk tempat tinggal bersama keluarganya. “Di usia ini, saya belajar menemukan prioritas pribadi, yaitu keluarga. Kita tidak pernah tahu bagaimana rupa masa depan, dan saya tidak berniat hidup dalam penyesalan atas pilihan yang tidak tepat,” katanya. Saya dapat memahaminya. Bukankah hidup manusia itu adalah tentang sebuah pilihan, dan pada satu titik, kita perlu jujur dengan diri sendiri akan pilihan yang menggairahkan kebahagiaan.