LIFE

23 Mei 2019

Dipha Barus: Bikin Lagu Ibarat Membangun Rumah


Dipha Barus: Bikin Lagu Ibarat Membangun Rumah

Lewat lagu No One Can’t Stop Us, saya mengetahui nama Dipha Barus. Bukan dari berjabat tangan di sebuah pertemuan. Kesan pertama yang tercipta? Saya pikir, lagu berirama elektronik yang menghentak ringan dipadu selipan raungan, yang terdengar seperti sorakan anak kecil tengah bermain dan bergembira tanpa beban, di antara baitnya itu cukup mengusik. Saya ingat mengganti frekuensi radio sampai tiga kali kala pertama mendengarnya, dan selalu mendapati lagu tersebut berkumandang. Habis diputar di radio A, lagunya mulai dari awal di radio B, lalu ketika mencoba pindah ke radio C, suara sang vokalis sudah menyanyikan setengah lagu. Lama kelamaan, bunyi raung yang semula memeka telinga menjadi asyik dalam benak. Tanpa sadar, saya telah ikut bersenandung acap kali lagumengudara pada hari-hari berikutnya sepanjang 2016. Kemudian, di perjalanan ke sebuah studio di mana tim ELLE akan menemui Dipha Barus untuk sesi pemotretan pada bulan Maret 2019 silam, saya kembali mendengarkan lagunya melalui layanan pemutar musik digital. Menarik. Kedengarannya seperti lagu-lagu yang sedang merajai chart musik bulan ini. Padahal, sudah selang tiga tahun sejak No One Can’t Stop Us diputar di radio; dimainkan di kelab-kelab dan menyemarakkan festival-festival musik; hingga meraih penghargaan Anugerah Musik Indonesia sebagai Karya Produksi Dance/Elektronic Dance Music Terbaik tahun 2016. [caption id="attachment_7767" align="aligncenter" width="685"]dipha barus interview elle indonesia may 2019 Busana: HUGO BOSS[/caption] “Saya selalu berusaha agar lagu-lagu ciptaan saya selalu relevan zaman. Jadi, orang bisa tetap mendengarkannya sampai sepuluh tahun atau berpuluh-puluh tahun nanti,” ujar musisi kelahiran Jakarta, 4 Januari 1986 itu. Saya dan Dipha akhirnya duduk berdampingan. Kami mengobrol santai di lantai bawah studio usai ia bergaya di depan kamera fotografer Andre Wiredja. Dalam jarak dekat itu, saya bisa melihat jelas bekas luka jahitan pada dahi di wajahnya. “Ini hasil dari ditabrak motor, dapat 35 jahitan,” kisahnya sembari tertawa mengingat kecelakaan lalu lintas yang dialami saat sedang berjalan kaki pada 2010 silam. Perawakan Dipha yang mengenakan kaus putih polos dan dimasukkan dalam celana panjang hitam bersabuk plastik bening hari itu pun terlihat lebih slim dari ingatan terakhir saya bertemu dengannya di acara ELLE Style Awards 2018 (di mana ia meraih penghargaan Musician of the Year). Diselidiki, ternyata sudah hampir satu tahun Dipha menjalani hidup sebagai vegan. “Semua ini gara-gara dulu sering mengonsumsi daging sapi. Sebabnya level energi saya menjadi low. Saya menyadari sering kehilangan fokus dan ragu mengambil keputusan, tiba-tiba paranoid karena alasan yang tidak jelas. Akhirnya, saya pergi ke dokter. Mereka bilang pola makan saya salah dan kurang istirahat.” Dipha kemudian memperbaiki diri dengan tata cara makan yang lebih sehat. Mulai dari perlahan mengurangi makan daging sapi hingga kini tidak menyentuhnya sama sekali. Ia juga sudah meninggalkan telur, makanan berbahan dasar susu sapi, dan mengucapkan selamat tinggal pada minuman beralkohol. Cukup tidak biasa untuk seseorang berlatar belakang pekerjaan yang akrab dengan ingar bingar pesta. “Fokus saya adalah bermusik. Dengan sendirinya, hal-hal yang tidak memiliki andil untuk mengembangkan fokus tersebut akan menyingkir,” kiatnya dalam mempertahankan diri. dipha barus interview elle indonesia may 2019 Sekarang, dengan kondisi tubuh berkali lipat lebih baik, Dipha yang baru saja merilis lagu berjudul Mine dari kolaborasi terbarunya bersama Raisa, sedang bersiap mengeraskan volume musiknya untuk mengguncang dunia. Secara sumringah, ia sampaikan kabar gembira bahwa telah bergabung dengan Ultra Music, salah satu label internasional yang berbasis di New York. Bisa dilirik label internasional bahkan sebelum merilis album solo perdana, prestasinya patut diakui. Namun, ini bukan alasan mengapa album solo perdananya tak kunjung dirilis. Saat ini, Dipha bersama dengan para musisi dari label musiknya di