LIFE

13 Oktober 2022

Duta FFI 2022 Suarakan Peran Perempuan dalam Dinamika Ekosistem Perfilman Indonesia


PHOTOGRAPHY BY Chris Bunjamin

Duta FFI 2022 Suarakan Peran Perempuan dalam Dinamika Ekosistem Perfilman Indonesia

styling by Ismelya Muntu; makeup Ryan Ogilvy; assistant makeup Jimmy Panai; hair Ichana; styling assistant Sidky Muhamadsyah & Ghina Rizqi; location Museum Nasional Indonesia

Cut Mini, Marsha Timothy, Prilly Latuconsina, dan Shenina Cinnamon angkat bersuara.


Pertumbuhan industri film sangat bergantung pada ekosistem yang mendukung keberlangsungannya. Mulai dari sumber daya manusia, modal ekonomi, kepercayaan penonton, institusi pendidikan, media komunitas, hingga beragam festival film yang menjadi basis lahirnya para pembuat film, pencinta film, kritikus, dan kurator maupun peneliti. Festival film bukan semata-mata pesta selebrasi, melainkan ruang apresiasi. Demikian juga dengan Festival Film Indonesia (FFI) yang bertumpu pada festival berbasis penciptaan, ruang berbagi pengetahuan, dan arena untuk menumbuhkan solidaritas dan inspirasi. Lebih dari sekadar proses kompetisi, penyelenggaraan Festival Film Indonesia dapat dilihat sebagai peta untuk membaca dinamika perfilman Indonesia. Salah satu dinamika yang tergambar adalah andil besar perempuan dalam membangun ekosistem perfilman Indonesia.

Tahun ini, Festival Film Indonesia digelar dengan mengusung tema Perempuan: Citra, Karya & Karsa. Citra dikonotasikan sebagai lambang keindahan perempuan, sedangkan karya menjadi simbol bagi ciptaan-ciptaan yang lahir, dan karsa melambangkan sumber kekuatan dan keindahan karya-karya yang lahir dari kaum perempuan. Sejalan dengan tema tersebut, empat perempuan dari dunia perfilman Indonesia dinobatkan sebagai Duta Festival Film Indonesia 2022. Mereka adalah Cut Mini (pemenang Piala Citra kategori Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik FFI 2019), Marsha Timothy (pemenang Piala Citra kategori Pemeran Utama Perempuan Terbaik FFI 2018), Prilly Latuconsina (pemenang Aktris Terfavorit Pilihan Penonton FFI 2021), dan Shenina Cinnamon (nomine Pemeran Utama Perempuan Terbaik FFI 2021). Keempatnya bertugas sebagai wajah FFI hingga malam anugerah penghargaan

FFI yang akan diadakan pada 22 November mendatang. Sebuah upaya untuk mengangkat tema perempuan dengan menghadirkan terobosan baru yang membawa kemajuan bagi seluruh ekosistem perfilman Indonesia, khususnya kaum perempuan.


Marsha mengenakan gaun rancangan Kraton Auguste Soesastro; Cut Mini mengenakan jaket dan celana dari koleksi Biyan; Shenina mengenakan kemeja dan rok denim, koleksi TOTON; Prilly mengenakan kemeja dan rok, rancangan TOTON.

Apa yang paling mengesankan dari profesi ini?

Prilly Latuconsina: “Profesi lain memerlukan alat bantu untuk bekerja. Seorang dokter butuh stetoskop, pelukis butuh kanvas dan kuas, namun seorang aktor bekerja dengan rasa dan emosi yang ada di dalam dirinya. Bekerja dengan menggunakan kedalaman rasa serta kekuatan emosi, tentu salah besar apabila menilai pekerjaan aktor sebatas nampang-nampang karena nyatanya pekerjaan ini tidak bisa dianggap enteng.”

Marsha Timothy: “Benar, hampir semua yang ada di film semuanya tentang rasa. Makin tinggi jam terbang, makin terasah kemampuan kita untuk mengelola rasa. Selain itu, proses pembuatan film juga tidak kalah penting. Saya sangat nyaman dikelilingi orang-orang yang begitu cinta dengan dunia perfilman. Mulai dari pemain, sutradara, kru, semua yang terlibat punya satu tujuan yang sama yakni membuat film yang bagus.”

Shenina Cinnamon: “Setiap kali saya masuk dalam sebuah produksi, saya bertemu dengan orang-orang baru dan belajar hal-hal baru. Bukan hanya film, tapi juga belajar tentang kehidupan. Menggali rasa dan emosi setiap memainkan sebuah karakter, ujung- ujungnya saya jadi lebih peka sebagai manusia.”

