LIFE

8 Maret 2022

Gerak Feminisme Gadis Arivia Memperjuangkan Kesetaraan dan Keadilan Gender


Gerak Feminisme Gadis Arivia Memperjuangkan Kesetaraan dan Keadilan Gender

Melalui dunia aktivisme dan jalur akademis, Gadis Arivia menyuarakan isu perempuan dan menjadikan feminisme sebagai sebuah kata hati demi memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender tanpa henti.

Menjadi feminis di negara yang masih memegang tradisi patriarki tidaklah mudah. Karena perempuan sering kali diasosiasikan sebagai makhluk yang lemah yang ruang lingkupnya dibatasi hanya dalam ruang domestik. Namun Gadis Arivia tak pernah gentar menyuarakan isu perempuan, bahkan dari awal dia terlibat di aktivisme sejak 28 tahun silam. Gadis berangkat dari seorang akademisi lalu terjun di lembaga nonprofit Yayasan Jurnal Perempuan yang ia dirikan karena terbatasnya ketersediaan bahan bacaan dan jurnal ilmiah mengenai feminisme. Ketika krisis sosial politik Indonesia tahun 1998, Gadis Arivia membangunkan nyali yang telah dibungkam selama berpuluh-puluh tahun. Tanpa menegasikan kekuatan gerakan mahasiswa, namun kita semua perlu tahu bahwa perempuan-lah yang memulai gerakan reformasi. Sebelum ribuan mahasiswa menggelar aksi dan menduduki gedung pemerintahan pada Mei 1998, Gadis bersama dua aktivis lainnya, Karlina Leksono dan Wilasih, merancang aksi demonstrasi dan turun ke jalan pada Februari 1998 dengan nama gerakan Suara Ibu Peduli. Aksi ini kemudian diikuti oleh gerakan mahasiswa sekaligus membuat Gadis dan kawan- kawannya ditangkap polisi akibat berdemo.

Perempuan kelahiran 1964 ini meraih gelar sarjana di program studi Filsafat, Universitas Indonesia. Ia melanjutkan pendidikan master di bidang psikologi sosial di L’École des Hautes Études en Sciences Sociales (E.H.E.S.S), Paris, Prancis, pada tahun 1994. Gadis kemudian kembali ke Tanah Air dan menyelesaikan pendidikan S3 di bidang filsafat di Universitas Indonesia, dengan judul disertasi Filsafat Berperspektif Feminis. Tahun 2003 disertasi tersebut diterbitkan oleh Yayasan Jurnal Perempuan. Tiga tahun kemudian penerbit Kompas Gramedia menerbitkan kumpulan artikelnya berjudul Feminisme Sebuah Kata Hati. Dari 1991 sampai 2016, Gadis Arivia merupakan dosen senior di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, di mana ia mengajar mata kuliah filsafat, feminisme, dan isu-isu keadilan sosial, termasuk mengelola berbagai proyek penelitian gender, problem keadilan sosial, serta persoalan lingkungan. Dan sejak 2018, ia mengajar dan menjabat sebagai profesor di bidang Sosiologi dan Sosiologi Gender, di Montgomery College, Maryland, Amerika Serikat.

Selain karier akademisnya, Gadis Arivia melibatkan diri di beberapa organisasi nirlaba untuk pengembangan gender dan sosial masyarakat.
Tahun 1995, ia mendirikan dan menjadi Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, jurnal feminis pertama di Indonesia. Dalam perjalanan Yayasan Jurnal Perempuan, Gadis menjalin kolaborasi dengan berbagai lembaga lain di antaranya International Organization for Migration, United States Agency for International Development, United Nations Sexual and Reproductive Health Agency, UN Women, dan Ford Foundation. Saat ini Gadis Arivia juga aktif sebagai Court Appointed Special Advocate (CASA) di Easton Maryland, yang ditunjuk oleh pihak pengadilan setempat untuk mengadvokasi upaya perlindungan anak-anak yang diabaikan dan dilecehkan.

Gadis Arivia ELLE Women ELLE Indonesia March 2022
photo DOC. YAYASAN JURNAL PEREMPUAN

Sejak kapan Anda tertarik dengan filsafat?

