30 September 2025
Timothy Marbun: Nilai Batik Lewat Hasil atau Proses?

model Jasmine Kusuma (IVY Model) photography by Julius Juan Justianto for ELLE Indonesia October 2025;styling Ismelya Muntu; makeup Acha Mono; hair Farhan Nabil; set design Prolog Design
Anda suka batik? Saya juga. Coba pikirkan apa yang sebenarnya Anda sukai dari batik? Warnanya? Coraknya? Atau mungkin harganya saat sale? Tidak salah, apapun alasannya, saya senang kita mencintai batik. Batik itu warisan. Batik itu identitas. Batik itu kekayaan budaya. Batik itu terancam punah.
Sebelum menjelaskan argumen ini, saya ingin bercerita tentang perbincangan dengan Sasti, teman SMA yang terakhir saya temui 25 tahun lalu, kini peneliti di Jepang. Kami tidak membicarakan batik, tapi ada sesuatu yang membuat saya merenung panjang.
Selama ini saya percaya, dalam bekerja, yang terpenting adalah hasil. Bagaimana cara mencapainya, bukan persoalan. Semua bisa berubah, asal hasilnya sesuai harapan. Sasti memberi perspektif lain: “Justru enggak, Tim. Kita itu terlalu mendewakan hasil, padahal yang penting adalah proses.” Awalnya saya berargumen, “Kan cara bisa berbeda-beda Sas, yang penting kan hasilnya?” Ia menjawab, “Proses yang baik tidak hanya memberi hasil, tapi hasil yang baik dari segala aspek.”
Saya pun teringat banyak proyek yang dikerjakan hanya demi target akhir. Yang penting event jalan, skripsi kelar, angka tercapai, bos senang. Proses jadi tidak penting. Padahal energi, waktu, dan pikiran untuk menjalani proses yang benar justru membentuk kita: karakter, sistem, skill. Seperti belajar, dimulai sederhana, berulang, bertahap, penuh strategi. Butuh kesabaran, tapi proses yang benar membuat kita bertumbuh. Jawaban Sasti membuat saya tersadar, mungkin ini salah satu permasalahan di negeri ini.
Model Jasmine Kusuma (IVY Model) photography by Julius Juan Justianto for ELLE Indonesia October 2025; styling Ismelya Muntu; fashion Tangan (atasan pleats dan rok batik), Subeng Klasik (anting), Toton (sepatu); makeup Acha Mono; hair Farhan Nabil; set design Prolog Design.
Saya kembali ke kalimat awal, batik terancam punah.
“Masa sih? Saya tiap hari lihat orang pakai batik, kok!” mungkin itu pikiran pertama Anda. Kain bercorak batik memang tidak punah, bahkan makin luas pemakaiannya. Tapi itukah batik yang diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda sejak 2009? Betul: warisan tak benda. Yang diakui bukan sekadar corak, tapi teknik, simbolisme, dan proses budaya yang memberi “nyawa” pada selembar kain.
Berapa banyak batik kita dibuat dengan proses itu? Atau jangan-jangan sebagian besar hanya hasil mesin print dari negara lain yang tak paham sejarahnya?
Saya menyadari seriusnya masalah ini saat membawakan acara UMKM wastra Bank Indonesia di Semarang. Banyak usaha batik terancam tutup karena generasi muda enggan jadi pebatik. Sulit dipercaya melihat maraknya orang pakai batik, tapi salah satu UMKM membenarkan. Dalam tiga bulan pencarian, ia hanya mendapat dua orang pekerja, itupun sudah berusia. Hal serupa terjadi pada tenun dan kain tradisional lain. Permintaan tinggi, namun perajin makin sedikit. Akhirnya pasar dibanjiri batik cetakan, tak beda dengan kain kemeja. Pembeli puas dengan motif, tanpa peduli proses yang diakui sebagai warisan dunia perlahan mati.
Pebatik sering dianggap sebagai buruh. Dengan segala hormat pada buruh, padahal pebatik mungkin lebih cocok dikategorikan sebagai seniman; artisan. Guratan malam mereka bukan sekadar memberi warna, tapi makna. Itu bukan produk, itu seni. Bila kita tak ingin batik punah, kita harus lebih menghargai mereka. Dengan begitu, anak muda mau belajar menjadi pebatik, penenun, penyulam, karena tahu karya mereka dihargai bukan hanya sebatas rupiah, tapi sebagai warisan negeri.
Hasilnya sudah kita cintai, siapkah kita mencintai prosesnya?