Cut Mini: “Banyak ketemu orang, banyak ilmu, banyak pengalaman. Dari 2004 sampai sekarang, saya banyak bertemu sutradara-sutradara andal yang murah hati dan mau membagikan ilmunya kepada saya. Untungnya saya punya kesadaran untuk tidak malu-malu mengatakan bahwa saya tidak bisa atau tidak tahu. Dengan begitu saya siap membuka diri untuk terus belajar. Dan bersyukur sekali di tengah masifnya kemunculan nama-nama baru, saya masih ada di sini sampai sekarang.”

Apa tantangannya?

Cut Mini: “Saat menerima skenario baru, saat itulah saya mendapati tantangan baru. Ketika mau memerankan sebuah karakter, prosesnya tidak bisa dianggap enteng meskipun kita sudah puluhan kali syuting film. Terlebih saya tidak ingin mengecewakan orang yang sudah percaya dengan saya. Rasanya berat buat mereka ketika ingin menciptakan karya lalu menaruh nama saya sebagai seorang pemain. Karena saya tidak pernah sekolah seni peran, saya bukan lahir dari keluarga seniman, dan usia saya sudah tidak lagi muda. Anda tahu sendiri, makin tua bukan malah makin terkenal tapi justru makin ditawar. Jadi selama berada di industri ini, tidak ada sesuatu yang harus dirisaukan buat saya. Saya tidak pernah merasa sebagai pemain papan atas, tapi juga tidak merasa kecil dibanding nama-nama yang lebih unggul. Saya menempatkan diri saya di tengah- tengah. Saya hanya ingin fokus menjalani pekerjaan dengan sebaik-baiknya.”

Shenina Cinnamon: “Sebagai pemain baru, tantangan buat saya ada banyak sekali karena setiap mendapat karakter baru pasti tantangannya beragam. Dengan tubuh fisik yang sama, saya dituntut harus bisa merepresentasikan sebuah karakter dengan latar kehidupan yang berbeda- beda. Sangat menantang buat saya pribadi untuk bisa membawakan tiap karakter yang beragam itu dengan cara yang dinamis agar tidak terkesan membosankan, terlebih di mata penonton. Karena saya ingin penonton juga bisa merasakan kedekatan dengan karakter yang saya mainkan.”

Prilly Latuconsina: “Because acting is not about pretending, but it’s all about becoming. Seni peran harus benar-benar berasal dari hati dan dilakukan dengan jujur. Mesti bisa membawakan karakter yang kehidupannya bisa berbanding terbalik dengan kehidupan kita secara personal. Meskipun tidak pernah benar-benar mengalami, tapi harus bisa merasakan setiap kebahagiaan, kesedihan, ataupun kemarahan. Tidak bisa kita pura-pura menangis tanpa benar-benar merasakan kepedihan si karakter yang kita mainkan. Maka adalah sebuah tantangan untuk bisa merasakan emosi-emosi yang belum tentu pernah kita rasakan lalu mempresentasikannya dengan baik di depan kamera.”

Marsha Timothy: “Agar bisa konsisten berkarya di bidang seni peran juga menjadi tantangan tersendiri buat saya. Bagaimana agar saya dapat terus berkontribusi di jalur perfilman lewat setiap peran- peran yang dimainkan. Karena hanya bermodal rasa cinta dan passion tidak cukup untuk bertahan, kita harus punya strategi untuk meningkatkan kapabilitas. Bukan hanya agar tetap eksis, melainkan juga supaya tetap bisa dipercaya untuk memerankan berbagai peran dan posisi yang kelak akan datang.”

Marsha mengenakan gaun aksen rumbai rancangan Major Minor

Setiap aktor punya metodenya sendiri- sendiri. Entah itu seorang aktor yang berangkat dari akademisi atau aktor yang memulai secara otodidak. Bagaimana upaya Anda untuk mengembangkan kualitas akting?

Shenina Cinnamon: “Saya tidak pernah ikut sekolah akting. Dan pembelajaran terbesar rasanya datang dari pertemuan-pertemuan saya dengan orang-orang di industri ini. Dari mereka, saya menerima banyak sekali ilmu dan strategi. Selain itu, saya beruntung selalu dipertemukan dengan para acting coach andal ketika saya masuk dalam sebuah proyek. Cara lain adalah selalu membuka diri agar siap menerima emosi, rasa, dan ilmu yang dihadirkan. Tidak menutup diri apalagi merasa sudah pintar. Industri ini telah mempertemukan saya dengan banyak orang- orang hebat di perfilman. Berjejaring dan bertukar pikiran dengan mereka adalah salah satu hal penting yang membantu saya dalam proses berakting.”

