LIFE

14 Februari 2023

Chiharu Shiota Menerjemahkan Jejak Keberadaan Manusia di Alam Semesta


Chiharu Shiota Menerjemahkan Jejak Keberadaan Manusia di Alam Semesta

Chiharu Shiota; photo courtesy of Museum MACAN

Benang telah menjadi material artistik yang ekspresif di tangan Chiharu Shiota. Dalam gagasan perempuan kelahiran Osaka, Jepang, tahun 1972 ini, benang merefleksikan sebuah hubungan. Hubungan antar manusia dan manusia; manusia dan alam; manusia dan pribadinya, memorinya, serta imannya. Ekspresi seni Shiota bertumpu pada pengalaman personal seorang manusia yang mempertanyakan perihal eksistensi, identitas, kesadaran psikologis, keyakinan, pemikiran tentang kehidupan dan kefanaan. Tak jarang ia melibatkan benda-benda keseharian sebagai ‘subjek’ artistik; ditempatkan secara metaforis dalam instalasi jalinan benang beralur kusut, yang bilamana dilihat tampak menyerupai jaring laba-laba raksasa. Kendati banyak berangkat dari autobiografi, karya-karyanya membuka dialog terbuka antara pengalamannya dengan pengalaman emosional orang lain—meski narasi kehidupan kita, para penontonnya, tidaklah mungkin seutuhnya sama.

Dalam nyaris tiga dekade terakhir, ia menciptakan ratusan karya yang telah menjejakkan kaki di bienial dan trienial internasional; menduduki ruang pameran museum sampai gedung-gedung ternama di berbagai negara di dunia. Tahun 2019, untuk pertama kalinya, sang seniman bersama Mori Art Museum menghelat pameran retrospeksi berkiprah selama 30 tahun. Ekshibisi bertajuk Chiharu Shiota: The Soul Trembles itu menjadi rangkaian tur global yang telah berkeliling dunia, dan kini tengah singgah di Museum MACAN, Indonesia. Sebelum mengunjunginya di malam pembukaan pada 25 November 2022 silam, ELLE berkesempatan berdialog bersama sang seniman.


Uncertain Journey (2016/2022); photo courtesy of Museum MACAN.

Shiota, karya Anda mengekspresikan ragam perasaan yang tak terungkapkan kata. Apakah Anda menggunakan seni sebagai terapi pembebasan emosi?

“Saya ingin menjadi seniman sejak berusia 12 tahun. Seni yang saya ciptakan mengekspresikan berbagai emosi yang mana saya tidak bisa mengemukakannya melalui kata-kata. Orangtua saya memiliki perusahaan manufaktur kotak kayu. Setiap hari, mesin pabrik menyala dari pagi buta, dan tak berhenti beroperasi hingga larut malam. Begitu pula orang-orang yang bekerja di sana; mereka bagaikan mesin itu sendiri. Saya menginginkan kehidupan yang bermakna lebih.”

Anda mengawali perjalanan berkesenian dengan melukis, sebelum fokus mendalami seni instalasi dan pertunjukan. Apa yang begitu menarik dari seni tiga dimensi hingga mampu membuat Anda meninggalkan seni lukis?

“Saya mendapatkan sebuah perasaan—hampir mendekati keyakinan—bahwasanya melukis di atas kanvas tak mampu menyimpan rasa. Setiap lukisan yang saya buat, serasa sudah pernah saya lakukan.”

Dengan kata lain, Anda merasa melukis menempatkan Anda pada keadaan statis?

“Pada waktu itu saya merasa tidak bisa menciptakan apa pun yang bermakna. Lalu ketika menjadi siswa pertukaran di Australia, saya melalui suatu mimpi di mana saya tengah bergerak di dalam lukisan tiga dimensi; seluruh tubuh saya tertutup cat dan saya tidak bisa bernapas. Dari mimpi itu kemudian tercipta Becoming Painting (1994); yang mana saya menggunakan tubuh saya sebagai bagian dari medium karya itu sendiri. Rasanya begitu membebaskan. Itulah awal saya mulai bereksperimen dengan material, seperti air, api, tanah, tulang, dan banyak lagi lainnya.”

Becoming Painting (1994); photos by Ben Stone courtesy Chiharu Shiota (www.chiharu-shiota.com).

