31 Januari 2025
Jejak Presensi dalam Narasi Lantang Cinta Laura Kiehl
PHOTOGRAPHY BY Ryan Tandya

styling Ismelya Muntu; jewellery BLVGARI Serpenti Collection; watch Serpenti Tubogas; dress Liliana Lim; hair Penny Wang; location BVLGARI Hotel, Shanghai
Cinta Laura Kiehl seperti tak pernah berhenti bergerak dinamis. Sejak setahun terakhir berbincang dengan ELLE, ia telah menambah portofolio keaktoran lewat dua judul baru. Yang pertama, serial Dendam (episode terakhirnya rilis pada 1 November 2024), di mana ia memerankan seorang polisi yang menjalani operasi penyamaran sebagai petarung martial arts dalam penyelidikan kasus sindikat prostitusi dan perjudian. Selanjutnya, ia mengakhiri dua tahun absen di layar lebar dengan film horor Pangonan Wingit 2 (premier pada 25 Desember 2024). Ia juga diketahui turut sibuk mendubing untuk proyek film animasi Indonesia berjudul Jumbo karya rumah produksi Visinema, yang—jika sesuai jadwal—hasilnya bisa kita nikmati di bulan Maret 2025 mendatang. Di luar ranah sinema, ia kembali masuk dapur rekaman dan menciptakan karya musik Mi Casa bersama Whisnu Santika serta Liquid Silva.
Setelah periode serial televisi Cinderella (2007), 18 tahun silam, jejak presensi Cinta Laura Kiehl selaku artis multitalenta di industri hiburan memang senantiasa persisten. Derapnya berkiprah hingga saat ini jadi sebuah bukti solid. Cinta berhasil melalui “tantangan” buah ketenaran panggung hiburan, dan tumbuh menjadi perempuan matang berkepribadian kuat secara mental serta emosional. (“Tidak sedikit orang yang kemudian memandang saya vokal… bahkan mungkin kelewat vokal, oleh karena berani menyuarakan pendapat saya terhadap sesuatu,” ujarnya.) Tetapi sikap unapologetic yang sama itu pula yang membuat ia tak lagi dipandang sebelah mata. Dengan derap performa distingtif, Cinta mampu melampaui segala label, dan menaklukkan segala ekspektasi yang diberikan publik kepadanya.
Di hari-hari ketika ia tak sedang beradegan, bernyanyi, dan berdansa di atas panggung hiburan, ia membenamkan diri dalam urusan sejumlah pilar bisnis—mencakup berbagai jenis bidang kreatif—yang dikembangkan di bawah holding company miliknya, Cinta Paras Semesta, yang ia bangun sejak 2021. “Berkecimpung di industri ini selama belasan tahun memotivasi saya agar dapat berkontribusi lebih dalam meningkatkan kualitas keterampilan sumber daya manusia kita, terutama para generasi muda; sekaligus membangun ekosistem kreatif yang sehat secara lebih luas hingga menjangkau pelosok daerah,” katanya. Suatu ambisi yang jauh dari kata sederhana; menuntut tanggung jawab, komitmen, dan dedikasi waktu yang mana 24 jam serasa tak pernah cukup.
Jika bahu senantiasa memikul misi sepanjang waktu, apakah kita dapat meraih hidup yang harmonis? Atur skala prioritas. Usai kembali dari menghadiri perhelatan Bvlgari: Serpenti Infinito di Shanghai awal tahun 2025 lalu, Cinta mengelaborasi pandangannya terkait skala prioritas; menetapkan apa yang dianggap penting, dan yang tidak begitu penting (namun bukan tidak bermakna) untuk mencapai kepuasan hidup yang maksimal.
Jewellery BLVGARI Serpenti Collection; watch Serpenti Tubogas; dress Pamela Usanto.
Cinta, adakah tebersit keinginan Anda untuk slowing down?
“Saya rasa hal itu bukanlah sifat alami yang tumbuh dalam diri saya. Terlebih lagi menjalani karier sedari usia sangat muda—hingga kini menginjak tahun karier ke-18—membuat saya terbiasa mengaitkan kesuksesan dengan terus-menerus mencapai target baru ketahanan emosional dan fisik, serta jam kerja yang panjang. Saya mengerti bahwasanya cara pandang ini tidaklah sehat, and objectively, I do believe that slowing down is important. Sebab itu, seiring bertambah usia, saya berharap bisa lebih bijak mengembangkan perspektif yang lebih sehat—yang memungkinkan saya meraih ambisi sambil tetap menghargai hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup—keluarga, cinta, ketenangan hidup, and just be present. Saya belum sepenuhnya sampai di tahap itu, tapi saya selalu memiliki keyakinan bahwa kita juga bisa meraih sukses tanpa mengorbankan keseimbangan hidup. So, let’s see—beberapa tahun ke depan pasti akan menjadi perjalanan menarik untuk menemukan keseimbangan itu.”
