15 Februari 2021
Abimana Aryasatya Jujur Menampilkan Rasa

Kontemplasi dua dekade perjalanan karier akting seorang Abimana Aryasatya telah menemukan bahwa memburu eksistensi tidak lebih penting daripada berkontribusi.
Tidakkah Anda setuju jika saya mengatakan bahwa Abimana Aryasatya begitu karismatik. Ia akan menginjak usia 40 di tahun depan, dengan karier akting lebih dari dua dekade, seorang ayah dari empat orang anak, sekaligus suami dari Nidya Ayu, yang dinikahinya pada 2001 silam. Laki-laki yang akrab disapa Abi itu seolah melintas zaman tanpa lekang oleh waktu. Lihat saja penampilannya di dalam karya fotografi. Abimana terlihat memesona, baik saat berbalut jas atau mengenakan kaus dan denim. Matanya setajam elang tak luput dibingkai garis-garis halus—lagipula aktor juga manusia biasa—lantas apakah karakter alami tersebut tidak berarti menarik? Abimana pernah melakukan transformasi fisik secara drastis sewaktu tampil di film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! (2016), dan ia tetap terlihat memukau.
Sabtu sore Desember 2020, saya menghubungi sang aktor saat ia sedang berada di kediamannya. Anda tahu apa yang sedang ia lakukan? Berolahraga. Ia memang diberkati ketampanan dan postur tubuh yang memikat. Namun Abimana tetap melakukan rutinitas untuk menjaga kebugaran.
“Di masa depan, saya berharap bisa lebih banyak berkontribusi,” ujar Abimana saat kami berbincang lewat sambungan telepon, dua pekan menjelang akhir tahun 2020. Ia terdengar seperti sedang merancang sebuah resolusi. “Saya berkeinginan menyutradarai sebuah film. Tidak juga menutup kemungkinan untuk kembali memproduseri film. Namun dengan keadaan dunia yang serba tidak pasti seperti saat ini, rasanya sulit memiliki ketepatan waktu untuk memproyeksikan rencana apa pun,” katanya. Karya film tidak dilahirkan dari proses penciptaan yang kilat. Butuh persiapan serta proses panjang untuk membuatnya. Barangkali kita belum akan menyaksikan film besutan Abimana Aryasatya dalam waktu dekat. Namun ia berkata, “saya mengusahakan agar bisa mengerjakan sebuah karya di akhir tahun 2021”.

styling SIDKY MUHAMADSYAH wardrobe BALENCIAGA
Saya teringat foto unggahannya di media sosial pada November silam, di mana ia sedang bersiap mengenakan kostum Gundala. Pada caption, ia menulis ‘Yuk, lanjuttt!! @jokoanwar’. Dengan antusias, saya menyoal perkembangan sekuel film besutan Joko Anwar tersebut. “Hahaha. Kita pasti akan melanjutkan syuting Gundala sambil memantau situasi,” tukasnya. Abimana tidak mengumbar lebih lanjut apalagi menjanjikan bentuk karya yang tengah ia rencanakan. Sebab ia bukan tipe yang gemar bicara sesuatu sebelum sampai di final. “Lebih baik lay low ketimbang omong kosong,” begitu prinsip aktor peraih empat kali nominasi Pemeran Utama Laki-Laki Terbaik Festival Film Indonesia tersebut. Maka alih-alih ambisius berceloteh masa depan, pembicaraan kami pun menelusuri waktu secara mundur.
Abimana telah menapaki ranah sinema selama kurang lebih 26 tahun. Perjalanannya bukan suatu momen singkat (saya tidak berhitung angka di sini). Jika bicara tentang aktor yang paham rasanya memulai dari nol, Abimana Aryasatya adalah salah satunya. Kisahnya berangkat dari menjadi seorang kru lighting produksi sinetron pada 1995 hingga tahun 1997-an, kala pertama ia ditawari kesempatan bermain peran televisi di Lupus Milenia. Pada 2005, ia mengambil tempat di layar lebar lewat sederet film bertemakan supranatural. “Ada masanya dulu saya enggak menyukai dunia sinema,” katanya tertawa sebelum melanjutkan bicara. “Ketika masih muda, keinginan untuk diperlakukan secara adil mendominasi cara berpikir. Saya mulai berperan di usia 17-18 tahun. Pada waktu itu, saya merasa kerja keras yang telah saya lakukan tidak dihargai dengan baik, baik oleh penonton maupun sesama pelaku di industrinya. Perasaan seperti itu akhirnya membuat kita patah hati,” kenangnya.

