LIFE

21 September 2022

Lizzo Bicarakan Proses Pendawasaan Meliputi Cinta dan Prahara Kehidupan


PHOTOGRAPHY BY AB + DM

Lizzo Bicarakan Proses Pendawasaan Meliputi Cinta dan Prahara Kehidupan

styling Georgia Medley & Jason Rembert; fashion Balenciaga; makeup Alexx Mayo; hair Shelby Swain; fashion assistant Grace Clarke; production Rachel Oliver

Sukses mengantongi tiga penghargaan Grammy, merilis acara televisi, dan melansir label shapewear yang revolusioner, karier Lizzo kian melejit dengan kehadiran album terbaru yang menjadi misi terbesarnya. Ia berkisah pada Kenya Hunt tentang cinta, prahara kehidupan, dan sejumlah proses pendewasaan yang telah membawanya hingga ke titik ini.


Lizzo baru saja menyalakan kamera di sesi pertemuan Zoom kami. Ia terlihat luar biasa. Rambutnya panjang dan ikal berwarna almon tua. Demikian juga dengan rona riasan matanya yang berwarna senada dengan terusan bodycon yang dikenakannya—salah satu produk dari label shapewear miliknya, Yitty. Ia duduk di dapur dengan kulitnya yang mengilap. Matahari Los Angeles bersinar menyinari wajahnya, seolah-olah ia tengah duduk di depan sebuah ring light.

Di antara jajaran penyanyi perempuan yang kerap menjadi ratu tangga lagu seperti Billie Eilish, Dua Lipa, Cardi B, Doja Cat, Olivia Rodrigo dan Megan Thee Stallion, Lizzo menjadi yang konsisten melantunkan lirik-lirik positif dalam musiknya. Ia kerap menulis lagu tentang kejanggalan sosial dan menginspirasi audiensnya yang setia—sebanyak lebih dari 37 juta (12,7 juta follower di Instagram dan 24,3 juta follower di TikTok)—untuk selalu melihat sisi baik kehidupan. Ia menjadi ‘wajah’ dari misi self- acceptance. Sosok modern dari arti aktualisasi diri.

Bahkan rekan sesama musisi, Harry Styles, pernah mengeluarkan pernyataan yang tak terlupakan, “Ia persis seperti yang Anda inginkan dari seorang seniman, yaitu menjadi diri sendiri.”

Sosok Lizzo yang Anda lihat sekarang adalah wujud dari proses perjalanan panjang, di mana evolusinya dalam bermusik melebur bersama transformasi diri pribadi. Dipenuhi momentum titik puncak dan titik rendah kehidupan, drama, rasa tidak aman, patah hati, dan pada akhirnya, kemenangan. Dengan kehadiran album terbarunya, Special, yang rilis di bulan Juli silam, segala proses pertumbuhan jati diri yang ia raih dengan susah payah kini merangkum sebuah pencapaian terbaik dalam hidupnya.

“Masa kini menjadi waktu damai buat saya, karena seluruh pekerjaan sebelum album ini dirilis tidak pernah ditujukan untuk mengejar ketenaran, tapi lebih sebagai outlet untuk menceritakan kisah saya, menemukan suara saya, hingga kemudian dapat membantu orang-orang yang mendengarnya,” ia menjelaskan. Hasrat beradvokasi ini menjadi poin pembicaraan yang kerap diutarakan Lizzo sepanjang waktu. “Beda cerita kalau tujuan saya hanya sekadar ingin sukses. Setelah itu apa? Setelah memenangkan tiga penghargaan Grammy. Lalu sekarang bagaimana? Setelah album ini diakui dan menjadi nomor satu. Lalu apa? Saya pikir kalau tujuannya hanya demikian, justru saya akan merasakan banyak tekanan. Tapi kini saya merasa damai karena bisa menceritakan kisah dan berbagi musik, hingga membantu orang lain. Dan hebatnya, saya bisa melakukan itu semua tanpa harus menjelaskan siapa saya. Saya tidak perlu lagi melakukan perkenalan resmi ‘Hai nama saya Lizzo’.”

styling Georgia Medley & Jason Rembert; fashion Aliette custom made; makeup Alexx Mayo; hair Shelby Swain; fashion assistant Grace Clarke; production Rachel Oliver

Single-nya yang bertitel About Damn Time telah menjadi anthem kebangkitan di musim panas ini— memeriahkan melodi hampir di semua pesta, festival, hingga tren TikTok yang seolah tak berkesudahan.

