LIFE

17 Oktober 2023

Hanna Keraf Menggerakkan Aktivitas Perekonomian Guna Memberdayakan Kehidupan Indonesia Timur


PHOTOGRAPHY BY REKA VISUAL STUDIO / CHRISTIAN TUNGGAL

Hanna Keraf Menggerakkan Aktivitas Perekonomian Guna Memberdayakan Kehidupan Indonesia Timur

Lebih dari delapan tahun, Hanna Keraf memimpin gerakan pemberdayaan ekonomi pada tingkat akar rumput secara intensif di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Provinsi Papua. Hanna dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta yang jaraknya ribuan kilometer dari Flores di Nusa Tenggara Timur. Kendati secara geografis relatif jauh, namun hatinya terasa dekat dengan tanah leluhurnya dan cintanya pada Flores begitu besar sampai-sampai Hanna melewatkan kesempatan beasiswa kuliah S2 dan mengakhiri zona nyaman di Ibu Kota untuk kemudian memperjuangkan kehidupan masyarakat Flores agar lebih berdaya dan sejahtera.


Perempuan kelahiran 1988 ini menyelesaikan kuliah di Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang, dan meraih gelar Bachelor in Business Administration & Comparative Management, Minor in Economic Development. Hanna mulai terjun dalam gerakan akar rumput sejak 2012 di mana ia berkarier di Swisscontact, sebuah lembaga swadaya masyarakat (Non-Governmental Organization) asal Swiss yang berupaya mengentaskan kemiskinan di negara-negara berkembang lewat pengembangan sektor usaha kecil dan menengah di Nusa Tenggara Timur. Sebagai Assistant Regional Manager, Hanna Keraf bertanggung jawab dalam merancang pemantauan dan studi dampak penghidupan pada program pengembangan UKM sektor jambu mete dan kakao di dua kabupaten di NTT untuk 6.000 petani kecil. Selain mengembangkan keahlian dalam pengembangan proyek, pemantauan dan evaluasi di tingkat lokal, ia juga membangun jaringan dengan pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh masyarakat di NTT. Hanna turut berkegiatan sebagai Project Manager di Yayasan Sahabat Cipta dengan tugas merancang, melaksanakan, dan memantau strategi proyek dalam meningkatkan kapasitas lebih dari 3.000 petani dan UKM lokal untuk meningkatkan produksi kacang mete dan madu hutan di Flores. Dalam kerjanya, Hanna menggunakan metode Making Market Work for the Poor (M4P), sebuah pendekatan yang bertujuan meningkatkan pendapatan dan lapangan pekerjaan dalam upaya pengentasan kemiskinan.


Keterlibatan dalam aktivitas pemberdayaan di akar rumput membawa perjalanan Hanna Keraf atas didirikannya Du Anyam pada 2015 silam. Sebuah cara berbisnis namun berdampak positif pada masyarakat sekitar dengan memberdayakan usaha kecil di NTT dan membantu memasarkan produk hingga akses pasar. Melalui Du Anyam, Hanna melibatkan setidaknya 450 perempuan dan turut melestarikan tradisi menganyam di lebih dari 20 desa dan kecamatan di Lembata dan Flores Timur. Pengalaman mendirikan Du Anyam dan aktivitas akar rumput membawa Hanna pada pemahaman atas berbagai kendala yang dihadapi para UMKM Indonesia terkait manajemen perusahaan, persediaan, hingga pengiriman. Maka pada 2020, Hanna Keraf membangun Krealogi sebagai sebuah platform digital guna menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi UMKM serta menjadi wadah untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan para pelaku usaha agar dapat dapat memasuki akses rantai pasok.  