Saat ini kita sedang berada dalam Tahun Ular (spesifiknya, Ular Kayu) dalam perhitungan kalender Tiongkok. Sebagai penyandang spirit shio Ayam, menurut prediksi feng shui, tahun 2025 menghadirkan banyak peluang untuk Anda memimpin dan peruntungan dalam karier. Apa yang bisa kami harapkan dari seorang Cinta Laura Kiehl dalam memaknai tahun 2025?
“WOW! I truly hope that this year—and every year to come—will be my year, hahaha. Saya bukan seorang ilmuwan, apalagi cenayang, tetapi menurut saya penting untuk kita sebagai manusia berpikiran terbuka pada perspektif dan aliran pemikiran yang bervariasi. Bukan berarti kita serta-merta menerima begitu saja setiap gagasan yang dikemukakan, tapi mengeksplornya dengan logika kritis. Saya meyakini bahwasanya setiap pergantian tahun menandai awalan segar untuk terus maju dan bermimpi lebih besar. Saya telah memulai tahun 2025 dengan pendekatan yang berbeda di luar kebiasaan saya; saya membuat resolusi tertulis secara detail meliputi apa yang ingin saya capai di berbagai aspek kehidupan saya—karier, persahabatan, hubungan keluarga, kesejahteraan mental dan fisik, dan upaya filantropi.. Bahkan saya menyimpannya sebagai screensaver untuk daily reminder! I can’t show you, or everyone, sebab asa sifatnya adalah hal yang sangat privat. Plus, I don’t wanna jinx it! Mungkin singkatnya, saya selalu menata ruang untuk terus-menerus berkembang.”
Saya mengerti perasaan sungkan untuk mendahului masa depan. Kalau begitu, mari kita bicarakan masa kini. Anda baru kembali dari menghadiri ekshibisi Bvlgari: Serpenti Infinito di Shanghai, Tiongkok, beberapa waktu lalu. Ceritakan, apa momen yang paling menginspirasi Anda selama di sana—terutama yang berdampak dalam hal kreativitas Anda sebagai seniman?
“It was an incredible honor. Bvlgari benar-benar tahu cara merayakan Tahun 2025, atau yang bisa kita sebut juga sebagai The Year of Snake, dengan pernyataan kreativitas yang luar biasa. Karya instalasi yang ditampilkan sangat menakjubkan. Favorit saya adalah rangka segi delapan yang dirancang menyerupai ular, yang melingkari sebuah layar dengan fitur sensor yang dapat membaca emosi seseorang—it was such an incredible immersive experience. Di sana, saya juga berkesempatan bertemu dan bicara dengan banyak sosok-sosok hebat, termasuk CEO Jean-Christophe Babin, dan Lucia Silvestri, Creative Director Bvlgari for High Jewellery. Berdiskusi dengan Lucia, terkait pendekatan uniknya dalam meramu kombinasi komatik batu mulia untuk kemudian dimanifestasi sebagai perhiasan mahakarya, benar-benar menyuntik naluri kreatif saya sebagai seniman. Visinya yang begitu murni meninggalkan kesan yang mendalam bagi saya.”
Jewellery BVLGARI Serpenti Collection; jaket & rok bahan jacquard Friederich Herman.
Anda juga berjumpa dengan Anne Hathaway—ia bahkan tersorot kamera tengah mengecup tangan Anda! Beritahu kami apa yang Anda berdua bicarakan hingga menyalakan momen interaksi yang tampak mendalam?
“Ketika saya tahu bahwa saya akan duduk di antara Anne, Yifei Liu, dan Ho Ngoc Ha—sejujurnya siapa pun figur hebat itu—naluri saya secara otomatis memikirkan banyak bahan pembicaraan. Bukan semata-mata untuk membuat mereka terkesan, tetapi saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan bertukar pandangan dengan orang-orang hebat. Lalu saya tersadar—dan selalu tersadarkan—bahwa di atas segalanya kejujuran dan bersikap tulus, atas pribadi Anda sendiri, adalah hal yang terpenting. Saya tidak ingin mengobrol semata demi mengobrol. Saat tiba kesempatan berbincang dengan Anne, pada akhirnya, saya hanya secara tulus mengagumi dirinya dan berterima kasih atas etos kerjanya dalam membuat film-film yang secara cermat mengeksplorasi bias gender; mendobrak stigma sosial yang sering kali dihadapi perempuan saat menjalin hubungan yang menentang norma-norma konvensional; mengkritisi standar ganda yang terus-menerus mengikat di antara gender. I spoke from the heart, tanpa mengharapkan balasan. Tapi kemudian matanya berkaca-kaca, and before I knew it, she kissed my hand! Reaksinya membuat saya syok dan terdiam sesaat. Never in a million years would I have imagined something like that—like, Anne Hathaway kissed my hand? Anne adalah orang yang sangat santun, ramah, dan rendah hati; sangat membumi. Jadi, saya rasa bersikap autentik terbukti dapat menciptakan keterhubungan yang lebih bermakna.”