Perempuan bernama asli Melissa Viviane Jefferson ini membayangkan kehidupan sebagai seorang penyanyi sejak masih remaja. Ia lahir di Detroit (Taurus sun; Leo rising) dan pindah ke Houston, Texas, saat berusia 10 tahun. Di kota itu ia pertama kali bertemu dengan Beyoncé Giselle Knowles. “Tumbuh besar di Houston, Destiny’s Child memiliki dampak luar biasa hingga membuat saya memutuskan untuk menjadi seorang seniman. Kami yang tinggal di kota itu merasa sangat dekat dengan mereka, karena hampir semua orang pasti punya cerita perjumpaan, seperti ‘Saya baru saja melihat Beyoncé sedang ...’ atau ‘Saya melihat Destiny’s Child di pesta itu ...’. Cerita-cerita seperti itu membuat mereka seolah accessible. Hingga membuat saya berpikir, mungkin saya juga bisa menjadi bintang bila bekerja cukup keras dan punya orang-orang yang tepat di sekitar saya.”

“Saya sudah melihat Beyoncé sekitar 10 kali secara langsung. Dan hingga kini, ia terus memberi saya perasaan itu,” ucap Lizzo berapi-api. Satu minggu sebelum kami berbincang, Beyoncé merilis single kejutan dan mengumumkan album baru akan dirilis. “Rasa girang itu tidak pernah hilang. Karena Beyoncé tidak pernah hanya sekadar merilis musik. Pasti akan ada sesuatu yang lebih dan nyata. Pasti akan ada momen yang mengedukasi kita lewat caranya sendiri. Setiap mendengar musiknya, saya selalu berhasrat untuk bisa membuat orang merasa seperti ini. Bagaimana caranya?” Sebetulnya, Anda hanya perlu menelusuri video yang diberi tag #Lizzo di Instagram dan TikTok untuk melihat bahwa ia, sesungguhnya, telah melakukannya.

Dan namanya pun kini kian meluas dan merambah ke ranah mode, berkat label shapewear yang baru saja dilansirnya dengan penuh semangat inklusivitas, serta acara serialnya, Lizzo’s Watch Out for the Big Grrrls, yang tayang di Prime Video—reality show di mana Lizzo melakukan pencarian untuk merekrut penari latar yang memiliki tubuh curvy atau, bisa dikatakan, lebih relatable. Kedua proyek tersebut pun ‘dirayakan’ secara luas oleh audiens dunia karena menantang standar kecantikan kolot hasil cara pandang yang sempit—ini telah menjadi cita-cita besar bagi Lizzo karena memberi pengaruh besar pada kepercayaan dirinya semasa tumbuh besar dan kini ia memiliki keinginan kuat untuk dapat mengangkat para perempuan yang “dikesampingkan” karena fisik mereka yang dianggap kurang ideal.

Ketika memulai perjalanannya sebagai penyanyi dan rapper muda, ia menemukan zona nyaman dengan tampil bersama dua girl group (The Chalice dan Grrrl Prty)—ketimbang tampil dalam aksi solo karena merasa canggung dengan berat badannya. “Ya, saya punya insecurity. Hampir semua bintang yang saya lihat di panggung punya bentuk badan kurus dan berkulit terang. Tidak terlihat seperti saya, sama sekali. Tentu ada bintang seperti Missy Elliot dan Queen Latifah. Tapi mereka berdua adalah pengecualian. Sebab itu, saya selalu punya pemikiran bahwa tidak peduli sebagus apa pun sebuah lagu, orang-orang tidak akan mau mendengarnya dari saya. Jadi apabila saya memiliki orang lain bersama saya di atas panggung, maka pandangan orang-orang tidak akan terlalu fokus pada saya.”

styling Georgia Medley & Jason Rembert; fashion Gucci; makeup Alexx Mayo; hair Shelby Swain; fashion assistant Grace Clarke; production Rachel Oliver

Bagi Melissa muda, seorang bintang pop berlaku sebagai sosok pedoman bagaimana ia ingin terlihat dan dilihat oleh orang lain. Rihanna adalah idolanya. Sang diva memberi inspirasi untuk mengenakan rambut palsu tenun pertamanya. “Saya tahu orang-orang sekarang ingin terlihat seperti saya. Tapi di tahun-ahun awal saat saya merintis jalan ini, saya tidak pernah benar-benar siap untuk percaya bahwa saya diinginkan oleh orang lain. Bagi saya, menjadi seorang bintang pop itu artinya ada dua: antara orang-orang ingin menjadi seperti Anda, atau ingin ada bersama Anda. Dan saya tidak merasa memiliki dua kualitas tersebut.”

