LIFE

12 Juli 2019

Eva Celia: Mengalahkan Emosi dan Kembali Pada Jati Diri


Eva Celia: Mengalahkan Emosi dan Kembali Pada Jati Diri

Busana dan sepatu: GIVENCHY

Rasa rindu tersurat nyata dalam Kala Senja, lagu baru Eva Celia yang dirilis bulan April silam. ‘Ku merindu...’ begitu bait terakhir dalam liriknya. Kepada siapa? Saya menyimak dan meresapi setiap baris liriknya. Dalam pendengaran saya, lagu ini terdengar seperti surat cinta. Kepada alam, jika berdasarkan narasinya. Atau, bisa jadi kisahnya merupakan sebuah diari akan momen kedamaian yang lama tak didapat. “Lagu ini tentang rasa rindu yang saya alami saat berada di tengah alam. Saya pun sulit untuk menjelaskannya, namun rasanya seperti pulang ke rumah,” ungkap Eva. Pada kenyataannya, ia memang tidak sedang menyapa langit biru dan menatap samudra nan berkilau disinari matahari. Ia bersama saya di sebuah studio foto yang sedikit gelap sebab awan di luar tampak murung; duduk bersandar di sebuah kursi kayu tak berlengan, usai menjalani pemotretan dengan tim ELLE. eva celia interview elle indonesia juli 2019 Untuk menyampaikan perasaan rindunya itu, Eva menuliskan lagu tersebut bersama Matthew Sayers dalam Bahasa Indonesia. Suatu penyegaran dalam perjalanan karier musik Eva sejak album solo perdananya, And So It Begins, dirilis penuh Bahasa Inggris pada 2016. Menyoal bahasa, saya pun membuka percakapan mengenai album kedua Eva. “Saya sangat mencintai Bahasa Indonesia. Tulisan Pramoedya Ananta Toer, menurut saya, indah sekali,” kata perempuan yang pernah menghabiskan lima tahun hidup di negeri Paman Sam kala mengikuti keluarganya hijrah ke Los Angeles, Amerika Serikat, tahun 2008 silam. Bagi Eva—dengan garis keturunan Belanda, Bugis, Jawa, Jerman, Madura, serta Minang—mengalir dalam darahnya, Bahasa Indonesia tetap cinta sejati. Namun, kecintaan itu juga membuatnya mematok sebuah standar kualitas pribadi yang tidak akan ia lawan, jika kapabilitasnya belum mumpuni. “Saya merasa belum mampu menulis sebagus itu. So, I don’t want to write a song in Indonesian. Setidaknya, sampai saya bisa menulis dengan indah,” jelas Eva. [gallery columns="2" size="full" ids="8399,8413"] Dirilisnya Kala Senja, ia membuktikan diri telah cakap. Ratusan pujian menghampiri kolom komentar unggahan video lirik lagu tersebut di YouTube Eva Celia, sebagaimana juga mendatangi laman Instagramnya. Mereka menyebut musik Eva berkelas, kaya kualitas, dan liriknya menyentuh. Saya pun sependapat. “Sepertinya akan ada satu lagi lagu Bahasa Indonesia untuk album baru ini. But, let’s see,” ungkapnya tersenyum menggoda. Pada 6 Mei 2019, Eva mengunggah foto yang memperlihatkan sudut sebuah studio rekaman lewat akun Instagramnya. Di caption tertulis: ‘Brb world. See ya when the album is finished.’ Ketika bertemu hari itu, ia memberikan info terbaru, “Semua lagu sudah selesai, tinggal proses produksi. Kemungkinan akan ada sekitar sembilan lagu.” Eva merencanakan album keduanya lepas ke pasaran pada pertengahan tahun ini (ia mengisyaratkan waktu yang sama dengan terbitnya ELLE edisi July 2019). Ia mulai menggarap album kedua pada akhir 2018 silam. Saya menghitung adanya selisih dua tahun dari karya pertama. Meski jeda waktu merupakan hal normal bagi seorang musisi menggubah karya, saya tetap menanyakan alasannya. “Saat itu saya tengah berada di titik terendah dalam hidup,” ujar Eva. Ia menyibak rambut ikalnya ke belakang telinga, lalu menyandarkan kepala ke punggung kursi. Matanya yang bulat dan besar menatap saya. “Saya bahkan tidak ingat apa penyebabnya. Saya pikir, ada kumpulan perasaan yang terpendam dalam diri saya,” lanjutnya. Saya memasang telinga untuk menyimak kelanjutan kisah ini. [caption id="attachment_8403" align="aligncenter" width="685"]eva celia interview elle indonesia juli 2019 Kemeja dan rok hitam: BALENCIAGA[/caption] Sebagai figur publik yang akrab dengan sorot mata masyarakat luas, Eva mengaku bahwa sebenarnya ia adalah pendiam. Sejak kecil ia terbiasa memendam segala perasaan atas apa yang terjadi di hidupnya, mengira dengan begitu akan menguap sendiri di ujung hari. “Saya tidak senang konfrontasi, apalagi hingga berselisih dengan orang lain. Saya tidak suka orang bicara tentang saya.” Hal-hal yang melandasi sikap diam Eva. Sikap yang kemudian membawanya pada keinginan untuk menyenangkan semua orang di sekitar hingga terkadang ia kerap mengabaikan keperluan diri sendiri. Lalu, bagaikan puncak gunus es yang amat tipis, kumpulan emosi itu retak dan pecah menghantam jiwanya. Eva pun