Prilly Latuconsina: “Bersyukur bisa punya kesempatan mengikuti kelas-kelas akting yang diadakan para acting coach, karena saya pun tidak punya pengalaman akademis di bidang seni peran. Proses belajar juga diperoleh dari lawan main karena setiap hari saya syuting dengan orang yang berbeda- beda. Kuncinya adalah punya kemauan untuk mendengar. Menyimak ilmu-ilmu yang mereka miliki, melihat cara kerja orang lain, dan banyak bertanya dengan orang-orang yang lebih berpengalaman.”

Marsha Timothy: “Memberanikan diri untuk mencoba hal-hal baru dan tidak cepat berpuas diri. Dan penting untuk memelihara kecintaan kita pada seni peran dan perfilman. Karena kalau sudah cinta, semestinya kita akan berusaha sekeras mungkin supaya bisa melakukan yang terbaik.”

Cut Mini: “Saya punya beberapa guru di dunia film. Mereka bukan hanya pintar, tapi juga murah hati sehingga tidak pelit membagikan pengetahuannya. Menjadi aktor yang baik mutlak wajib punya komitmen terhadap profesinya. Selama proses reading, tidak ada yang menyedot perhatian saya selain naskah dan proses produksi. Dan terus mengingatkan diri agar harus selalu merasa haus ilmu sehingga saya dijauhkan dari sikap merasa paling pintar dan paling benar.”

Lebih dari satu dekade bergelut di bidang seni peran, kini masihkah Anda merasa kikuk saat sutradara meneriakkan kata ‘Action!’?

Cut Mini: “Sampai sekarang, ketika syuting hari pertama dan sedang menunggu giliran, maka sudah pasti saya cemas dan gelisah. Tidak akan mau diajak mengobrol apalagi bercanda. Pokoknya pas menunggu momen bagian scene saya, rasanya benar- benar bikin enggak tenang.”

Marsha Timothy: “Saya selalu nervous setiap mau syuting. Tapi konon yang sering disampaikan oleh pemain-pemain senior, kegelisahan itu penting dimiliki seorang aktor. Kalau sudah tidak merasa deg-degan, rasanya harus mulai waspada karena bahaya kalau kita sudah merasa lengah dan nyaman, akhirnya malah jadi menggampangkan pekerjaan.”

Prilly Latuconsina: “Dulu saya khawatir tidak bisa berakting di depan kamera. Sekarang, saya takut tidak mampu menampilkan karakter dengan baik. Dulu saya khawatir enggak bisa mengeluarkan air mata saat adegan menangis. Tapi sekarang, bukan masalah air matanya tapi apakah saya bisa menyampaikan emosi secara tepat sehingga penonton merasakan apa yang karakter itu rasakan.”

Prilly mengenakan headband dan gaun rancangan Sapto Djojokartiko.

Siapa sineas atau aktor yang Anda kagumi dan barangkali juga memberi pengaruh pada perjalanan karier Anda?

Marsha Timothy: “Sebelum masuk perfilman, saya sudah suka nonton film Indonesia. Saya sangat menggemari dan menikmati karya-karya Lydia Kandou dan Rano Karno. Dan ketika kini saya berada di industrinya, hampir semua orang yang saya temui di perjalanan karier adalah orang-orang yang menginspirasi saya dengan cara yang berbeda- beda. Baik dalam hal performa, sudut pandang, etos kerja, dan lainnya. Tidak melulu yang sudah senior dan berpengalaman, melainkan yang usia muda juga banyak sekali yang inspiratif.”

Prilly Latuconsina: “Awalnya saya masuk industri dengan rasa insecure yang begitu besar. Sutradara Monty Tiwa dan Andi Rianto adalah dua orang yang besar pengaruhnya dalam mendorong agar saya menjadi diri saya yang sekarang. Mereka mengajarkan saya tentang pentingnya gigih memperjuangkan mimpi. Reza Rahadian juga memainkan peran penting dalam perjalanan hidup saya. Ia sering kali menasihati tanpa menggurui. Saya beruntung dikeliling oleh orang-orang yang sepenuhnya mendukung dan menguatkan di saat orang lain meragukan dan menjatuhkan saya.” 

Shenina Cinnamon: “Saya pernah bertemu Christine Hakim ketika beliau mendatangi lokasi syuting 24 Jam Bersama Gaspar. Ada begitu banyak nasihat dan ilmu yang beliau sampaikan dan seketika bikin saya berdecak kagum. Di antaranya adalah arti kejujuran bagi seorang aktor dan pentingnya bekerja keras agar orang-orang percaya dengan apa yang mereka lihat dalam setiap adegan film.”