styling SIDKY MUHAMADSYAH wardrobe GIVENCHY
Perasaan sentimen sempat memprovokasi Abimana untuk melepaskan seni peran. Pada 2008, ia pindah ke luar kota dan bekerja di sebuah event organizer serta berbisnis kuliner bersama sang istri. Abimana menemukan jalannya kembali pada dunia film lewat dukungan sutradara Joko Anwar yang mengajaknya untuk terlibat dalam film Catatan (Harian) Si Boy (2011). Ia pun perlahan kembali berdamai dengan segenap kekecewaan di masa lalu. “Kini saya telah berada di tahap di mana saya meyakini bahwa industri film dan entertainment adalah hidup saya,” ujarnya.
Meski sempat berhenti, Abimana tak kehilangan kapabilitasnya untuk menghidupkan suatu karakter. Salah satu penampilannya yang berkesan ketika ia memerankan Elang di Belenggu (2012). Menyimak aktingnya berhasil membuat saya bergidik. Dan saya rasa demikian yang dirasakan para penikmat filmnya. Terbukti kepiawaian Abimana melakoni pemuda paranoid dalam film tersebut menuai pujian dan diganjar nominasi Pemeran Laki-Laki Terbaik dari berbagai ajang penghargaan di tahun 2013; Festival Film Indonesia, Piala Maya, dan Indonesian Movie Awards.
Bicara soal akting, Abimana memiliki pendapatnya sendiri. “Bahwa terdapat dua pemahaman yang sering muncul yakni antara menirukan dan ‘menjadi’. Dalam pengertian saya, yang sejati dalam seni peran adalah ‘menjadi’, menjadi karakter yang diyakini baik oleh aktor maupun para penontonnya. Ketika Anda percaya terhadap apa yang Anda sampaikan, maka penonton akan melihat kesungguhan seorang aktor sebagai suatu kebenaran.” Abimana bijak dalam berpendapat, meski ada kalanya pendekatan laki-laki ini dalam seni peran tak selalu bijak. Masa-masa awal menekuni akting, ia mengakui lebih banyak mempraktikkan apa yang dipelajarinya dari sebuah buku, sosok guru, atau orang-orang yang berada di sekelilingnya. “Seiring melewati berbagai proses, saya lantas memahami bahwa berkesenian bukan sekadar perkara teknis. Mengerti teknis tetap diperlukan. Namun kita harus melakukan riset, perlu banyak mendengar, mendekatkan karakter kepada masyarakat, dan mempelajari bagaimana respon lingkungan. Sebab hal penting dalam berkarya adalah kejujuran dan ketulusan,” tutur Abimana.
“Problemnya, seringkali seseorang tidak mengenal diri sendiri dan malah sibuk mempelajari orang lain. Hal demikian tidak juga bisa dibilang salah, namun sebenarnya hanya membantu Anda membentuk penampakan luar,” katanya. Saya tergelitik bertanya, apakah itu salah satu sebabnya regenerasi aktor berjalan lambat di jagat hiburan Indonesia? “Anda bisa disebut sebagai aktor bukan cuma karena bakat, tapi juga integritas terhadap apa yang dikerjakan. Sebab tanggung jawab berkarya jauh lebih besar daripada hasil yang diterima,” pendapatnya.
Sebelum pandemi Covid-19 menyekat mobilitas manusia, Abimana sedang mengerjakan miniseri Serigala Terakhir, cerita spin-off dari film yang berjudul sama di tahun 2009. “Saat pemerintah memberlakukan pembatasan sosial, kami masih memiliki kuota 10% adegan yang belum sempat direkam,” ungkap Abimana. Produksi terpaksa rehat dan mengejar ketertinggalan begitu limitasi gerak masyarakat dilonggarkan. Diputar perdana pada 25 September 2020 melalui sebuah platform streaming, miniseri Serigala Terakhir meliputi enam episode di mana Abimana menjelmakan lakonnya di masa lampu sebagai narasi utama yang bernama Alex, rekan Jarot (tokoh utama yang dulu diperankan oleh Vino G. Bastian dalam filmnya) dari kelompok mafia Naga Hitam. “Yang menjadi fokus ketika kembali memerankan Alex yaitu mencari perubahan seseorang yang telah melewati proses transisi selama satu dekade,” kata Abimana.