“Tahun 1982, saya bersekolah di McLean High School, Virginia, Amerika Serikat, seorang guru bicara soal filsafat dan meminta kami untuk melakukan riset salah satu filsuf yang kita minati. Saya datang ke perpustakaan sekolah dan menemukan buku Simone de Beauvoir. Semenjak itu saya tertarik dengan filsafat lalu kuliah jurusan Filsafat di Universitas Indonesia, Depok.”

Anda kemudian mencetuskan gagasan agar pihak kampus membuka mata kuliah feminisme.

“Waktu itu tahun 1992, mustahil feminisme bisa masuk ke dalam kampus. Awalnya dinamakan mata kuliah Paradigma Studi Perempuan, tapi kampus menolak diksi ‘perempuan’ karena Orde Baru lebih menyukai kata ‘wanita’ yang buat saya kata ‘wanita’ itu sendiri sudah kontradiktif dengan ajaran feminisme. Dosen saya, almarhum Prof Toety Heraty-lah yang berjasa karena beliau membantu melobi dekan dan para petinggi di Fakultas Sastra. Tahun 1992 feminisme mulai diajarkan di kampus UI tapi sempat terhenti karena saya kuliah S2. Setelah saya pulang ke Indonesia, kuliah feminisme kembali dilanjutkan sejak 1995 sampai sekarang.”

Dulu Anda berdemonstrasi di Bundaran HI yang kemudian diikuti gerakan mahasiswa. Kini dunia aktivisme beradaptasi dengan memunculkan para aktivis yang berjuang lewat konten media sosial. Bagaimana Anda memandang dunia maya sebagai arena perjuangan baru bagi kaum feminis?

“Kebangkitan feminisme di Indonesia dimulai sejak satu abad lalu. Masa prakolonial ada Putri Mardika, organisasi perempuan pertama di Indonesia, dan Aisyah, organisasi perempuan berbasis Islam dari Muhammadiyah. Kemudian masuk era kolonial dan periode kemerdekaan, Gerwani mengemuka sebagai gerakan perempuan yang progresif yang keberadaan dan peranannya amat penting secara sosial dan politik. Semasa Orde Baru, gerakan perempuan dilakukan ‘di bawah tanah’ yang kemudian berkembang feminisme kontemporer membahas persoalan tubuh perempuan dan seksualitas. Kini gerakan perempuan terjadi di media sosial. Dengan situasi warga global memegang handphone selama 24 jam, maka konten-konten feminis disebarkan melalui jalur digital. Orang-orang mungkin bertanya, ‘Apakah bisa advokasi dilakukan dari tempat tidur sebatas lewat Twitter, Instagram, dan TikTok?”. Buat saya, kontribusi mereka tidak kalah penting karena aktivisme digital membuat kita bergerak cepat dalam menyampaikan isu-isu perempuan. Namun harus dipahami bahwa cara- cara ini hanya menyasar kelas menengah ke atas. Benar memang kelas menengah adalah segmen yang signifikan, tapi apa dampaknya? Sebab jika dikaji lebih jauh, nyaris sebagian besar kelas menengah ke atas sudah melek gender. Dan apabila hanya menargetkan kelas menengah ke atas, apakah advokasi media sosial benar-benar bisa menciptakan perubahan sosial? Karena itu kita masih memerlukan orang-orang yang bergerak di akar rumput bersama perempuan-perempuan di daerah pedesaan, menjangkau mereka yang miskin dan tak punya akses internet.”

Bagaimana strategi agar setiap elemen yang memperjuangkan cita-cita feminisme dapat memainkan peran signifikan dalam memperkuat kesetaraan dan keadilan gender?