Becoming Painting adalah suatu pertunjukan yang berani; Anda menuangkan cat enamel ke seluruh tubuh hingga menyebabkan kulit melepuh dan merusak rambut Anda. Seberapa ekstrem Anda bersedia bertindak demi seni?

“Ya, cat itu menempel di rambut dan kulit saya selama berbulan-bulan. Tetapi, tindakan itu merupakan bagian penting yang harus saya lakukan untuk menciptakan karya seni tersebut.”

Satu material artistik yang lantas mencirikan kreasi Anda ialah benang. Apa yang Anda pikirkan saat menemukan kekhasan tersebut?

“Saya tengah duduk di ranjang; memikirkan hasrat untuk menciptakan sebuah ruang bagi diri sendiri. Waktu itu adalah awal saya berdomisili di Jerman; dan dalam masa tinggal yang baru menginjak beberapa tahun tersebut, saya telah sembilan kali berpindah tempat tinggal. Selagi merenung, saya lantas mulai menenun mengitari tubuh juga tempat tidur menggunakan benang hitam.”

Bagaimana benang memberikan ruang bagi Anda? Dan mengapa benang hitam?

“Benang hitam ibarat ‘perpanjangan garis’ sebuah pensil atas suatu gambar. Dengan benang saya seakan-akan menemukan cara ‘menggambar’ di udara, dan mengisi ruang tanpa batasan.”

In Silence (2016/2022); photo courtesy Museum MACAN.

Selain hitam, karya Anda turut dominan benang warna merah dan putih. Gagasan apa yang Anda manifestasikan lewat ketiga warna tersebut?

“Hitam sifatnya abstrak; akumulasi dari benang hitam selayaknya langit malam yang membentang ke seluruh alam semesta. Merah seolah darah, dan karenanya mencerminkan hubungan antar manusia. Di Jepang, putih melambangkan kematian; sehingga benang putih bisa dipandang sebagai akhir, tetapi sekaligus awalan yang baru.”

Ada perasaan mencekam dalam karya In Silence. Bukan hanya karena materialnya menggunakan benang hitam; tapi inspirasi di baliknya yang dilatari peristiwa kebakaran. Bagaimana Anda berupaya menerjemahkan suatu pengalaman mengerikan ke dalam karya untuk dinikmati masyarakat?

“Peristiwa itu terjadi ketika saya berusia 9 tahun, namun masih jelas dalam ingatan saya. Saya terbangun di tengah malam karena mendengar suara kayu berderak, dan melihat api telah berkobar menghanguskan rumah tetangga sebelum akhirnya membangunkan orangtua saya. Di antara puing-puing benda yang diletakkan di luar rumah setelah api padam esok harinya, ada sebuah piano yang telah kehilangan suaranya. Tetapi dengan cara tertentu, saya melihatnya tampak lebih indah juga lebih kuat. Piano tersebut barangkali telah kehilangan fungsi, namun tidak keindahannya.”


Connecting Small Memories (2019); photo courtesy of Museum MACAN.

Anda kerap melibatkan publik di penciptaan beberapa karya. Seperti merajut 10.000 pucuk surat ke dalam instalasi I Hope... (2021). Pengalaman apa yang Anda peroleh, dan yang Anda harap bisa diterima audiens lewat cara itu?

“Saya percaya benda-benda duniawi seperti sepatu, kunci, pakaian, dan tempat tidur menyimpan memori serta jejak keberadaan seseorang. Banyak dari benda yang saya gunakan adalah milik orang-orang yang tidak saya kenal; tapi saya merasa terhubung dengan mereka. Saat pandemi Covid-19 pecah, semua orang harus mengisolasi diri sehingga sulit untuk terhubung. Lewat I Hope..., saya ingin menghubungkan harapan masyarakat untuk masa depan manusia.”

Setelah melalui perjalanan artistik selama 30 tahun, bagaimana sekarang Anda melihat hubungan antar manusia, harapan, kefanaan, eksistensi, memori, ruang dan waktu?

“Manusia butuh untuk terhubung; kebutuhan itu ada dalam DNA kita. Begitu pun relasi antara manusia dan memorinya, akan senantiasa hidup.”