25 Februari 2025
VV Ganeshananthan: Kebahagiaan Radikal Beraktivitas di Balik Selimut

Beberapa orang menyukai batasan yang jelasa ntara pekerjaan dan waktu istirahat. Tidak untuk saya. Saya selalu menganggap pergi bekerja sama halnya seperti pergi tidur. Praktik ini sangat nyaman, khususnya di musim dingin. Bila ditata secara tepat, tempat tidur dapat dianggap sebagai sebuah mantel yang sangat tebal. Saat ini, saya tinggal di salah satu tempat terdingin di Amerika, Minneapolis, dengan musim dingin yang paling dingin. Saya bekerja, menulis, dan berhibernasi di tempat tidur—suatu kebiasaan nyaman yang telah saya tanamkan sejak kecil.
Kantor pertama saya adalah sebuah ranjang berukuran single. Bertiang empat, dengan warna putih, bermotif bunga, dan kanopi merah muda; dibalut seprai merah muda dan selimut yang senada; serta dikeliling kertas dinding merah muda yang saya pilih saat berusia lima tahun dan terpasang hingga usia saya menginjak 18 tahun—jauh sebelum saya dikenal sebagai VV, saat saya masih dipanggil Sugi. Ranjang itu didampingi meja putih yang serasi, yang saya gunakan untuk mempelajari mata pelajaran yang tidak saya pedulikan dan tidak disukai. Pekerjaan saya kerap dibantu dengan mengulum permen. Tidak boleh makan di ranjang, kecuali sedang sakit. Itu bukan aturan orangtua saya, melainkan aturan saya pribadi: ranjang adalah tempat untuk buku, dan karenanya ranjang adalah tempat yang sakral. Tidak boleh ada remah-remah makanan.
Karena saya lebih suka membaca sambil berbaring, maka saat mulai menulis pun saya menulis sambil berbaring dengan bertumpu pada kedua siku dan menghangatkan diri di balik selimut. Pada pagi hari di akhir pekan, ketika semua orang masih tidur, saya keluar dari “kantor”, menggigil, untuk mengambil buku latihan, sebelum bergegas kembali ke zona nyaman. Jika saya terjebak dalam alur cerita, saya akan meletakkan kepala saya di atas bantal dan terlelap—atau tidak—lalu ketika saya mengangkatnya lagi, sering kali masalahnya seketika terpecahkan, atau jadi lebih menarik dengan cara yang memungkinkan saya untuk melanjutkannya. Saya ingat alur salah satu proyek: Frances Hodgson Burnett-lite, menampilkan seorang anak panti asuhan dan seorang kakek kaya raya yang menghilang secara misterius, yang kemudian muncul pada saat yang tepat. Saya tidak mengharapkan keberuntungan lebih besar bagi gadis-gadis sedih dalam cerita saya, selain kenyamanan sebagaimana yang saya rasakan di tempat tidur itu, yang saya tuangkan ke dalam alur cerita.
Saya diizinkan untuk
memilih dekorasi sendiri saat duduk di bangku sekolah dasar di Bethesda, Maryland—saya
hidup dengan opsi rona merah muda selama bertahun-tahun. Teman-teman saya
berkomentar dinaungi perasaan cemburu tentang kanopi merah muda pilihan saya,
dan diam-diam, saya pun setuju dengan mereka; saya tidak memerlukan kamar
sendiri, melainkan sebuah gua. Saya membaca di tempat tidur dan menulis dengan
tangan, sebelum kami mempunyai komputer. Mesin itu, yang datang ketika saya
duduk di bangku sekolah menengah, membangkitkan semangat, yang tidak dapat saya
tolak namun sekaligus saya benci; keyboard yang melengkapinya membuat saya
menuliskan kata-kata secepat kepala saya memikirkannya, hanya saja Anda tak
bisa menggunakan komputer dengan posisi terbaring horizontal. Saya masih berbaring
di tempat tidur untuk membaca draf tulisan yang akan dicetak, novel-novel
menyenangkan, dan buku-buku sejarah.