Tokoh Alex kemudian diwujudkan dengan karakter yang lebih tenang, tidak lagi meledak-ledak penuh amarah. Di titik ini, saya lantas melihat kedekatan karakter tersebut dengan pribadi Abimana. Bukan bagian di mana ia merupakan mantan anggota mafia yang hidup di jalan kekerasan, melainkan seseorang yang telah melalui transformasi hidup. Saya sempat bertemu Abimana manakala di tahun 2019 kami berkolaborasi membuat video yang menyoal kontemplasi diri. “Sebelas tahun lalu, saya seorang pemarah dan pendendam. Merasa melawan dunia dan melawan semua orang. Kini saya jauh lebih bersyukur dan merasa dihargai. Saya juga merasa lebih ‘hidup’ dan barangkali kini juga jadi seseorang yang lebih baik”.
“Hampir semua peran yang pernah saya jalani merupakan bagian diri saya, namun dunia kami tetap dua dimensi berbeda,” ujar Abimana. Tentu saja. Rasanya tidak mungkin bagi Abimana Aryasatya untuk dapat bebas berjalan di ruang publik, tanpa dikenali para penggemarnya. “Apakah saya terkenal? Sepertinya popularitas saya masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Raffi Ahmad atau Baim Wong,” katanya tergelak. Berbincang dengan Abimana sarat dengan momen humor seperti ini. Meski pembawaannya tampak mengintimidasi, pada kenyataannya ia sosok yang supel dan luwes.
“Saya masih bisa pergi ke tempat-tempat umum, duduk di antara orang-orang yang tidak mengenal saya dan mengobrol sebagaimana mereka tidak mengetahui apa profesi saya,” katanya. Kemerdekaan dari reputasi pesohor itu pun disyukuri Abimana sebagai suatu kemewahan. Sebab interaksi sosial merupakan sumber wawasan utama yang dibutuhkan oleh seorang aktor. Ia menjelaskan, “Orang lain kerap menetapkan standar tertentu ketika berbicara dengan sosok yang terkenal, sehingga sulit menemukan esensi percakapannya.”

styling SIDKY MUHAMADSYAH wardrobe GIVENCHY
Abimana Aryasatya telah menjadi aktor yang dikenal karena dedikasinya dalam seni peran. Tak jarang ia melakukan perubahan fisik apabila dibutuhkan, seperti misalnya menaikkan atau menurunkan berat badan. Saya pun terkesan dengan kisahnya ketika berupaya menemukan cetakan gigi agar menyerupai sosok pelawak Dono, serta usahanya ketika setiap hari harus menyasak rambutnya sebelum mulai syuting demi menghidupkan karakter tersebut. Prinsip kerja Abimana teguh yakni menjadikan karakter yang diperankan dapat dipercaya dan terasa jujur adanya.
“Apakah Abimana pernah merasa tertekan ketika memainkan suatu peran?” tanya saya.
“Ada kalanya demikian. Namun saya pikir, bukan tempat saya untuk menghakimi suatu karya, yang mana karya tersebut merupakan milik banyak orang. Kita masing-masing memiliki standar yang belum tentu sama dalam melihat sesuatu,” jawabnya. Penyebabnya tak selalu disebabkan tokoh yang tidak sesuai, tantangan produksi, atau skrip film. “Terkadang aspek ekonomi juga memaksa seseorang untuk mengerjakan sesuatu di luar keinginannya,” kata Abimana. Tatkala berperan minim kedamaian, ia mengaku sulit menutupi perasaan tersebut di hadapan kamera. “Tidak ada rasa yang dimanipulasi dalam berakting. Meski menahan ekspresi di depan kamera, emosi manusia pasti tersirat pun dapat dirasakan oleh penonton. Sebab kami, aktor, bergerak dengan membawa segenap perasaan dan emosi,” pungkasnya.