Di film A Star Is Born, musisi pop kenamaan dunia ini menghilang ke dalam sebuah peran yang dirancang merefleksikan awal kebangkitan karier dirinya sendiri.
10 tahun silam, berkat perilisan album pertamanya,
the Fame, Lady Gaga berkembang dari seorang penampil
burlesque serta penari New York
club kid menjadi fenomena
pop culture secara global dalam sekejap. Dalam perjalanannya kemudian, ia telah merilis lima album studio, satu album
soundtrack, dan 18
singles; tampil mengisi acara Super Bowl; dan meraih enam piala Grammys, satu Golden Globe, juga mendapat penghargaan kategori
fashion. Ia berkolaborasi dengan banyak musisi serta artis terkenal, termasuk bernyanyi duet dengan
Tony Bennett. Dua tahun lalu, saat sedang syuting film dokumenter produksi Netflix yang mengisahkan hidupnya,
Gaga: Five Foot Two, Gaga mendapat tawaran bermain film Hollywood
budget besar sebagai pemeran utama. Perannya adalah pembaruan lakon yang juga pernah dimainkan oleh Janet Gaynor atau Judy Garland atau Barbra Streisand di
A Star Is Born, serta berpasangan dengan Bradley Cooper. Jika di alam semesta ini ada orang yang memiliki pencapaian lebih tinggi dari Lady Gaga, mungkin hanyalah Lady Gaga sendiri.
Beberapa hari setelah pertemuan Chocano dengan Lady Gaga,
A Star Is Born dirilis perdana di Venice Film Festival. Lady Gaga menghadirinya dalam balutan gaun Valentino berhiaskan bulu burung unta warna
pink. Di tengah pemutaran film, petir sempat menyambar hingga menghentikan penayangan kurang lebih delapan menit. Selama itu, para penonton berdiri, bertepuk tangan, dan memberikan komentar positif. Pada 2016, saat Gaga menerima penghargaan Golden Globe untuk lakonnya dalam
American Horror Story: Hotel besutan Ryan Murphy, ia mengatakan bahwa ia bermimpi menjadi aktris sebelum ingin menjadi penyanyi, tapi musik telah membuka jalannya lebih dulu. Kini, setelah berhasil berlakon dengan baik, tidak jelas apa lagi yang bisa dilakukannya. Membangun koloni Mars, mungkin. Mobil terbang. Kesehatan global.
Kehadiran Lady Gaga menciptakan aura intimidatif. Ia duduk bagaikan seorang atlet
gymnastic mendarat sempurna di kejuaraan Olimpiade. Sebagai perempuan, Gaga sangat manis. Tetapi jiwa senimannya bagaikan sebuah mesin. Pribadinya hangat tapi santun, ramah namun tahu menjaga jarak, sangat bersemangat dan penuh gairah tetapi paham takaran. Hari itu, rumahnya nyaman serta cukup ramai orang—asisten,
manager, serta sang ibu juga sedang datang berkunjung dari New York City. Desain rumahnya lebih tradisional dari yang diharapkan Chocano, lebih cocok menggambarkan sentuhan Stefani Germanotta (nama asli Lady Gaga) ketimbang penampilan artis pop yang pernah mengenakan gaun terbuat dari daging di MTV Video Music Awards.
Sofa gaya pedalaman Prancis berlapis selimut, sementara perapiannya diapit oleh TV besar dan poster film Italia kuno
A Star Is Born yang dibintangi Judy Garland. Poster tersebut hadiah dari sang kekasih, Christian Carino. Kombinasi yang memberi rasa seolah tengah berada dalam film buatan Nancy Meyers, atau salah satu episode
Star Trek.
Satu dekade perjalanan kariernya, Lady Gaga terlahir kembali, sebagai seorang bintang film, dan kemunculannya benar-benar seperti sebuah wahyu. Hal ini mungkin satu hal yang paling harus diperhatikan tentang
A Star Is Born—yaitu, di balik fakta bahwa ia terlihat berbeda, ia terasa seperti orang baru. Di antara hal-hal paling menonjol dari karakternya, Ally, adalah bagaimana penampilan glamornya dilucuti, bagaimana ia terlihat rapuh. Sebelumnya, Gaga telah menunjukkan kilasan serupa. Kita pun sudah melihatnya saat ia tampil jenaka di acara
Saturday Night Live, albumnya
Joanne, dan film dokumenternya di mana ia muncul mengenakan
sweatpants.
