20 Agustus 2018
Ario Bayu: Bicara Bahasa Romantis

Ario Bayu lahir di Indonesia, tumbuh besar di berbagai negara, dan akhirnya pulang kepada ibu pertiwi. Bukan untuk balas dendam, seperti perannya di Buffalo Boys. Ia hanya membawa imajinasi dan asa baik.
Suara laras senapan ditembak dan tautan pedang melatari atmosfer mencekam Buffalo Boys, film baru Ario Bayu di bawah arahan sutradara internasional, Mike Wiluan. Keduanya bukanlah orang asing, Ario sudah pernah membintangi dua judul film yang diproduseri oleh Mike: Dead Mine (2012) dan Headshot (2016). Kali ini, naskah Buffalo Boys yang juga ditulis oleh Mike mengisahkan era penjajahan kolonial di tanah Jawa. Dalam ceritanya, Ario memerankan Jamar, seorang pangeran kesultanan Jawa yang dilarikan dalam pengasingan ke Amerika saat sang ayah kalah berjuang dan dibunuh kaum kolonialis. Usai puluhan tahun hidup di negeri asing, Jamar bersama saudara laki-laki dan pamannya kembali ke kampung halaman demi menuntut balas. Sampai di Jawa, misi yang dibawa berkembang dari sekadar balas dendam menjadi sebuah perjuangan revolusi rakyat. Film bergenre aksi ini meramaikan bioskop-bioskop Indonesia pada 19 Juli lalu, bersamaan dengan perilisan film 22 Menit. Menariknya, 22 Menit juga menampilkan Ario sebagai pemeran utama. “Saya bersyukur sekaligus bingung mengatur waktu untuk mengawal premier. Seandainya bisa membelah diri, mungkin akan saya lakukan,” katanya sambil tertawa.

Lawan Rasa Takut
Merilis dua film dalam satu waktu. Saya membatin, bagaimana ia mencurangi sang waktu? “Sebenarnya, Buffalo Boys adalah proyek tiga tahun silam. Syutingnya sendiri sudah rampung tahun lalu, sedangkan 22 Menit dimulai awal 2018 ini. Ingat tidak waktu Jalan Thamrin sempat ditutup?” ceritanya. 22 Menit berkisah tentang aksi penangkapan oknum radikal yang terinspirasi dari peristiwa peledakan bom Sarinah di tahun 2016. Pembuatan filmnya pun mengambil lokasi langsung di tempat kejadian perkara hingga membuat arus lalu lintas sepanjang kawasan M.H. Thamrin sampai Sudirman tidak bergerak. “Dalam satu bulan, kami menutup Thamrin sebanyak empat kali. Kemacetan lalu lintas yang kami ciptakan luar biasa parah saat itu. Saya yakin pasti banyak warga kesal. Di sisi lain, kami juga tidak mungkin memindahkan lokasi karena film ini dibuat berdasarkan kisah nyata, di mana Anda menyaksikan peristiwanya.” Ario sama sekali tidak bermaksud membela diri maupun tim produksi atas kemacetan itu. Tapi, argumentasinya cukup bisa diterima akal sehat Pada kenyataannya, Jalan M. H. Thamrin adalah jalur arteri yang tidak akan pernah kosong kendaraan. Rupanya pun terlalu ikonis untuk divisualkan lewat tiruan. Hal itu sama saja membohongi mata penonton secara lugas. Meski dihujani sikap sinis warga Jakarta, tujuan film ini dikatakan Ario baik, “Agar mampu menetralisir situasi teror yang meluluhlantahkan Jakarta kala itu.” #KamiTidakTakut pun dijadikan semboyan. Kalimat itu mengembalikan ingatan pada beberapa aksi teror yang terjadi beberapa bulan terakhir di kota Surabaya dan Tangerang. Lalu, apakah kami sungguh tidak perlu takut? “Saya rasa, #KamiTidakTakut adalah bentuk suara sekaligus ajakan bahwa kami, dalam artian kita—secara keseluruhan, tidak boleh tunduk pada kejahatan dalam bentuk apapun,” jawab pemeran AKBP Ardi di film tersebut. Saya lantas menyinggung, bagaimana jika gerakan melawan teror ini dimulai dari sekolah? Mungkin tidak sampai pelatihan wajib militer seperti di Korea Selatan, lebih kepada pembelajaran pertahanan keamanan dalam kurikulum. “Di Singapura dan beberapa negara lain sudah menerapkan hal itu. Bagi saya pribadi, edukasi dan sistem pendidikan mampu menjadi salah satu ruang dasar untuk mengurangi pemikiran yang radikal."
Argumentasi Bahasa Lokal
Menyelami pemikiran Ario Bayu tentang salah satu isu nasional ini terlalu seru. Saya baru akan bertanya lebih lanjut jika saja tidak teralihkan oleh logat medok khas Jawa yang kerap meluncur dari mulut Ario. “Orangtua saya memang asalnya dari Jawa. Bapak berdarah Kediri, sedangkan ibu dari Solo,” katanya. Perawakan Ario yang berkulit cokelat-sawo matang cukup menunjukkan keturunan darah Jawa. Meski begitu, untuk seseorang yang menghabiskan masa kecil dan tumbuh besar di New Zealand, sulit rasanya membayangkan ia memiliki aksen daerah nan kental. “Tapi, tidak, logat bicara saya normal. Ini karena saya baru menyelesaikan syuting film Sultan Agung beberapa waktu lalu.” Beberapa aktor memang terkadang perlu waktu untuk melepaskan penjiwaan terhadap suatu peran usai syuting. Namun, Ario dengan tegas membantah asumsi saya. “Saya tak pernah butuh waktu lama untuk melepaskan diri dari sebuah karakter. Begitu selesai syuting, saya kembali menjadi Ario. Buat saya, berlakon itu bukan kesurupan. Seni peran adalah dualisme antara pribadi saya dan karakter, di mana saya adalah pemegang kontrol secara psikologis dan batin.” Ia kemudian menceritakan sedikit tentang Sultan Agung yang rencananya bakal dirilis pada pertengahan Agustus 2018. Di sini, ia mendapat kehormatan untuk menghidupkan sosok pemimpin ketiga Kesultanan Mataram—kerajaan Islam terbesar di Pulau Jawa selama lebih dari 1,5 abad (1587-1755). Untuk film besutan Hanung Bramantyo tersebut, ia diharuskan melafalkan naskah dalam dialek Jawa. “Bahasa daerah itu romantis. Bahkan, menurut saya, lebih romantis dari Bahasa Indonesia,” tuturnya. Kemudian, kami pun coba menuturkan beberapa logat daerah dan sampai pada sebuah kesimpulan: mungkin tidak semua bahasa lokal mengandung romantisisme. “Tapi, tahu tidak yang paling bikin sedih? Budaya ini sudah tergerus zaman. Coba, sekarang siapa yang bisa membaca aksara Kromo Inggil? Hampir tidak ada.”