harus berhadapan dengan seluruh perasaan yang terpendam akibat diam. Menginjak usia ke-25, dua tahun silam, segenap proyeksi atas diri tentang menjadi dewasa yang ia bangun sedari kecil mendadak luntur. Bahkan, ia merasa sangat jauh dari mimpi masa kecilnya akan bayangan sebuah kesuksesan hidup. Orang menyebut situasi ini sebagai quarter-life crisis, sebuah fase di mana seseorang mulai mempertanyakan eksistensi kemanusiaannya selama seperempat abad hidup di dunia. Dan pada zaman di mana media sosial memegang peranan besar terhadap interaksi sehari-hari, kondisi tersebut kian menjadi rumit. Manusia melihat gambaran kehidupan orang lain, menyerap informasi tersebut secara berlebihan, kemudian menjadikannya pembanding atas pencapaian hidup sendiri. Celotehan orang lain pun sering kali diadopsi sebagai tolok ukur terhadap diri sendiri. Eva yang selama ini merasa baik-baik saja menemukan dirinya hanyut di lautan kebingungan. Isi kepalanya ramai akan kebimbangan hingga berdampak pada kesehatan jiwa serta raga. Emosinya merosot tajam. Ia jadi mudah cemas bila sesuatu tidak berjalan sesuai ekspekstasinya, hingga kesulitan tidur dan kualitas makannya menurun drastis. Eva sadar ia harus mencari jalan keluar dari situasinya, sebelum semua lampu yang menerangi jalan redup dan ia terjebak dalam gelap. [gallery columns="2" size="full" ids="8402,8398"] Ia lantas menata ulang jalan berpikirnya, bagaimana ia memindai sesuatu serta memandang hidup. Dengan berkonsultasi kepada ahli penyembuhan holistik, ia menjalani metode pengobatan alami seperti relaksasi menggunakan bach flower, meditasi, akupuntur, dan yoga. Ia bahkan mengubah kebiasaan konsumsinya menjadi vegan. Eva berjuang mengatasi kemerosotan emosi yang bergelut dalam diri. Sesekali ia juga bicara kepada teman sebagai tempat berteduh, namun Eva tetap berusaha mencari cara untuk bangkit sendiri. “Karena sesungguhnya, tidak ada yang dapat menolong Anda selain diri sendiri. Anda yang paling tahu situasi apa yang sedang dialami. Orang lain hanya bisa melihat apa yang terlihat. Jika merasa ada yang tidak benar, Anda harus berani bersikap dan segera bertindak.” Musik menjadi penguat semangat terbesar Eva. Pergulatan menyusun kembali serpihan rasa dalam diri ia tuangkan dalam segenap lirik di album kedua. Seperti di lagu A Long Way, ia membicarakan masa kalut serta perangnya mengalahkan emosi untuk sampai pada dirinya yang saat ini. “Di album ini, saya merasa seperti kembali pada diri sendiri.” Eva tersenyum. Kini, di usia menuju 27 tahun (21 September 2019), Eva belajar untuk bersikap lapang terhadap hal-hal di luar kuasanya. “Yang bisa saya kontrol adalah cara saya berpikir, apa yang saya konsumsi, siapa saja orang yang saya izinkan ada di dekat saya. Saya mengambil kendali akan apa yang bisa saya kontrol,” ujarnya. Adakalanya Eva berhenti permisif terhadap pendapat orang lain, seperti ketika ia menerima sentimen tentang fisiknya yang dianggap sebagian khalayak ‘terlalu kurus’. Eva sadar sepenuhnya bahwa ia tidak bisa membatasi kebebasan berbicara seseorang. Ia telah berdamai dengan hal tersebut dengan secara aktif mematikan suara-suara bising yang tiada henti mengelilinginya. “Saya hanya perlu ingat bahwa persepsi orang lain terhadap saya sebenarnya adalah cara mereka melihat diri sendiri,” katanya.
Tetapi di satu sisi, ia juga memikirkan dampaknya terhadap mereka yang diposisikan serupa seiring topik body shaming semakin riuh beredar di masyarakat saat ini. Orang sekarang sepertinya lebih mudah mengapresiasi fisik ketimbang mengucap salam ketika berpapasan. Seolah itu kata sapaan. Setiap orang dilahirkan tidak seragam warna kulit, serupa wajah, atau satu ukuran pakaian. Bukanlah hak prerogatif per orangan untuk menetapkan batasan mana yang dianggap ‘normal’ lalu menghakimi bentuk tubuh orang lain. Eva menolak paham tersebut dan bersuara lantang memerangi body shaming. Media sosial menjadi mediumnya. “Saya ingin mereka yang mendapatkan pengalaman seperti saya tahu bahwa mereka tidak sendiri,” ujarnya. Dari niat menggali informasi karya terbaru Eva, saya justru berkenalan dengan sosok perempuan kuat. Perempuan yang mampu memenangi dirinya sendiri. Saya lalu bertanya, apakah itu berarti ia telah menemukan jati diri? “Hingga hari ini, saya pun masih mencari. Tetapi, saya telah meyakini bahwa diri saya kini siap menghadapi apa saja yang hidup berikan,” tutupnya. (Photo: DOC. ELLE Indonesiaphotography THOMAS SITO styling SIDKY MUHAMADSYAH makeup ARCHANGELA CHELSEA hair EVA PICAL)