Terkadang, berada di antara sosok-sosok besar bisa membuat seseorang merasa “kecil”—pun bahkan untuk orang dengan portofolio karier yang solid sepanjang 18 tahun seperti Anda. Adakah saat di mana Anda mendapati momen tersebut?
“Penting untuk seseorang memiliki kerendahhatian—undoubtedly. Kendati demikian, saya pun meyakini pentingnya menghargai value diri sendiri, dan punya pemahaman bahwa kita layak berada di mana pun kita berada. Value dan martabat seseorang tidak lantas berkurang atau menjadi rendah hanya karena ia tidak sama cerdas atau sama hebatnya dari orang-orang di sekitarnya. Untuk itu, saya selalu berpandangan bahwa kita tidak boleh merasa kecil; merasa terintimidasi dalam situasi sosial tertentu. Dan begitulah prinsip yang saya pegang teguh. Sikap minder seperti itu hanya dapat menghambat perkembangan diri kita. Saat dikelilingi individu-individu yang mungkin jauh lebih sukses atau berpengalaman, saya akan berpegang pada kerendahhatian untuk menyalakan semangat dalam menuai pembelajaran dari mereka. Prestasi mereka memotivasi saya bekerja lebih keras dengan harapan saya bisa sampai pada level kesuksesan yang sama. Pada akhirnya, pendekatan kita menjalani kehidupan adalah tentang pola pikir.”
Jewellery BVLGARI Serpenti Collection, gaun Galé Studio.
Bagaimana perkembangan pola pikir Anda terhadap pencarian titik tengah yang sehat dalam berkesenian di era digital—sebagaimana setahun silam Anda mengungkap betapa rumitnya menemukan keseimbangan itu?
“Oh my… Untuk menemukan keseimbangan antara realitas dan dunia digital, selagi terus dituntut mampu beradaptasi, bukanlah perkara enteng. Sangat menantang! Kini saya sudah lebih baik dalam menerima fakta bahwasanya tidak apa-apa untuk tidak selalu memenuhi tuntutan publik yang tak akan pernah ada habisnya. Sebagai public figure, kami memiliki role masing-masing dan bagaimana cara kami menjalankan peran itu pun berbeda-beda. Saya telah mencapai titik pemahaman di mana saya ingin fokus berkarya mengerjakan apa yang benar-benar membuat saya bahagia di industri hiburan. Saya mengerti presensi media sosial memiliki arti tersendiri di zaman ini, namun saya akan memanfaatkannya dengan cara saya sendiri dan menurut waktu yang saya pikir tepat. Saya menolak terikat pada algorithm, atau tekanan untuk mengunggah konten hanya karena sedang tren dan semua orang melakukannya. Media sosial adalah platform di mana saya berbagi konten inspiratif terkait pandangan saya terhadap sebuah isu—yang juga sesuai dengan apa yang saya minati—kepada penggemar dan masyarakat luas. Pada akhirnya, saya percaya bahwa jauh lebih berharga untuk menumbuhkan komunitas yang benar-benar terhubung dengan Anda, ketimbang mengejar tren atau mencoba menyenangkan semua orang.”
Di balik kesuksesan, pasti ada (setidaknya satu) kesalahan atau kegagalan yang membentuk seseorang menjadi pribadi lebih tangguh. Apa kegagalan yang membentuk Anda menjadi seorang Cinta Laura Kiehl saat ini?
“Pertanyaan ini selalu menjadi pertanyaan yang sulit dijawab, karena orang jarang berbagi perjuangan, rintangan, dan kegagalan yang mereka hadapi selama ini. Dalam kasus saya, ada banyak sekali—jauh lebih banyak dari yang dibayangkan kebanyakan orang. Saya kerap kali berterus terang tentang pengalaman itu dalam berbagai kesempatan, di mana saya secara terbuka membahas kemunduran itu. Apakah saya malu punya cela? Tidak, sebab selalu ada pelajaran yang saya temukan dari tiap kemunduran.”
Tanpa bermaksud sentimen, namun sekaligus tidak mungkin memungkiri; industri hiburan sesungguhnya bisa menjadi tempat yang begitu menghakimi. Apakah Anda pernah ditempatkan dalam sosok stereotip tertentu?