Lalu saya melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas. Di banyak kampus Amerika, asrama tempat Anda tinggal difasilitasi tempat tidur berukuran ekstra panjang, yang mengharuskan Anda membeli seprai khusus yang juga ekstra panjang. Bayangkan orang-orang tinggi yang ditampung oleh tempat tidur itu: pemain basket, hingga atlet dayung. Bagaimana mereka bisa punya ruang untuk semua buku mereka? Bagi saya, yang memiliki tinggi rata-rata orang pada umumnya, tempat tidur ekstra panjang berarti ruang untuk pekerjaan yang lebih panjang. Terlebih—momen ajaib—saya mendapat laptop tua, yang berarti mengetik di tempat tidur. Otak saya bersembunyi di balik selimut dan meringkuk melawan dinginnya Massachusetts. Saya memulai novel pertama saya di tempat itu, di tahun kedua saya di Harvard, dengan tumpukan kertas berserakan di sekeliling.
Saya tidur di ranjang berukuran single di Pennsylvania, Virginia, dan Iowa, di mana saya memulai proyek novel kedua, sampai kemudian pindah ke New Hampshire sebagai penulis residensial di sebuah sekolah yang memberikan apartemen sebagai fasilitas hunian. Ketika ditanya perabotan apa yang diinginkan, saya memilih dua buah ranjang; satu ranjang ukuran ganda untuk kamar tidur, dan satu ranjang lagi berukuran single untuk ditempatkan di ruang tamu. Saya beranjak dari satu ranjang ke ranjang yang lain, tergantung suasana hati serta jenis proyeknya. Ada novel yang menyukai ranjang yang satu; ada pula novel yang lebih menyukai ranjang yang lain. Seperti banyak tempat di New England, Phillips Exeter Academy di New Hampshire tidak menyalakan mesim pemanas ruangan sampai pada tanggal tertentu. Saya lagi-lagi menggigil, lalu mengingat bagaimana Laura Ingalls Wilder, dan protagonis buku anak-anak, membuat toples air panas untuk menjaga kaki mereka tetap hangat di tempat tidur. Saya pun ikut membuatnya, dan menulis, manakala badai salju tumpah menutupi jalan di luar.
Tatkala pindah ke New York pada 2006, untuk belajar seni jurnalisme di Columbia, saya menempati sebuah kamar di apartemen dupleks yang muat dihuni tiga orang. Spasialnya memiliki ruang bawah tanah tanpa pintu, dan jalan masuknya adalah dengan menuruni tangga spiral bertirai. “Suatu hari nanti kamu akan jatuh dari tempat tidur itu dalam keadaan mabuk,” kata seorang teman saya, sambil menatapnya dengan ragu. Pribadi saya cukup ceroboh—bahkan tanpa pengaruh alkohol—sehingga gagasan itu membuat saya khawatir. Tetapi selama tiga tahun tinggal di sana, entah bagaimana saya tidak pernah melakukannya. Kalau jatuh, saya bisa saja jatuh tertelungkup hampir tepat di ranjang king—yang saya beli dari penghuni sebelumnya— yang menghabiskan Sebagian besar ruangan itu. Tidak tampak spasial untuk menempatkan meja, tapi saya tidak peduli? Tempat tidur king sudah cukup mewah, bahkan lebih baik daripada tempat tidur ekstra panjang. Novel pertama saya, yang mana perlu saya kerjakan kembali, memiliki urutan yang salah. Saya kemudian mencetaknya secara keseluruhan, memotongnya, dan menyusunnya kembali di tempat tidur. Saya berdiri di atasnya, memandangi lembarannya, merasa khawatir, dan memindahkan tiap potongan. Novel tersebut terusmenerus terombang-ambing sampai ia menemukan posisi yang tepat. Kemudian, setelah disortir dengan benar, novel itu bangkit dari tempat tidur, dan saya serahkan kepada editor saya—seorang teman baik yang memastikan bahwa novel itu kini memiliki sebuah struktur.