Indonesia, Pon Your Tone, sedang menggerakkan campaign sosial bertemakan Kindest. Sebuah ajakan untuk menyebarkan kebaikan. “Karena kita butuh itu. Dunia ini sudah terlalu kacau, banyak orang suicide, ketakutan Mercury Retrograde. Jadi, semua karya kami adalah untuk memperkuat messages itu,” katanya. Sebagai musisi, Dipha tidak ingin albumnya hanya berisi kumpulan lagu hits atau merangkum rilisan single yang telah menuai sukses. Ia menetapkan visi agar albumnya mampu memberikan dampak mendalam bagi pendengarnya. “Sampai hari ini, banyak orang dari berbagai negara yang mendengarkan No One Can’t Stop Us atau All Good, mereka mengirimkan pesan pada saya, email atau lewat Instagram, bilang lagu-lagu itu membantu menolong mereka depresi. Karena mereka saya berpikir untuk selalu membuat karya yang seperti itu.” Bagi Dipha, itu adalah penghargaan dan prestasi tertinggi. Dipha yang sejak kecil mencintai musik mulai terpikat irama elektronik dari awal melihat penampilan seorang disjoki bermain di sebuah acara skate. Dahulu, ia pernah menjadi penampil di sebuah kelab di Malaysia, mana kala sedang kuliah di Negeri Jiran. Pulang ke Indonesia, realita memetakan jalan sedikit berliku baginya mewujudkan hasrat bermusik. “Saya juga pernah merasakan kerja palugada, apa lu mau gue ada. Saya bikin playlist, mendesain visual... semua dikerjakan,” kata laki-laki bergelar Sarjana Desain Grafis dari Limkokwing University itu. Industri musik mulai membuka pintu untuknya lewat Agrikulture, band indie di mana ia kemudian mengisi posisi sebagai pemain bass. “Saya sudah enggak aktif lagi sekarang, karena jadwal saya dan mereka enggak lagi bisa disatukan. Dan biar bagaimana pun mereka harus tetap jalan. Tapi Agrikulture akan selalu menjadi band saya.” Tahun 2009, Dipha lebih mengeksplor talenta dengan menjajal remix lagu, lalu ia edarkan ke dunia maya lewat jejaring sosial MySpace. Selama setahun berikutnya semesta mendukung perlahan, ia mulai mendapatkan tempatnya di beberapa kelab kecil dan mayoritas indie. Dipha berbangga hati dengan menyebarkan pengumuman mingguan berupa daftar acara yang akan dimeriahkannya. Ia bahkan telah menandai diri dengan logo pribadi agar orang-orang lebih mengenali. “Sedangkan pada waktu itu belum ada DJ lokal yang seniat itu buat logo atau merilis weekly schedule. Beberapa teman saya menggoda, ‘ciyee, sekarang sudah jadi bos. Punya proyek sendiri.’ Tapi saya pikir, kenapa enggak, cuek saja jadi berbeda.” Sejak itu, ia menantang diri lebih serius untuk membuat lagu yang bisa dimainkan di festival serta dapat dimengerti orang luas. [caption id="attachment_7764" align="aligncenter" width="685"]dipha barus interview elle indonesia may 2019 Busana: UNIQLO U (Mantel)[/caption] Jalannya kian lebar saat bekerja sebagai music director di Potato Head Garage, restoran dan kelab milik grup Ismaya. Di sini, ia kerap diberikan slot untuk tampil mengisi acara-acara Ismaya. Yang terbesar: Djakarta Warehouse Project (DWP). Penampilan perdananya di konser festival musik dansa elektronik tersebut, ia ingat sekali, masih di terangi sinar matahari bukan lampu panggung. “Tapi sudah niat. Pakai visual dan logo. Lalu semua orang memandang seolah hal itu berlebihan. Tipikal,” ceritanya kembali tergelak. Bersinar dari kelab kecil hingga ke festival berskala internasional. Dipha mendapat dorongan dari teman-temannya untuk menciptakan lagu sendiri. Ada segelintir rasa menggelitik, entah apa itu, ketika ia membayangkan memiliki lagu beratas namakan dirinya. Butuh waktu dua tahun untuk No One Can’t Stop Us dirilis, sedangkan lagunya sendiri sudah rampung pada 2014. “Bikin lagu itu seperti membangun rumah. Saya harus buat rumah yang nyaman bagi pemiliknya,” ujar Dipha menggambarkan musiknya. Sedetik kemudian ia tersenyum, menyadari bahwa ia baru saja menganalogikan dirinya sebagai seorang arsitek. “Misalnya begini, saat saya bekerja dengan Raisa atau dengan siapa saja penyanyinya, orang harus tetap mendengar Raisa sebagai si pemilik lagu. Tetapi nada-nada saya memperlihatkan sisi Raisa yang berbeda untuk didengar.” Dipha mengelaborasi perkataannya. Well, jika dipikir, analoginya tidak begitu