Cut Mini: “Saya terlalu cinta dengan Christine Hakim. Suatu hari saya berdoa kepada Tuhan, mohon izinkan saya agar bisa dipertemukan dengan Christine Hakim. Pulang dari Mekah sehabis perjalanan haji, saya mendapat kesempatan itu. Dan ternyata sangat menyenangkan rasanya syuting dengan beliau. Seru, bikin senang, tapi juga penuh ilmu.”

Perjalanan karier membawa Anda pada sebuah peran baru di Festifal Film Indonesia. Sebagai duta FFI 2022, apa peran dan tugas Anda?

Cut Mini: “Mempresentasikan Festival Film Indonesia kepada khalayak. Bahwa kini Festival Film Indonesia punya sesuatu yang berbeda yang menarik bagi para penikmat dan pelaku film Indonesia. Sejak tahun lalu, FFI selalu menyodorkan kebaruan dan berusaha membangun sinergi antargenerasi dalam bentuk kolaborasi.”

Marsha Timothy: “Menjadi corong untuk menggaungkan pentingnya kehadiran Festival Film Indonesia. Selain juga mengampanyekan perfilman Indonesia agar semakin diminati oleh masyarakat luas. Dan karena tahun ini mengangkat tema perempuan, maka kami juga ikut menyuarakan tentang pentingnya kehadiran perempuan dalam lanskap sinema serta sudah seharusnya industri perfilman memuat perspektif perempuan dan menempatkan perempuan dalam posisi kunci.” 

Prilly Latuconsina: “Membangkitkan kesadaran publik tentang Festival Film Indonesia dan membangun kepedulian generasi muda kepada ajang tersebut. Saya turut mendorong motivasi anak-anak muda agar tidak berhenti berkarya di mana FFI sendiri memiliki kategori film pendek yang terbuka untuk siapa pun yang mau memulai proses berkarya dengan mendaftarkan karyanya di FFI. Dan sesuai tema tahun ini, saya juga berupaya membangkitkan kesadaran tentang pentingnya peran perempuan dalam perfilman.” 

Shenina Cinnamon: “Senang rasanya bisa membagikan pengetahuan kepada teman dan rekan di perfilman tentang apa yang menjadi visi dan misi Festival Film Indonesia. Sekaligus juga mempromosikan karya-karya lokal agar makin banyak orang yang menonton film Indonesia.”

Shenina mengenakan bustier dan gaun, koleksi TOTON.

Apa visi Anda agar FFI dan kaum muda saling bersinergi?

Shenina Cinnamon: “Saya berharap kehadiran saya sebagai pemain baru sekaligus duta FFI, dapat menjadi inspirasi kepada seluruh kaum perempuan dan generasi muda agar tetap gigih berkarya. Dengan apa yang saya kerjakan di industri ini, mudah-mudahan bisa menjadi sedikit teladan yang mendorong semangat para generasi muda agar memanfaatkan waktu dengan berkontribusi hal-hal baik yang berdampak pada kemajuan bangsa Indonesia.”

Prilly Latuconsina: “Sejak tahun lalu, FFI sudah semakin approachable. Salah satunya dengan kemunculan kategori baru yaitu aktor, aktris, dan film pilihan penonton. Kita diberikan kesempatan untuk memilih apa yang dirasa sesuai dengan selera kita. Saya juga mencoba berkontribusi dari balik kamera dengan mendirikan rumah produksi dan menjadi produser untuk beberapa film di bawah Sinemaku Pictures. Dengan demikian, saya punya kebebasan untuk melahirkan karya-karya dengan mengangkat isu-isu penting. Semoga apa yang saya kerjakan dapat menjadi teladan bahwa perempuan mampu melakukan apa pun dan perempuan pasti bisa menempati wilayah-wilayah yang biasanya didominasi laki-laki.”

Bagaimana Anda melihat keterhubungan perempuan dan sinema?

Marsha Timothy: “Baik sebagai pemain maupun sineas, keberadaan perempuan sangat penting dan harus menempati beragam sektor. Tak bisa dipungkiri, perspektif perempuan terasa sekali signifikansinya.”

Prilly Latuconsina: “Saya sangat bangga melihat kini perempuan tidak hanya menempati departemen kostum dan makeup. Mulai bermunculan perempuan- perempuan hebat yang menjadi sutradara atau bahkan director of photography. Hal ini membuktikan bahwa perempuan layak ditempatkan di mana pun, tak sebatas dalam urusan kecantikan dan penampilan.”