Anda dibesarkan di Jakarta, lalu menempuh pendidikan di luar negeri. Apa yang membuat Anda ingin memberdayakan masyarakat Flores?
“Kedua orangtua berasal dari Lembata, Flores, tapi saya sangat jarang mengunjungi daerah tersebut. Menghabiskan masa kecil di Jakarta dan Belgia serta kuliah di Jepang, selama tinggal di tiga negara tersebut rasanya tidak banyak orang Flores di sekitar saya. Saya merasa jadi minoritas di tengah pergaulan. Saat kuliah semester 7, saya pun berpikir untuk melakukan sesuatu bagi negara saya sebagaimana saya selalu tertarik dengan isu community development dan melihat adanya potensi besar di Flores. Bukan hanya lanskap yang memukau, tapi juga ada komoditas yang bisa dikembangkan. Namun ada satu hal yang benar-benar meneguhkan keyakinan yakni ketika mentor saya, Erna Witoelar, berujar, ‘Bagaimana caranya kamu ingin membantu masyarakat desa dan warga miskin, kalau kamu sendiri bukan bagian dari mereka? Bagaimana mungkin kamu bisa membantu pengembangan ekonomi rural, kalau kamu tidak punya empati dari masalah yang mereka hadapi? You have to get your hands dirty, Hanna’. Kalimat tersebut bikin saya gigih mencari pekerjaan yang bisa membawa saya ke Flores. Jadi ketika wawancara kerja dengan Swisscontact, saya sampaikan bahwa saya hanya mau bergabung kalau ditempatkan di Flores agar saya bisa memelajari masalah-masalah yang terjadi di akar rumput.”

Apa yang Anda temukan ketika mengidentifikasi persoalan masyarakat Flores?

“Bahwa Indonesia begitu luas dan ketimpangan itu nyata adanya. Buat sebagian orang, untuk meningkatkan taraf hidup berarti harus pergi ke kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Mengapa demikian? Karena pengembangan wilayah hanya difokuskan di kota-kota tertentu sehingga kita merasa hanya di daerah-daerah tersebut kita bisa memperoleh peningkatan ekonomi. Padahal, setiap daerah di Indonesia bisa dikembangkan ekonominya.  Misalnya teman-teman pelaku UKM di Labuan Bajo, mereka bisa menjual komoditas ke hotel-hotel atau restoran dan café, tapi kenyataannya produk amenities hotel mereka didatangkan dari luar Labuan Bajo. Kenapa? Karena UKM setempat belum bisa memenuhi demand dari pihak hotel sebab tidak ada manajemen usaha dan sumber daya manusianya masih kurang difokuskan pada pendidikan kewirausahaan yang mencakup soal fulfil demand, production planning, operation, dan seterusnya. Di Nusa Tenggara Timur juga nyaris tidak ada sekolah kewirausahaan, maka tidak heran penduduknya bisa menjalankan produksi tapi belum sanggup untuk menjadi entrepreneur.”

Peranan apa yang hendak dimainkan oleh Du Anyam?
“Du Anyam tidak hanya fokus di produk, tapi juga memastikan supply barang-barang anyaman bisa bertemu dengan demand dari pasar, salah satunya fokus pada pergerakan dan pengembangan produk di rantai pasok. Bukan hanya memerhatikan proses anyaman, melainkan juga menyangkut bahan baku, logistik pengiriman, pengembangan fasilitas rumah anyam, dan seterusnya. Sebelum dengan Du Anyam, saya membantu meningkatkan produksi komoditas kacang mede, madu hutan, dan lain-lain, supaya para petaninya bisa berjualan. Mulai dari value add processing, hingga sampai akses pasar supaya petani-petani mendapat uang tambahan yang bisa dipakai untuk pendidikan anak-anak mereka.


Du Anyam merupakan wadah untuk membantu masyarakat pedesaan agar bisa punya penghasilan tambahan sehingga anak-anak mereka dapat memperoleh pendidikan yang baik. Kebutuhan dasar seperti makanan bisa didapatkan dari hasil bertani. Namun bagaimana dengan keperluan lainnya untuk menunjang kehidupan? Dana ekstra ini bisa membantu biaya uang sekolah, listrik rumah, ongkos transportasi, dan sebagainya. Selama ini mereka aktif menenun, tapi tidak tahu kapan hasil tenunnya bisa terjual meski sudah pasti bakal laku. Istilahnya harus bayar listrik besok, tapi baru dapat uangnya tiga bulan lagi. Selain additional income, kami juga membantu supaya informasi program-program beasiswa tersampaikan agar mereka bisa menempuh pendidikan yang layak.