“Perempuan berjuang di berbagai bidang dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang berjuang di akar rumput, dunia akademis, media sosial, serta perempuan di parlemen. Semua kontribusi perempuan harus saling bersinergi karena perempuan adalah makhluk multidimensi, semua isu yang terjadi pada perempuan saling berhubungan satu sama lain. Membicarakan buruh perempuan, tidak bisa dipisahkan dengan isu kemiskinan dan kekerasan domestik. Membahas kesehatan reproduksi perempuan, tidak mungkin terlepas dari persoalan lingkungan. Yang harus dilakukan adalah menghilangkan prasangka bahwa orang lain tidak lebih baik dibanding kita. Kita membutuhkan keberadaan perempuan di parlemen untuk membuat kebijakan yang berpihak pada perempuan. Tapi kita juga memerlukan perempuan yang bergerak di akar rumput dan yang bersuara di media sosial. Dengan bersinergi, maka seluruh pergerakan perempuan dapat memiliki kekuatan untuk mencapai tujuan yang sama yakni keadilan dan kesetaraan.”

Rasanya kita setuju bahwa patriarki adalah suatu mentalitas sebab nyatanya tak sedikit perempuan yang berorientasi pada laki-laki dan selalu memihak kepentingan laki-laki. Bagaimana Anda memandang sikap dan persepsi maskulin pada perempuan?

“Penting untuk dipahami bahwa feminisme bukan berada di alat kelamin, tapi terletak dalam konstruksi pikiran. Laki-laki sangat mungkin menjadi feminis. Dan sebaliknya, sekalipun seseorang memiliki vagina tetapi jika cara pandangnya patriarki, maka sampai kapan pun dia akan selalu menyalahkan perempuan. Karena feminisme didefinisikan dari cara berpikir, maka diskursus patriarki yang mesti dibongkar. Sudah seharusnya kita membicarakan kesetaraan dan keadilan gender mulai dari dalam rumah sendiri. Wacana kesetaraan gender juga perlu diangkat di sekolah, ruang ibadah, tempat kerja, dan lingkungan sosial. Feminisme mesti ditanam sebagai kerangka berpikir yang ada di dalam pikiran dan hati setiap orang.”

Pengalaman sebagai perempuan tidak bisa diadopsi oleh laki-laki, meskipun dapat dinalar; menstruasi, mengandung, dan menyusui. Maka mungkinkah laki-laki bisa menjadi feminis?

“Dalam pemahaman feminisme radikal, laki-laki tidak mungkin menjadi feminis karena laki-laki tidak punya pengalaman sebagai perempuan. Namun para feminis gelombang ketiga mendefinisikan feminisme berdasarkan perspektif. Maka laki-laki yang menghargai pengalaman perempuan dan menyetujui keadilan untuk semua orang, dapat dianggap sebagai feminis. Tetapi kita juga mesti mengkritisi, apakah laki-laki feminis benar-benar melakukan aksi nyata untuk perubahan sosial? Misal Justin Trudeau, Perdana Menteri Kanada, yang mengklaim dirinya feminis sekaligus juga menggambarkan sikap feminisnya melalui kebijakan-kebijakan yang dia buat. Saya menyadari ada perempuan yang tidak nyaman untuk ‘sleeping with the enemy’, namun rasanya kita perlu optimis sekaligus kritis dalam menyikapi laki-laki feminis. Saya sendiri menaruh harapan dan kepercayaan bahwa laki-laki bisa menjadi feminis dan dapat dijadikan partner untuk bekerja sama memajukan isu-isu perempuan.”

Bagaimana caranya agar feminisme menjadi sebuah gerakan bersama dan bukan hanya milik perempuan?

“Menanamkan dalam pikiran bahwa suka tidak suka, feminisme itu sangat berkelindan dalam keseharian manusia. Setiap orang lahir dari rahimnya perempuan. Kita berteman dengan perempuan, memiliki istri lalu punya anak perempuan. Perempuan ada di mana-mana; rumah, tempat kerja, lingkungan sekitar, termasuk rumah ibadah. Maka mau tidak mau, kita perlu memahami perempuan. Bagaimana caranya? Dengan jalan feminisme. Sebab feminisme membicarakan tentang kesetaraan, keadilan, dan persamaan kesempatan. Dan untuk menjadi feminis kita mesti mengawalinya dengan berpikiran terbuka, bersedia untuk berdialog, dan mampu berempati. Sikap-sikap tersebut yang harus dimiliki oleh mereka yang menyebut dirinya feminis.”