Shenina Cinnamon: “Belakangan saya banyak terlibat dalam produksi dengan astrada (asisten sutradara) perempuan. Termasuk kehadiran Kamila Andini, Mouly Surya, dan Gina S. Noer yang makin menegaskan bahwa karya-karya film yang dibuat oleh perempuan akan menyuguhkan perspektif yang tidak pernah ada sebelumnya.”

Cut Mini: “Meskipun ada genre film yang terkesan maskulin, sudut pandang perempuan tetap diperlukan di dalamnya. Maka sangat penting untuk memiliki sutradara perempuan, penulis perempuan, sinematografer perempuan, editor perempuan, dan sebagainya.”


Hal apa dari sinema Indonesia yang menarik perhatian Anda?

Marsha Timothy: “Menarik untuk menyimak pertumbuhan sinema Indonesia dengan genre yang makin beragam dan banyak bermunculan nama- nama baru dengan bakat luar biasa. Semenjak pandemi, jumlah penonton film lokal juga terus bertumbuh. Para sineas juga terlihat sangat gigih berjuang menghadirkan karya-karya terbaik.”

Prilly Latuconsina: “Dulu orang-orang sangat skeptis ketika melihat poster film Indonesia terpampang di bioskop. Dan jika bersanding dengan film Hollywood, besar kemungkinan kita memilih film luar negeri. Tapi sekarang, penonton Indonesia sudah punya curiosity-nya sendiri untuk mengenal film-film lokal. Lihatlah kesuksesan Pengabdi Setan, Ngeri-Ngeri Sedap, dan KKN di Desa Penari. Pelan tapi pasti, sinema Indonesia sedang menuju masa kejayaannya.”

Shenina Cinnamon: “Terlebih dengan kehadiran platform streaming yang membuat sinema Indonesia makin progresif dan makin mudah diakses. Selain jumlah penonton bioskop yang bertumbuh, saya juga senang melihat kini genre film Indonesia makin beragam dan karya-karya anak bangsa punya potensi besar untuk beredar di kancah internasional.”

Apa pesan dan harapan Anda terhadap industri perfilman Indonesia?

Cut Mini: “Sangat tidak keren apabila di zaman secanggih saat ini kita masih menonton film bajakan. Silakan simak film Indonesia di bioskop ataupun platform streaming. Cobalah untuk merasakan dan mengalami sendiri hasil karya anak bangsa Indonesia. Kenapa negara lain perfilmannya bisa mendunia? Saya percaya karena warganya memberi rasa kepercayaan untuk mengenal lebih jauh hasil karya dalam negerinya.”

Marsha Timothy: “Saya selalu ingin perfilman Indonesia menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Anda tidak dilarang untuk menonton film karya negara lain, tapi sangat penting buat kita semua untuk menaruh kepercayaan terhadap perfilman Indonesia. Dan menjadi tantangan buat kami para pelaku untuk bisa meraih kepercayaan penonton. Kemajuan perfilman Indonesia itu sendiri harus dibangun secara gotong royong mulai dari pemain, sineas, produser, penonton, sekaligus dukungan pemerintah yang turut andil dalam perjalanan ini.”

Prilly Latuconsina: “Semua orang tahu tteokbokki, ramai-ramai makan ramyeon, lalu penasaran dengan rasanya soju. Semua itu diakibatkan oleh kekuatan magis sebuah karya sinema. Saya berharap Indonesia juga bisa mengenalkan budaya asli bangsa lewat perfilman. Dan itu yang mulai saya terapkan dalam beberapa adegan di karya-karya Sinemaku Pictures. Mengenalkan warung kopi dan angkringan, menaruh adegan minum amer (anggur merah) sebagai minuman asli buatan Indonesia, dan memilih seragam khas sekolah negeri Indonesia ketimbang meniru baju sekolah negara lain.”

Shenina Cinnamon: “Tidak bosan-bosannya saya mengajak semua orang untuk menghentikan pembajakan film. Tidak sempat ke bioskop, maka mulailah berlangganan platform streaming untuk mengakses film secara legal. Saya juga berharap kita semua dapat membuka diri untuk mulai mengonsumi karya-karya dari negara sendiri sebelum kita memilih buatan negara lain. Sebab kemajuan sinema Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan para konsumen dan penontonnya. Dengan dukungan dan keyakinan dari semua orang, maka industri perfilman akan bertumbuh dan berkembang dengan melahirkan karya-karya berkualitas, membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan perekonomian negara, dan tentunya membanggakan Indonesia di mata dunia.”