Lalu ia memutuskan untuk merubah persepsi itu. “And I did,” ujarnya tenang. Lizzo memberi pujian kepada orang-orang di sekitarnya, yang diakui memiliki andil dalam proses perubahannya. “Saat melakukan aksi ‘fake it till you make it’, saya mulai berkenalan dan berteman dengan orang-orang yang menganggap saya cantik.” Salah satunya adalah sahabatnya semasa di Minneapolis, kota yang pernah ia tinggali untuk mengejar karier menyanyi. “Sahabat saya benar-benar melihat saya sebagai perempuan cantik dan mengucapkannya dengan lantang hingga saya memercayainya.” Seketika Lizzo berhenti berpura-pura. “Saya seperti menyadari kalau kecantikan saya nyata. Dan ternyata itu hal yang penting. Karena Anda mulai menarik orang-orang yang melihat Anda seperti Anda melihat diri sendiri.”

Saat kami tengah berbincang, ibunya, Shari Johnson-Jefferson, masuk ke dalam ruangan. Ayahnya, Michael Jefferson, telah meninggal tahun 2009 silam. Di bulan Juni lalu, Shari memperkenalkan anak perempuannya dalam sebuah penampilan cameo khusus saat Lizzo menjadi pembawa acara untuk Saturday Night Live. “Kami sangat dekat,” ujar Lizzo. “Tapi saya tidak bisa bertemu dengannya sesering yang saya rencanakan.”

Sedangkan dalam hubungan asmara, aktor Myke Wright dan Lizzo membuat hubungan mereka “Instagram official” saat ia memposting foto mereka bersama di atas pink carpet dalam acara pemutaran perdana serial Watch Out for the Big Grrrls.

Lizzo mengakui bahwa cara berpikirnya telah berkembang jauh dalam hubungannya dengan media sosial. Tumbuh di generasi sebelum munculnya Facebook, Twitter, dan Instagram (ia berusia 34 tahun) amat sangat membantu. “Saya rasa saya punya hubungan sehat dengan cara saya memandang dunia digital. Saya lahir sebelum media sosial ada di mana- mana; sebelum itu menjadi sumber berita; sebelum itu menjadi kewajiban ataupun kebutuhan dalam karier Anda. Saya tumbuh tepat sebelum media sosial bisa melecehkan Anda di sekolah dan bisa membuat Anda diintimidasi oleh seisi kelas.”

styling Georgia Medley & Jason Rembert; fashion Gucci (gaun), Christian Louboutin (sepatu saandal platform); makeup Alexx Mayo; hair Shelby Swain; fashion assistant Grace Clarke; production Rachel Oliver

Musim panas silam, ia sempat menjadi berita utama ketika tayang di Instagram Live untuk menanggapi—dengan bercucuran air mata—komentar rasis dan fobia kegemukan yang ia terima setelah meluncurkan kolaborasi dengan Cardi B di single Rumors. “Saya mencurahkan begitu banyak energi penuh cinta ke dunia... dan terkadang saya merasa dunia tidak membalas cinta saya,” katanya saat itu sambil menyeka air mata. “Tidak peduli berapa banyaknya energi positif yang Anda berikan ke dunia, Anda masih akan memiliki orang-orang yang mengatakan hal-hal negatif tentang Anda.”

Namun hari ini, pandangannya jauh lebih tegas. “Saya tidak butuh media sosial, media sosial butuh saya. Kini saya tidak perlu lagi menjelajah internet untuk mencari hal yang membuat saya merasa lebih baik. Saya punya terapis. Saya punya teman-teman terbaik. Saya punya tim luar biasa yang ada di sekitar saya. Saya punya cinta.”

Ia menggambarkan pendekatannya ke media sosial saat ini sama seperti misi yang ia lakukan pada musik. “Ada jutaan orang yang sedang melewati apa yang saya alami. Orang-orang yang tidak memiliki outlet untuk menumpahkan isi hati, yang tidak memiliki pendukung, yang tidak memiliki kebebasan finansial atau akses untuk melakukan sesuatu yang dapat membantu membuat diri merasa lebih baik. Kalau saya punya kesempatan untuk memberi ‘cheat code’ pada orang lain demi mereka dapat merasa jauh lebih baik, saya pasti akan melakukannya.”