“Karakter Ally dibentuk dari pengalaman hidup saya,” kata Gaga. “Tapi saya juga ingin menegaskan bahwa Ally bukanlah saya seutuhnya. Ia adalah kombinasi dari keduanya.” Ally memiliki talenta tapi tidak percaya diri. Ia menulis lagu tapi tidak ingin menyanyikannya sendiri. Ia telah dihalangi dari mengejar mimpinya sendiri oleh sebuah industri yang tidak yakin terhadapnya, yang mengatakan kepadanya penampilannya tidak cocok. Ally kemudian dengan enggan mengizinkan Jackson Maine (diperankan oleh Bradley Cooper) untuk menarik dirinya masuk ke dunianya, melibatkan dirinya di dalam musiknya, sampai ia bertemu dengan manajer yang mengawali transformasinya menjadi bintang pop komersial.
Dari seluruh bakat yang dimiliki Lady Gaga, sebagai penyanyi, penulis lagu, dan aktris, adalah ketenarannya dalam hal popularitas—suatu kondisi yang ia kejar, diselidiki, diinterogasi, dan ia jadikan nama album
extended play dan parfum—yang melambungkannya sebagai selebriti global. Salah satu esensi yang membedakan antara Gaga dengan karakter fiksionalnya, Ally: sekali Gaga membuat keputusan menjadi artis, ia tidak membiarkan apa pun menghentikan langkahnya. Di awal kariernya, ia tahu bahwa Stefani Germanotta, dengan didikan sekolah Katolik, cukup bertalenta untuk menjadi sukses. Tapi, hanya Lady Gaga, seutuhnya, yang mampu melampaui lingkup global.
Karakter Ally, secara kontras, ibarat jendela ke dalam sebuah pintu geser—contohnya, lihat bagaimana suatu hal dapat terjadi. “Ketika menonton hasilnya untuk pertama kali, saya berpikir bahwa Ally sangat sedih menjelang akhir film dan saya tidak menyadari itu di awal. Ally sungguh seperti depresi. Ia bekerja sebagai agen katering makanan. Temannya, Ramon, memiliki arti penting. Ia harus mengurus sang ayah di rumah, mengatasi segala persoalan, dan sarapan di rumah. Tapi ia sangat pesimis menjadi musisi.”
Versi teranyar
A Star Is Born yang dirilis tahun ini merupakan pembuatan ulang keempat atas cerita drama klasik tentang dampak ketenaran dan ketergantungan dalam suatu hubungan. Di sini, Bradley Cooper yang perankan Jackson Maine dikisahkan sebagai seorang bintang
rock, pecandu alkohol. Ia jatuh cinta pada penyanyi-penulis lagu (Lady Gaga) yang ditemuinya di kelab khusus transeksual yang ia datangi usai menggelar konser.

Pertemuan pertama Lady Gaga dan Bradley Cooper terjadi di studio syuting
Saturday Night Live beberapa tahun lalu. Namun, keduanya belum saling mengenal baik, sampai saat Gaga tampil dalam konser amal Sean Paker pada 2016. Sebelum konser, Gaga telah mendapat kabar bahwa Cooper akan datang dan ia tengah mencari pemeran utama perempuan film
A Star Is Born yang digarapnya. Gaga mengetahui hal tersebut dan ia menginginkannya. Ia menyanyikan
La Vie en Rose—yang mana menjadi lagu pertemuan Jackson dan Ally dalam filmnya—yang membuat Cooper jatuh cinta kepadanya. Cooper benar-benar terpesona hingga langsung memanggil manajer Gaga untuk minta bertemu. Hari berikutnya, “Saya mendatangi rumah Gaga dan selanjutnya mengalir begitu saja,” kata Cooper.
