LIFE

21 April 2025

Perempuan, Pariwisata, dan Pemberdayaan: Saat Para Perempuan Memimpin Perjalanan


PHOTOGRAPHY BY Satrio Ramadan

Perempuan, Pariwisata, dan Pemberdayaan: Saat Para Perempuan Memimpin Perjalanan

Di balik setiap perjalanan yang menggugah, ada kisah yang lebih besar dari sekadar langkah kaki menjelajah tempat baru. Ada keputusan yang diambil, arah yang ditentukan, dan sering kali—di balik semua itu—seorang perempuan. Ia bisa jadi wisatawan yang memesan tiket terakhir dalam satu klik, pengelola homestay di desa wisata yang terpencil, atau pendiri gerakan pelestarian lingkungan di pesisir nusantara.

    Menyambut Hari Kartini, Women Founders Indonesia bersama Time International dan Tory Burch, dengan dukungan ELLE Indonesia, menghadirkan sebuah forum bincang dan jejaring bertajuk “Wisatawan Perempuan dan Bisnis Pariwisata yang Dipimpin Perempuan: Mengambil Peran di Era Kebangkitan Industri Pariwisata.” Diselenggarakan di butik Tory Burch, Plaza Senayan, Jakarta, acara ini bukan sekadar ajang berbagi pandangan. Ia adalah ruang dialog untuk merayakan peran perempuan—bukan sebagai objek pariwisata, melainkan sebagai subjek yang menentukan arah masa depan industri ini.

    Dalam sejarah panjang industri pariwisata global, perempuan kerap ditempatkan di sisi konsumen—pengisi kamar hotel, pemburu pengalaman, pembeli suvenir. Namun kini, lanskap itu bergeser. Data UN Tourism 2023 mencatat, 63% tenaga kerja di sektor pariwisata dunia adalah perempuan. Di Indonesia, angkanya bahkan melampaui rerata global: 54% pekerja pariwisata adalah perempuan, dengan konsentrasi signifikan di Yogyakarta dan Bali. Tapi peran ini bukan hanya kuantitatif. Dalam studi yang dikutip Wakil Menteri Pariwisata Ni Luh Puspa, usaha pariwisata yang dipimpin perempuan memiliki nilai keberlanjutan 27% lebih tinggi dibandingkan usaha sejenis yang dikelola laki-laki.


Fakta ini menjadi pembuka pidato Ni Luh Puspa yang menyentuh banyak sisi: dari ketimpangan upah hingga beban ganda perempuan pekerja. Ia menggarisbawahi bahwa peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan berkorelasi langsung dengan keberlanjutan destinasi wisata. Sebuah insight yang menggeser narasi: perempuan bukan hanya pelengkap, melainkan pilar dari masa depan pariwisata yang inklusif dan berkelanjutan.

    Kolaborasi dengan Tory Burch pun bukan tanpa alasan. Brand fashion asal Amerika ini dikenal bukan hanya karena gaya dan siluetnya yang khas, tapi karena dedikasi sosialnya. Tory Burch Foundation Fellows Program adalah wujud nyata dari komitmen tersebut—sebuah program pemberdayaan tahunan untuk 50 perempuan pengusaha, lengkap dengan pelatihan, pendampingan, jaringan, dan akses pendanaan. Dalam semangat inilah, acara bincang kali ini menjadi perpanjangan dari filosofi yang diyakini Tory Burch: empowering women is not charity, it’s smart economics.


Dalam sesi yang dipandu oleh jurnalis dan aktivis Andini Effendi, dialog lintas bidang berlangsung dinamis dan inspiratif. Empat perempuan hadir membawa kisahnya masing-masing—sebuah mozaik pengalaman dari berbagai simpul industri pariwisata.

    Ada Nadine Chandrawinata, pendiri Sea Soldier, yang telah menapaki berbagai wilayah terpencil Indonesia dan menemukan bahwa pelestarian lingkungan tak bisa dilepaskan dari keberlanjutan pariwisata. “Perempuan sering jadi penggerak pertama dalam komunitas,” ucap Nadine, “mereka yang pertama kali sadar jika laut tercemar, jika wisatawan datang tanpa edukasi, jika budaya lokal tergerus.”

    Dari lanskap digital, hadir Sandra Darmosumarto, Senior PR Manager dari Tiket.com. Ia memaparkan pola-pola baru: wisatawan perempuan kini semakin mandiri, semakin melek teknologi, dan semakin berdaya memilih. Dari data internal, terlihat bahwa perempuan kerap menjadi pengambil keputusan utama dalam perjalanan keluarga, bahkan dalam solo traveling. “Ini adalah pasar yang tidak bisa dianggap sebelah mata,” ujarnya.

    Sementara itu, Anie Tidara Sari, seorang praktisi hospitality yang berpengalaman di berbagai jaringan hotel internasional, menyampaikan gagasannya tentang pentingnya representasi perempuan di posisi strategis dalam industri perhotelan. “Perempuan tahu betul bagaimana menciptakan kenyamanan—bukan hanya untuk tamu, tapi juga untuk lingkungan dan komunitas tempat hotel itu berdiri,” katanya.

    Dari ranah kebijakan publik, Hanifah Makarim, Asisten Deputi Pengembangan Usaha dan Akses Permodalan Kementerian Pariwisata Republik Indonesia, menjabarkan strategi pemerintah dalam memperluas akses perempuan terhadap pembiayaan dan pelatihan usaha. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara sektor publik dan swasta untuk membangun ekosistem pariwisata yang bukan hanya profit-oriented, tetapi juga inklusif dan adil gender.

    Yang membuat dialog ini berkesan bukan hanya substansi pembahasannya, tapi kenyataan bahwa perempuan-perempuan ini berbicara bukan atas nama teori, tapi dari pengalaman. Mereka tidak sedang menyusun narasi idealistik, melainkan sedang membangun jembatan—antara tantangan dan peluang, antara tradisi dan inovasi, antara perjalanan dan pemberdayaan. Anehnya, kita sering lupa bahwa banyak dari destinasi wisata Indonesia yang paling memesona justru hidup karena sentuhan perempuan: pengelola homestay di desa adat, perajin kain tradisional, penjaga cerita di balik ritual budaya. Merekalah wajah-wajah pariwisata Indonesia yang sebenarnya—yang bekerja dalam diam, tapi berdampak dalam.

    Acara ditutup dengan cerita-cerita ringan tentang destinasi impian para pembicara—dari Wae Rebo yang berkabut hingga Bali yang selalu magis. Tapi lebih dari sekadar daftar bucket list, percakapan itu menyisakan benang merah: pariwisata bukan hanya soal perjalanan, tapi tentang siapa yang punya kendali atas arah dan maknanya.

    Perempuan—dalam segala perannya—bukan hanya sedang ikut dalam kebangkitan industri pariwisata. Mereka sedang memimpinnya. Dan forum seperti ini, dengan dukungan brand global seperti Tory Burch dan komunitas visioner seperti Women Founders Indonesia, menjadi bukti bahwa dunia siap mendengar, dan lebih dari itu—siap percaya.