LIFE

20 Agustus 2020

Farah Wardani: Mengarsipkan Perkembangan Seni Rupa di Indonesia


Farah Wardani: Mengarsipkan Perkembangan Seni Rupa di Indonesia

Kurator dan seniwati Indonesia, Farah Wardani mendedikasikan dirinya dalam upaya pengarsipan catatan perkembangan seni rupa di Indonesia. Rianty Rusmalia berbincang dengannya.

Seorang kurator, sejarawan seni, sekaligus Direktur Eksekutif dari Indonesian Visual Art Archive (IVAA), yakni lembaga pengarsipan seni secara digital yang pertama di Indonesia. Farah Wardani aktif sebagai pengajar, penulis, penyelenggara acara seni, dan kurator di berbagai ekshibisi seniman Indonesia. Perempuan kelahiran 1 Agustus 1975 ini menyelesaikan studi Desain Komunikasi Visual di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Trisakti, Jakarta. Usai memegang gelar sarjana, ia melanjutkan kuliah di Department of Historical & Cultural Studies (20th Century) di Goldsmiths College, London, Inggris, atas perolehan beasiswa dari British Chevening Scholarship. Tahun 2001, ia pulang ke Indonesia dan mengawali kiprahnya di dunia seni ketika magang di Yayasan Seni Cemeti di Yogyakarta. Empat bulan kemudian, Farah kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Ruang Rupa di bawah pimpinan Ade Darmawan. Ia juga menjadi pengajar di Universitas Paramadina dan pernah menjadi editor di Visual Art Magazine selama dua tahun. Pada 2004, Farah Wardani mulai menjadi kurator untuk Edwins Gallery dan asisten kurator Hendro Wiyanto untuk pameran Heri Dono di Galeri Nasional, tahun 2004. Ia juga menjadi kurator untuk berbagai ekshibisi seniman Indonesia dan sanggar ternama seperti Cemeti Art House, Ruang Rupa, Valentine Willie Fine Art di Kuala Lumpur, dan kurator konsultan untuk ekshibisi Indonesian Eye: Fantasies & Realities yang diadakan di Saatchi Gallery, London. Bersama beberapa seniman dan penulis lainnya, Farah Wardani pernah menulis sebuah buku berjudul Indonesian Women Artists: with Carla Boanpoen and Wulan Dirgantoro, buku yang menyorot berbagai prestasi seniwati Indonesia. 

Salah satu babak penting dalam hidup Farah Wardani adalah ketika ia pindah ke Yogyakarta. Tahun 2006, ia mendirikan Indonesian Visual Art Archive sebagai sumber pengarsipan sejarah seni, khususnya seni di Indonesia dan Asia Tenggara. Ia membangun infrastruktur dan sistem pengarsipan seni dengan melakukan proses digitalisasi dokumentasi fisik yang dimiliki para seniman. Arsip ini dipergunakan oleh banyak kurator, termasuk di antaranya kurator National Gallery Singapore. Tahun 2015, National Gallery Singapore merekrut Farah Wardani untuk menduduki posisi Director – Resource Centre. Lima tahun berkontribusi di National Gallery Singapore, perempuan kelahiran tahun 1975 tersebut kini telah kembali ke Indonesia dan menjabat sebagai Direktur Eksekutif Jakarta Biennale 2020, ajang seni rupa kontemporer yang diadakan di ruang-ruang publik di kota Jakarta. “Lanskap seni rupa di Indonesia sangat kaya kreativitas sekaligus unik dalam perspektif. Bagi saya, seni telah menjadi jalan hidup karena menyodorkan kebebasan yang amat luas, keterbukaan pikiran, dan membuka jalan penyelesaian atas berbagai permasalahan manusia lewat imajinasi dan gagasan kreatif,” ujar Farah Wardani.

elle indonesia interview farah wardhani - photography norman fideli - styling shamira
photography NORMAN FIDELI styling SHAMIRA.

Apa yang mengerakkan Anda untuk masuk ke dunia seni? 

“Sejak kecil saya sangat suka menggambar, berkhayal, dan membaca berbagai buku. Saya menyenangi kegiatan yang melibatkan proses kreatif. Sempat terpikir untuk kuliah seni, namun waktu itu awal tahun 1990-an, seni belum menjadi sesuatu yang lazim. Ada masanya seni dianggap berjarak dengan realitas manusia. Kedua orangtua lantas bertanya-tanya, saya mau kerja apa dengan menjadi lulusan sekolah seni? Akhirnya saya kuliah jurusan desain. Walaupun dijalani sampai lulus, saya merasa tidak puas dengan hasil studinya. Sampai akhirnya datang tawaran beasiswa dari British Chevening Scholarship, saya ambil jurusan Sejarah Seni. Ketika belajar sejarah seni, perspektif saya tentang seni berubah drastis. Saya jadi bergairah untuk melihat apa yang terjadi di belakang karya seni, menyimak proses penciptaan dan gagasan besar di balik suatu karya. Sejak itu, saya memutuskan untuk terus berada di dunia seni. Baik dengan cara menulis, membuat pameran, menciptakan karya, ataupun menjadi kurator.” 

Mengapa Anda memutuskan untuk berkecimpung di pengarsipan seni?