Pada saat saya pindah ke Midwest untuk mengajar di Universitas Michigan di tahun 2009, gagasan perihal ranjang sebagai tempat berlindung dari dingin dan kegelapan, sebagai rumah untuk melakukan pekerjaan terbaik yang dapat saya lakukan, sudah tertanam kuat. Cuaca lingkungan sekitar sering kali sangat dingin, dan saya menyukai hari-hari ketika saya melakukan perjalanan 45 derajat. (Saya tidak bicara tentang suhu, melainkan sudut mobilitas saya). Apartemen saya di Michigan—di sebuah gedung yang dulunya merupakan sekolah asrama untuk para perempuan muda dari Manhattan—bersinar dengan warna-warna ceria, yang telah dicat oleh penyewa sebelumnya selayaknya warna langit kelabu Michigan. Sekali lagi, sebagian dindingnya berwarna merah muda. Usai peristiwa perang saudara di Sri Lanka berakhir, saya menghabiskan banyak malam dengan duduk di tempat tidur di apartemen itu, berkorespondensi dengan orang-orang dari seluruh dunia yang memiliki kesamaan minat terkait sejarah dan politik negara tersebut. Saya selalu bekerja di tempat tidur, tetapi saya juga tidur di sana; dengan keinginan untuk belajar sebanyak mungkin, saya menjadi semakin insomnia untuk terus bertukar pikiran.
Di Minneapolis, domisili saya di tahun 2015, ranjang senantiasa menjadi tempat berlindung untuk melihat dunia yang semakin terpecah belah. Jika mencoba tidur tidak berhasil, ada komputer, atau buku, mesin pemanas ruangan yang berdengung di samping saya. Pada hari-hari di periode awal pandemi, setelah pembunuhan George Floyd oleh polisi di tahun 2020, kota ini riuh oleh barisan orang yang menyerukan protes dan mereka yang berupaya meredamnya, serta tak ketinggalan provokator dari tempat lain. Dikarenakan kekebalan tubuh saya terganggu, saya berdiam diri di rumah, frustrasi manakala orang-orang terkasih dan kawan-kawan ikut serta dalam demonstrasi. Kala itu, cedera tangan yang lama juga muncul kembali. Saya kesulitan mengetik dan mulai memanfaatkan fitur pengenalan suara. Di saat seluruh keluarga saya menjelajahi dunia baru yang absurd ini, saya duduk sendirian di tempat tidur, mengisahkan plot novel kedua saya, Brotherless Night, kepada komputer saya. Saya rehat hanya untuk menonton Unicorn Riot, situs berita alternatif yang menayangkan video; dan untuk berbicara dengan orang lain tentang apa yang terjadi di Minneapolis. Saat pemberontakan terjadi di luar, saya di dalam rumah membaca versi kekerasan brutal pogrom anti-Tamil tahun 1983 di Sri Lanka. Saat saya mencoba menyelesaikan satu cerita dan mempelajari cerita lainnya, saya bersembunyi dalam kenyamanan ruang kerja yang familier.
Saya masih mengandalkan tempat tidur untuk mendapatkan ruang dan kenyamanan. Sejarah ranjang saya juga merupakan sejarah pekerjaan saya. Tempat tidur saya tak perlu terlihat serupa kantor bagi oranglain, faktanya, pun mungkin tidak demikian; seragam hanya berubah dari piyama menjadi baju olahraga, dan tidak ada sesuatu hal yang bersifat formal diperlukan, kecuali rangkaian kalimat dan buku-buku. Saya tidak berpikir tempat tidur saya bisa lebih baik, tetapi beberapa tahun silam, saya membeli tempat tidur ukuran king yang baru, model yang dapat ditekuk untuk menopang Anda bila ingin mengangkat kepala atau meletakkan kaki di posisi setara gravitasi nol. Dalam waktu yang begitu lama, tubuh saya telah menjadi meja personal; sehingga menemukan tempat tidur yang dapat memeluk saya, yang dapat berada di sekitar saya, serasa keajaiban—jenis keajaiban yang membuat tulisan saya menjadi nyata. Dunia ini besar, begitu pula tempat tidur saya, dan selama saya bisa bekerja di satu tempat tidur, saya bisa menghadapi yang lainnya.

Yayasan Bakti Untuk Bangsa Bekerja Sama dengan Happy Hearts Indonesia Merevitalisasi Infrastruktur PAUD Ar Rafa Bogor

Juara Mission Blue Hope Spot Rili Djohani Dedikasikan Puluhan Tahun Melindungi Keanekaragaman Hayati Laut di Bali dengan dukungan dari Rolex Perpetual Planet Initiative