“Sepakat, sulit untuk menyangkalnya—industri hiburan memang suka menghakimi. Bahkan beberapa pihak yang mengaku mendukung inklusivitas dan kesetaraan peluang, pun pada kenyataannya masih kerap melanggengkan eksklusivitas, dan berpegang pada gagasan yang terbentuk asumtif. Saya sempat mengalami sendiri realitas itu; dihakimi, misunderstood, dan dibelenggu di dalam karakteristik figur peran-peran tertentu. Namun alih-alih kesal atau putus asa, di mata saya, tantangan-tantangan seperti itu justru menjadi bagian integral kehidupan. Setiap kendala yang saya hadapi telah mengajarkan saya tentang ketahanan dan memotivasi saya untuk tumbuh jadi individu yang lebih baik. Tiap kesempatan—bagaimana pun prosesnya—membentuk saya menjadi seseorang yang autentik, yang berdaya atas diri sendiri tanpa menunggu validasi. Seperti yang saya katakan sebelumnya, semuanya adalah tentang pola pikir.”
Pasalnya menyenangkan melihat penampilan Anda menghidupkan karakter yang berbeda—dari yang pernah Anda mainkan sebelumnya—seperti dalam serial Dendam. Atau ketika Anda berdialek kental bahasa Jawa dalam film Pangonan Wingit 2.
“Dunia ini bekerja pada waktunya. Beberapa tahun terakhir, saya menyadari industri sinema kita telah bergeser ke arah yang lebih terbuka dalam mengeksplorasi keberagaman peran dan karakteristik pemeran. Saya pun mulai menerima berbagai kesempatan yang lebih sesuai dengan jati diri saya sebagai seorang seniman.”
Jewellery Bvlgari Serpenti collection, gaun Liliana Lim.
Jika menyoal bidang keaktoran, sejauh apa Anda bersedia berupaya demi penghayatan menghidupkan peran? Kabarnya Anda melakukan hampir seluruh adegan fisik berat dalam Dendam tanpa stunt double.
“I’ve always believed in giving my absolute all when taking on cinematic roles. Saya bahkan berani melompat dari gedung setinggi enam lantai, jika itu yang dibutuhkan agar karakternya tampak real di mata penonton. Demi Dendam, saya mendalami sekitar kurang lebih 20 koreografi seni bela diri dalam berkelahi secara intensif selama 12 hari. Itu belum dengan improvisasi koreo yang harus kami lakukan di set agar dapat menyesuaikan kebutuhan cerita. Dari pengalaman-pengalaman mengeksplorasi peran seperti itu, saya termotivasi untuk melampaui batas dalam mengasah kemampuan sekaligus menegaskan kembali komitmen saya terhadap keautentikan karya saya.”
Apakah Anda menetapkan garis batasan dalam menerima suatu peran?
“Yes, saya rasa hal itu diperlukan dalam beberapa aspek agar nilai artistik tetap selaras dengan nilai-nilai pribadi. Saya tidak akan ragu menetapkan batasan apabila ada hal yang tidak sejalan dengan integritas saya. Dalam memilih sebuah peran, pengambilan keputusan saya selalu berakar pada diskusi yang mendalam bersama tim produser dan sutradara. Komunikasi yang jelas itu juga berguna dalam menyelaraskan visi dan misi seluruh pihak yang terlibat dalam proyek tersebut.”
Alam semesta ini pasalnya tidak terbatas. Adakah Anda merasa takut tersesat di dalamnya?
“Saya tidak takut dengan gagasan ‘tersesat’ di alam semesta. Semesta ini begitu besar dan luas; dan memikirkannya membuat saya sadar bahwa saya—dan semua manusia—sebenarnya hanya bagian kecil layaknya setitik debu di tengah luasnya jagat raya yang tak terbatas. Ego, kebutuhan akan validasi, bahkan keterikatan pada hal-hal material pun kemudian menjadi tidak berarti. Kesadaran ini membantu saya memahami bahwa hidup tidak perlu dijalani dengan terlalu serius. Bukan berarti lantas memaknai hidup tanpa hasrat dan tujuan, tetapi tetap membumi dan tidak bereaksi berlebihan terhadap tantangan kehidupan. Ambisi untuk meraih hidup yang ‘lengkap’ atau ‘sempurna’, pada dasarnya, terbentuk atas konstruksi sosial—yang maksudnya baik, namun sering kali dimanifestasi secara salah kaprah.”
Lalu bagaimana jika Anda benar-benar tersesat?
“Saya percaya bahwa terkadang kita hanya perlu berhenti sejenak, menarik napas, dan mengingatkan diri sendiri bahwa hidup ini sifatnya sementara. Dengan memahami itu, kita bisa lebih menghargai hidup. Kedamaian dan kebahagiaan tidak melulu datang dari hal-hal yang sifatnya besar; kita juga bisa menemukannya dari hal-hal sederhana. Pada akhirnya, justru momen-momen kesederhanaan itulah yang memberi makna dan kepuasan sejati dalam hidup.”