Du Anyam sempat terlibat dalam acara Presidensi G20 Indonesia melalui penyediaan suvenir anyaman karya ibu-ibu penganyam di Flores Timur. Dihadiri lebih dari 19 negara, forum delegasi ekonomi internasional tersebut menjadi ajang yang tepat untuk mendukung perekonomian lokal dan kesejahteraan perajin perempuan, sekaligus dapat menunjukkan kepada dunia perihal keindahan budaya menganyam khas Indonesia serta semangat perjuangan perempuan Indonesia melalui suvenir anyaman produk tenun lontar Du Anyam yakni Bajo laptop sleeve tenun, ID tag, dan card slot tenun.”

Apa tantangannya?

“Bagi saya, meninggalkan zona nyaman kehidupan Ibu Kota dengan segala kemudahannya untuk kemudian bekerja dengan komunitas bukanlah sesuatu yang berat. Sama seperti orang hobi memasak, ketika memasak pasti hatinya senang dan tidak merasa berat. Tantangan terbesar justru soal memperkenalkan konsep perusahaan berbasis komunitas sebagaimana kami di Du Anyam bekerja dengan kerajinan tangan di desa-desa. Kita akan selalu belajar mengatasi masalah ketika menyangkut perihal production plan, operation, dan sebagainya. Sebuah tantangan untuk menjalankan perusahaan community based dan mengupayakan agar bisnis ini bisa semakin besar dengan dampak positif yang semakin luas.”

Memilih fokus karier dengan komunitas di akar rumput, bagaimana sikap orangtua Anda?
“Ayah dan ibu berasal dari keluarga nelayan dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan. Mereka harus berjualan kue untuk biaya sehari-hari, menumpang hidup di rumah orang lain, dan berusaha keras mencari sekolah-sekolah gratis agar bisa bersekolah. Sejak mereka kecil, kedua orangtua berupaya untuk bisa keluar dari kemiskinan dan mencari penghidupan yang lebih baik. Sebenarnya ayah ingin saya bekerja di luar negeri atau perusahaan korporat yang mungkin bisa membawa saya pada kemapanan. Enam tahun beliau konsisten berusaha mengubah pikiran saya dengan terus-menerus mengirimkan berbagai lowongan pekerjaan kendati saya telah memilih jalan hidup sendiri. Sampai akhirnya Desember 2018, persis di hari ulang tahun saya, beliau menelepon dan mengatakan, ‘Ayah menyadari ayah tidak bisa menjadi penghalang tangan Tuhan. Kamu telah memberi berkat bagi banyak orang lain, lalu kenapa ayah justru menghalanginya? Ayah mendukung keputusan kamu untuk menjadi lilin yang menerangi hidup orang lain, membawa kebaikan dan manfaat untuk banyak orang’. Saya belajar banyak dari kisah perjuangan orangtua saya yang berusaha keluar dari kemiskinan yang menyadarkan bahwa ternyata kemiskinan itu bukan takdir yang tidak bisa diubah. Kedua orangtua saya juga lahir dari keterbatasan ekonomi, maka saya yakin berkat yang saya miliki harus bisa membawa lebih banyak kebaikan, termasuk membawa anak-anak muda Nusa Tenggara Timur ke penghidupan yang lebih baik, seperti yang kedua orangtua saya sudah dapatkan. Saya ingin kontribusi kecil yang saya lakukan untuk Indonesia Timur bisa membawa perubahan positif dengan mendorong lebih banyak anak-anak dari perajin di NTT agar menjadi berdaya dan mampu memilih penghidupan yang lebih baik.”