Gaga mengatakan bahwa kedekatannya dengan Cooper terjadi secara instan. “Tanpa saya sadari, saya sudah memasak pasta untuknya, menyuapinya, sambil mengobrol dan tertawa. Lalu, ia minta apa saya bisa menyanyikan lagu
Midnight Rose bersamanya. Ia ingin mendengar bagaimana suara kami jika berduet. Saya mencetak lembar
chord lagu tersebut dan berjalan ke piano, saya sangat gugup saat itu. Saya membaca sekilas lirik serta
chord-nya kemudian kami bernyanyi bersama. Saya sontak berhenti saat mendengar suara Bradley dan memujinya, ‘Bradley, Anda bisa bernyanyi.’ Suaranya sangat mengagumkan,” cerita Gaga.
Setelah melalui
casting itu, Cooper bersama dengan para penulis naskah, Eric Roth dan Will Fetters, segera merampungkan naskah film. Sementara itu, Gaga mengerjakan
soundtrack-nya. “Saya menulis naskah ini untuknya, untuk ia mainkan. Saya menanyakannya banyak hal, dan ingin menyerap seluruh informasi darinya. Kisahnya benar-benar membentuk karakter Ally,” kata Cooper. “Kami berdua menjadi rapuh bersama. Saya punya banyak keyakinan terhadap daya magisnya. Adalah suatu hal yang berbeda ketika merasakannya mendahului mata Anda, baru kemudian melihatnya. Dan itu setiap hari, setiap kali syuting.”
Demi mendalami karakternya sebagai penyanyi yang tidak dikenal, Gaga menggali rasa tidak percaya dirinya sebagai aktris. “Saya tak akan pernah lupa adegan pertama yang kami di sebuah restoran Meksiko. Bradley memesan seporsi
taco dan membawanya ke meja tempat kami duduk. Ia lalu mengatakan sesuatu pada saya, tapi dialog itu sama sekali tidak ada dalam naskah. Saat itu saya tidak tahu harus berbuat apa karena saya pikir saya hanya boleh mengucapkan kalimat yang tertulis dalam naskah. Jadi, saya hanya membalasnya dengan dialek berikutnya. Melihat saya berpaku pada naskah, Bradley bertanya, ‘Apakah kamu baik-baik saja?’ lalu saya mulai menangis.” Dari pengalaman itu, Gaga belajar untuk lebih fokus pada alur cerita dan bukan sekadar naskah. Jadi, ketika merekam adegan konser, di mana masing-masing telah berpengalaman, Gaga mengaplikasi teknik serupa. “Saat kami menyanyikan
Shallow bersama di konser itu, setelah ia berlari dan menarik saya naik ke atas panggung. Saya tidak berpikir “saya belum berhasil menjadi penyanyi”. Yang seharusnya saya lakukan hanya berusaha, “saya belum berhasil menjadi aktris.”
Ketika Gaga berusia 14 tahun, ia tengah pergi belanja di sebuah butik di West Side—sambil bersenandung—kemudian pramuniaga butik itu mendekatinya dan menawarkan nomor telepon pamannya yang berprofesi sebagai pelatih vokal. Don Lawrence, yang disebut Gaga sebagai ‘pembuluh darah aorta’ dalam menghidupi kariernya, meluangkan waktu dalam agendanya untuk bekerja bersama. “Setelah itu, saya ingat suatu hari kami pernah bicara—kami kerap mengobrol selama sesi latihan vokal—dan saya bilang, ‘Saya tidak tahu bagaimana saya bisa berhasil,’” kenangnya. “Saya menemui banyak pencari bidang hiburan, mengetuk pintu setiap orang, membujuk mereka agar mendengarkan empat lagu yang saya rekam dalam kaset demo. Don mengatakan pada saya, ‘Akan ada 100 orang di dalam ruangan itu nantinya, 99 dari mereka tidak memandang Anda. Tapi yang Anda butuhkan hanya satu orang untuk percaya.’”