“IVAA sendiri merupakan transformasi dari Yayasan Seni Cemeti. Awal saya ke sana, yayasan tersebut sudah memiliki arsip sejak tahun 1980-an hingga 1990-an. Namun seluruh dokumen masih berbentuk analog dan kaset video. Saat itu saya berpikir, arsip ini harus diselamatkan dengan teknologi digital. Saya sendiri sebagai pelaku seni sering kali merasa sulit untuk menemukan dokumen mengenai seni rupa di Indonesia. Jadi mengapa kita tidak mulai bergerak dari IVAA? Tujuannya untuk memudahkan orang dalam memperoleh sumber arsip dan informasi pengetahun yang akurat dari dokumentasi seni rupa. Selain itu, IVAA didirikan pada tahun 2006 yakni masa awal kebangkitan revolusi teknologi digital yang dimulai dengan kehadiran media sosial. Sehingga, alih-alih disebut sebagai proyek seni rupa, IVAA sendiri sebetulnya proyek digital untuk pengetahuan seni karena waktu berdirinya bertepatan dengan periode awal kejayaan internet dan teknologi digital.” 

Image courtesy GETTY IMAGES

Kini Anda menjabat sebagai Direktur Eksekutif Jakarta Biennale. Bagaimana kisah keterlibatan Anda dan apa peran Jakarta Biennale dalam lanskap seni Indonesia? 

“Lima tahun di Singapura, saya lantas pulang ke Indonesia karena kerinduan yang sangat besar terhadap lanskap seni rupa dan ekosistem seni di Indonesia. Lanskap seni rupa di Indonesia memiliki cara bekerja dan perspektif yang unik. Saya ingin bisa berkontribusi di dalamnya. Karena itu, saya tidak ragu untuk menjadi bagian dari Jakarta Biennale.  Sebuah ajang yang bukan sekadar kegiatan hura-hura, tapi juga penting dalam perkembangan wacana seni rupa dan budaya di Indonesia yang mengakomodasi para seniman dan pekerja kreatif untuk dapat berbicara persoalan-persoalan penting di dunia. Jakarta Biennale sendiri merupakan ajang seni rupa kontemporer Indonesia yang kali pertama diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1974 dengan nama Pameran Besar Seni Lukis Indonesia. Jakarta Biennale 2020 diselenggarakan di Pasar Seni Ancol sebagai lokasi utama. Saya ditunjuk menjadi Direktur Eksekutif Jakarta Biennale 2020 setelah sebelumnya selama tiga edisi terakhir (tahun 2013, 2015, dan 2017) dipimpin oleh Ade Darmawan. Bersama Dolorosa Sinaga, Direktur Artistik, kami memilih tim kurator yang nantinya memiliki wilayah otoritas artistik Jakarta Biennale.

Ajang ini tidak lepas dari dampak pandemi Covid-19. Kami memutuskan untuk menunda pelaksanaan Jakarta Biennale hingga November 2021. Bersama tim kuratorial, saya dan Direktur Artistik terus mematangkan konsep dan membuat tema ‘Esok: Membangun Sejarah Bersama’ menjadi relevan dengan situasi hari ini di mana pada akhirnya semua orang memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan.” 

Apa yang ingin Anda sampaikan lewat ajang ini?

“Dengan temsa ‘Esok: Membangun Sejarah Bersama’, Jakarta Biennale ingin memanggil suara kepedulian akan isu kemanusiaan, penyalahgunaan kuasa atas ekspresi seni dan budaya, kehancuran lingkungan, serta perampasan hak kesejahteraan dan kesetaraan gender. Bersama para kurator yang seluruhnya perempuan serta seniman-seniman yang dipilih, Jakarta Biennale 2020 ingin berkontribusi pada upaya penyelesaian atas beragam problem kita hari ini. Termasuk di antaranya persoalan perempuan dan hak asasi manusia. Melalui bidang seni, kami berharap semakin banyak orang jadi terbuka pikirannya untuk mengeluarkan kritik dengan cara-cara yang baik dan landasan argumen yang objektif. Saya sendiri selalu percaya kekuatan seni sebagai alat revolusi yang mampu mengubah perspektif dan membuka keterbukaan pikiran dalam menyelesaikan berbagai situasi kompleks yang dihadapi umat manusia.” 

Menurut Anda, apa peran dan relevansi seni di masa pandemi?

“Dalam keadaan kini yang cenderung bergerak lambat dan banyak batasan, seseorang pada akhirnya memenuhi kebutuhan batinnya dengan aktivitas seni. Sebagai konsumen, manusia menikmati karya musik, film, karya sastra, dan pertunjukan teater yang diakses secara digital. Dan saat kini ruang gerak sangat terbatas dan amat didominasi perangkat digital, kita dapat melakukan aktivitas seni seperti menggambar, melukis, ataupun menulis yang mampu memberikan stimulus sebagai mekanisme manusia untuk menjaga keseimbangan hidup. Setiap situasi memiliki prioritasnya masing-masing. Di tengah pandemi, kesehatan dan perekonomian jadi persoalan utama bagi banyak orang. Namun saya selalu yakin, seni turut memegang peranan penting dalam menjaga kewarasan dan memelihara kemanusiaan kita di masa-masa yang sulit dan penuh tantangan.”