Sekarang, feed Instagram-nya juga berlaku sebagai etalase toko yang sangat efektif untuk Yitty—yang ia harap akan membantu industri mode menjadi ruang yang lebih ramah bagi perempuan bertubuh besar. Berkisah tentang sesi pemotretan atau syuting, ia punya terlalu banyak pengalaman buruk dengan busana-busana yang mengacu pada ukuran sampel yang cenderung kecil. Dengan Yitty, ia berharap untuk dapat ‘menormalkan’ sistem di mana pakaian dirancang dengan mempertimbangkan ukuran tubuh yang lebih besar, ketimbang merombak dan memperbesar baju ukuran enam. Kami berbagi frustasi yang sama terkait busana dalam pengalaman memproduksi sesi pemotretan dengan model bertubuh curvy, yang mana disolusikan dengan menggunakan busana-busana custom-made yang tidak dapat ditemukan di toko. “Saya melewati banyak sesi pemotretan dengan orang-orang yang membuatkan pakaian dari nol hanya untuk saya. Marah? Sama sekali tidak. Saya justru berterima kasih. Tapi bagaimana dengan jutaan orang lain yang memiliki tubuh seukuran saya atau bahkan lebih besar, dan tidak punya akses untuk mendapatkan busana yang chic dan glamor? Saya ingin membuka pintu akses tersebut. Saya ingin kesempatan ini jadi milik semua orang.” Maka ia pun memutuskan untuk memulainya dengan memproduksi shapewear (busana ini pun sedang booming lewat banyaknya label baru yang dipimpin oleh perempuan yang menciptakan pakaian dalam untuk semua bentuk dan ukuran seperti Skims oleh Kim Kardashian hingga Heist yang mengobarkan semangat feminisme).

styling Georgia Medley & Jason Rembert; fashion Di Petza (busana), Acne Studios (sepatu sandal); makeup Alexx Mayo; hair Shelby Swain; fashion assistant Grace Clarke; production Rachel Oliver; photo via Instagram.com/@elleuk

Bagi Lizzo, Yitty lebih besar dari sekadar bisnis. Ini lebih personal. “Karena makna shapewear itu sendiri lebih dari pakaian apa pun. Shapewear dapat membuat orang merasa berbeda tentang tubuh mereka dan saya ingin bisa merevolusi pakaian dalam ini. Saya tidak ingin orang harus berurusan dengan korset lagi dalam hidup mereka,” katanya.

Berbicara tentang musik Lizzo artinya membahas juga tentang komitmennya terhadap advokasi. Irama musiknya yang ringan dan menyenangkan memang kerap menipu, karena sesungguhnya ada arus radikal dan semangat membara yang mengalir lewat alunan nada ceria. Seperti album barunya, Special, yang direkam di rumahnya di Los Angeles selama lockdown. Lagu-lagu yang mengisi album tersebut dipilih secara seksama dari ratusan yang ada. “Saya hanya memasukkan lagu-lagu yang dapat membantu orang selamanya.” Ia membahas tentang keadilan sosial (hak-hak orang kulit hitam), perubahan iklim, pertumbuhan populasi, hingga kesehatan mental.

Diam di rumah selama tahun 2020, ia menemukan penghiburan dalam pembuatan musik. “Namun sulit bagi saya untuk menemukan makna menjadi seorang entertainer, sementara orang-orang tengah sekarat. Ketika lockdown usai, bukan berarti kita sudah keluar dari perjuangan mempertahankan kesehatan mental. Album ini diciptakan sebagai soundtrack untuk bertahan hidup.” Musik Lizzo sarat akan melodi optimis dan senantiasa mengajak untuk menari. Tapi liriknya memiliki kedalaman dan kejujuran yang sepertinya diambil dari sesi terapi konsultasi. “Semua lagu saya memberi bahasa bagi orang-orang untuk mengekspresikan diri mereka.”

“Saya menghabiskan waktu bertahun-tahun terselubung rasa malu dan insecure. Butuh banyak usaha bagi saya untuk merasa layak berada di tempat saya sekarang; merasa layak menjadi kekuatan yang diperhitungkan,” ucapnya. Dan sekarang ia berada di sana, bertekad untuk membawa seluruh perempuan dunia bersamanya. It’s about damn time!