Lulus dari sekolah menengah atas, Gaga bergabung dalam Collaborative Arts Project 21 melalui NYU’s Tisch School of the Arts. Namun, tidak sampai satu tahun ia memutuskan keluar. “Hari itu saat saya putuskan untuk benar-benar mengatakan, ‘Maafkan ibu, ayah, dan menjadi seniman yang kelaparan di jalanan Lower East Side,” katanya. Ia bekerja di tiga tempat berbeda, salah satunya sebagai
Go Go Dancer (penari penghibur). Dulu, ia biasa menelepon kelab-kelab dan berpura-pura sebagai manajer dirinya sendiri. Ia membawa pianonya dari satu pertunjukkan ke pertunjukkan lain. Suatu waktu, selagi bermain di sebuah
jazz bar—di mana kerumunan fraternitas tak mau berhenti bicara—Gaga sampai harus melucuti pakaiannya hanya untuk menarik perhatian mereka. Pengalaman itu menjadi titik balik yang memberikannya pemahaman teknik penarik perhatian. “Saya sudah tahu bahwa dia autentik, terbuka akan ide, dan perlu asahan, seorang seniman yang mampu bernyanyi dan menulis lagu. Ia akan menjadi ancaman empat lipat,” pendapat Heather Parry yang memproduseri dokumenter tentang Gaga di Netflix dan Eksekutif Produser
A Star is Born. “Tapi satu hal yang paling berkesan tentang dirinya adalah ia seorang pebisnis yang kuat. Ia bersikap seperti bos di segala hal yang dijalankannya.”
A Star Is Born, tentu saja, adalah suatu kesegaran, gambaran anyar akan harga sebuah ketenaran—yang mana bukan cerita orisinil, tapi sangat menghibur. Kisah terbaik tentang pengalaman manusia adalah orang biasa mampu bertahan dari rintangan luar biasa—pengaruh alkohol, trauma fisik dan mental, sindrom terkenal, gempuran sistem kapitalisme. Lady Gaga adalah seniman sejati. Ia merasakan sesuatu secara mendalam. Ia berjuang menghadapi trauma atas wafatnya sang bibi di usia 19 tahun; ditambah pengalaman traumatis sebagai korban
bullying di sekolah serta pelecehan seksual; didukung cedera fisik, operasi yang menjeratnya dengan kesakitan. Tetapi, rasa sakit itu terbalaskan secara sublim.
Di salah satu adegan film dokumenternya menampilkan Gaga sedang bersiap untuk penampilan
Super Bowl, ia merasa melankolis. “Saat itu saya sangat bersemangat,” katanya, “Tapi, momen itu saya sekaligus tersadar ketika saya telah menjual 10 juta
copies album, saya kehilangan Matt (Williams, mantan pacar Lady Gaga sekaligus
stylist-nya). Saat saya telah melampui penjualan album hingga 30 juta
copies, saya kehilangan Luc (Carl, mantan pacarnya). Saya menjajal film dan Taylor (Kinney, mantan tunangannya) pergi. Keduanya seperti timbal balik. “Itu adalah kali ketiga saya patah hati dengan cara yang sama.”
Alur
A Star Is Born dibuka dengan kisah Jackson, bukan Ally, yang menarik simpati. “Bagi saya, dalam musik dan akting, saya selalu mengambil inspirasi dari pengalaman pribadi, dinamika keluarga, relasi, rasa sakit, kebahagiaan, suka cita, naik-turunnya perjalanan dalam hidup saya—bagaimana hal tersebut menciptakan ‘bola disko’ yang entah bagaimana bisa dibiaskan dan diretakkan,” katanya. “Di awal, Anda akan melihat ia menelan beberapa pil, menenggak minuman keras, naik ke atas panggung dan membius ribuan penonton hingga melodi terakhirnya, lalu masuk ke dalam limosin, seketika suasana hening—semua itu saya rasakan sebagai
performer. Saya merasakannya saat naik ke atas pentas dan harus bernyanyi, menari, dan tampil di hadapan 20.000 orang yang berteriak. Lalu, pertunjukkan selesai dan tidak ada satu pun suara terdengar. Sangat emosional.”
“Keberhasilan adalah ujian dalam suatu relasi,” katanya melanjutkan. “Sukses menguji hubungan keluarga, pertemanan. Ada harga yang harus dibayar untuk ketenaran.” Tapi ia menambahkan, “Saya tidak dapat mencipta lagu atau berakting tanpa menggunakan dan menyerap rasa sakit dalam diri saya. Maksud saya, di mana lagi tempat terbaik untuk menumpahkan seluruh kesakitan itu? Selain itu, tidak ada gunanya.”
(Foto: Doc. ELLE;
photography RUTH HOGBEN dan ANDREA GELARDIN,
styling NICOLA FORMICHETTI, TOM EEREBOUT, dan SANDRA AMADOR,
text CARINA CHOCANO)