keliru. Tangga nada bagi seorang musisi bisa diibaratkan batu dan semen yang digunakan arsitek. Bahan-bahan dasar untuk suatu rencana konstruksi pembuatan sebuah lagu di mana bunyi-bunyi dan suara-suara dapat tinggal, selayaknya ‘rumah’. Saat membuat lagunya pribadi—bukan kolaborasi atau ketika ia memproduseri artis lain—Dipha tidak berkompromi. Ia merancang seluruh konsep dari gagasannya sendiri. Jika merasa bisa melakukan yang lebih baik lagi, ia tak segan mengulanginya. Tahu berapa kali single All Good berubah versi? "17 kali dengan aransemen penuh satu lagu. Bahkan, awalnya lagu ini bukan dinyanyikan oleh Nadine, tapi vokalis laki-laki." Demi menemukan yang sesmpurna dalam kriterianya. “Kecuali untuk urusan lirik. Untuk itu, saya bekerja sama dengan vokalisnya. Selalu,” katanya. [caption id="attachment_7768" align="aligncenter" width="685"]dipha barus interview elle indonesia may 2019 Busana: GOSCHA RUBCHINSKIY (blazer), HUGO BOSS (celana).[/caption] Buat seorang musisi yang lagunya telah diputar lebih dari 39 juta kali di Spotify dan telah mengantongi enam piala penghargaan Anugerah Musik Indonesia, rupanya Dipha tidak memiliki banyak bakat mengulik lirik, terutama jika menggunakan bahasa Ibunya. Alih-alih minta bantuan pujangga untuk menuliskan syairnya, Dipha memutuskan menggunakan bait berbahasa Inggris yang lebih mudah diselaraskan dengan ritmenya. Ia tidak merasa kekurangan rasa cinta kepada Indonesia karena pilihannya, dan tidak mengambil hati orang-orang yang menganggapnya seperti itu. “Saya enggak tidur dengan mereka dan mereka enggak di sebelah saya saat saya bangun di pagi hari. Jadi, saya enggak merasa harus memikirkan komentar orang-orang yang enggak saya kenal,” jawabnya santai. Yang mungkin luput dari telinga awam, ternyata Dipha Barus juga tidak terlalu modern. Setiap lagunya, bahkan, memiliki junjungan konservatifnya sendiri. Di No One Can’t Stop Us misalnya, ia menggunakan rindik (alat musik sejenis gamelan dari Bali) dan elemen angklung. Kemasan dalam bahasa Inggris murni hanya perkara kenyamanan. “Kalau kata Raisa, mungkin saya perlu mencari lebih banyak referensi dan mendengarkan lagu berbahasa Indonesia,” lanjutnya. Untuk alasan tersebut, ia semakin memaparkan diri pada karya-karya-karya musisi Tanah Air selama dua tahun terakhir. “Saya bolak-balik memutar lagu-lagu Efek Rumah Kaca yang Tubuhmu Membiru Tragis. Saya juga mendengarkan seluruh proyek musik Faris RM, Dian Permanaputra, dan Guruh Soekarno Putra. Lalu ada sebuah band dari Sumatra Utara, Suarasama. Dan, oh, saya suka sekali lagu mas Yovie Widyanto untuk almarhum Chrisye.” Sebuah daftar referensi yang jauh dari napas elektronik, dan bisa dibilang cukup beragam. Meski musik-musiknya sarat nuansa elektronik dan mengajak orang bergoyang, Dipha tidak pernah menyekat telinga dengan satu jenis musik tertentu. “Kadang orang menolak mendengar karena, ‘Ah musik ini terlalu komersil, terlalu mainstream’. Bagi saya, kasihan ketika manusia diberikan telinga yang dibebaskan untuk mendengar apa saja, tapi kemudian malah membatasi pendengarannya.” Tiba-tiba menggema irama dangdut koplo keras sekali dari arah luar studio. Dipha kemudian terdiam, menyimak. Tak lama ia berjoget dengan tangan mengangkat ke udara. “Asyik juga, nih!” timpalnya tersenyum lebar. Saya menebak-nebak, kira-kira apa yang ada dalam benaknya sekarang. Mungkin, ia sudah merangkai komposisi nada untuk aransemen lagu barunya. Yang pasti, ia terlihat sangat menikmati. “Sampai di mana kita?” lanjutnya selesai dendang lewat. “Oh ya, kita enggak bisa menentukan suatu karya sifatnya komersil, jelek atau bagus. Siapa tahu Anda justru bisa mendengar keindahan dari hal-hal yang telinga Anda enggak biasa dengar sebelumnya. Pada akhirnya, semua itu tergantung opini pribadi,” pungkasnya. Sepanjang sore mencoba mengenal Dipha Barus, pribadinya cukup terbuka. Saya sempat mengira jika ia tak akan banyak bicara. Satu kesimpulan saya tarik hari ini: Musik merupakan bahasa yang mampu bicarakan rasa dan menghubungkan jiwa manusia. (Photo: DOC. Indonesia; photography ANDRE WIREJA - NPM PHOTOGRAPHY, styling CHEKKA RIESCA, makeup artist DEWI DARMAWAN)