24 April 2025
Paham Pilihan Seseorang atau Pasangan Untuk Hidup 'Childfee'

text by Indah Ariani; (photography: Lee Ju Won photograph by Yoon Song Yi for ELLE Indonesia November 2024; styling Son Da Yea)
Setelah menikah, beberapa bulan dan bertahuntahun kemudian, pasti akan selalu terlontar pertanyaan lanjutan bagi hampir setiap pasangan. “Sudah isi belum?”, “Sudah ada momongan berapa?”, “Kapan kasih adik buat si kakak?”, “Kok belum tambah anak lagi, kan masih muda?” dan berbagai pertanyaan lain yang merujuk pada rasa penasaran sang penanya akan hadirnya anak dalam rumah tangga orang yang ditanya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti telah menjadi hal yang amat lazim dan sah diujarkan. Telah menjadi lazim pula bagi yang mendapat pertanyaan tersebut untuk menanggapinya dengan senyuman gembira. Padahal, seiring perkembangan zaman dan meningkatnya kesadaran atas hak personal, tak semua pasangan atau orangtua mereka masih berkenan mendapat pertanyaan demikian. Apalagi saat ini, tak semua pasangan menikah menyertakan “memiliki anak” dalam daftar tujuan pernikahan mereka.
Dalam katalog “Cerita Data Statistik Indonesia” yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) pada akhir 2023 silam, terdapat sebuah laporan berjudul “Menyusuri Jejak Childfree di Indonesia” yang menyebutkan bahwa berdasarkan data yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2022, tercatat prevalensi perempuan yang childfree mencapai 8% yang bila dihitung dalam cacah jiwa jumlahnya hampir setara dengan 71 ribu orang. Dalam laporan yang sama juga diperkirakan bahwa jumlah tersebut, memiliki kecenderungan untuk meningkat di tahun-tahun berikutnya.
Di Indonesia, fenomena childfree ini mulai ramai dibicarakan setelah seorang pemengaruh (influencer) bernama Gita Savitri Devi menyinggung soal ini kala membuat Instagram Live bersama suaminya, Paulus Andreas Partohap pada sekitar awal Februari 2023 silam. Gita, yang bersama suaminya telah bersepakat menjalani pernikahan tanpa anak ini sempat menyatakan pendapatnya tentang kehadiran anak dalam rumah tangga. Ia menilai, kehidupan tanpa anak akan dapat membuat pasangan suami istri lebih awet muda secara alami. Ia juga memiliki pandangan yang berbeda tentang keyakinan yang selalu mengatakan bahwa anak merupakan anugerah dalam sebuah keluarga. Menurutnya, anak tak selalu bisa dianggap sebagai anugerah, karena barangkali, bagi sebagian orang, termasuk dirinya, anak bisa saja merupakan beban yang tak ingin dipilih untuk dimiliki. Hal itu yang membuatnya memilih untuk tidak memiliki anak.
Hedvig Palm & Ty Olson (Next) photography by Alessandro Burzigotti for ELLE April 2023; styling Micaela Sessa; makeup Giovanni Iovine; hair Simone Prusso.
4 Alasan Individu Pasangan Memutuskan Childfree
Pernyataan tersebut kemudian viral dan mendapat reaksi beragam dari netizen di dunia maya. Sebagian besar tak setuju dan bersama-sama menyudutkan pernyataan Gita. Kontroversi yang tak kunjung usai membuat sebuah acara bincang-bincang di sebuah televisi swasta mengundang Gita untuk bicara dan membuat perbincangan tentang childfree ini terus bergulir. Kala itu, pemikir dan aktivis perempuan Neng Dara Affiah yang sempat menonton perbincangan Gita di televisi itu juga turut urun saran dan memberi perspektif yang lebih berimbang.
Secara khusus, Neng Dara membuat sebuah ulasan terkait childfree yang disertakan menjadi salah satu bab dalam bukunya, “Kemanusiaan dan Pembaruan Masyarakat Muslim Indonesia, yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia pada November 2023. Dalam tulisan berjudul Childfree: Argumen, Praktik dan Perdebatan Tentangnya di buku tersebut, Neng menyampaikan empat alasan yang ia sarikan dari banyak pernyataan yang mendukung keputusan banyak pasangan untuk tidak memiliki anak.
Pertama adalah pendapat yang menilai bahwa memiliki anak di Bumi yang telah disesaki begitu banyak manusia ini amat membutuhkan persiapan mental dan ekonomi yang kuat karena memiliki anak akan menjadi tanggung jawab seumur hidup dari orangtua.
Kedua, munculnya kesadaran bahwa perkara melahirkan merupakan persoalan tubuh perempuan. Karenanya, perempuan merupakan pihak paling utama yang harus ditanyakan dalam keputusan untuk merencanakan kehamilan. Ketiga, menurut Neng, ada banyak orang yang mengalami trauma menjadi anak dari keluarga tidak harmonis dan karenanya mereka memilih untuk tidak memiliki anak karena khawatir akan mewariskan trauma yang sama.
Keempat, dengan intensitas keterlibatan perempuan dalam dunia kerja dan ranah publik, ada banyak perempuan yang kemudian memilih untuk berfokus pada aktualisasi diri mereka dalam karier dan menjadi mandiri secara finansial tanpa harus berbagi perhatian pada hal-hal domestik yang mungkin muncul bilamana mereka menikah dan memiliki anak.
Hedvig Palm & Ty Olson (Next) photography by Alessandro Burzigotti for ELLE April 2023; styling Micaela Sessa; makeup Giovanni Iovine; hair Simone Prusso.
Bukan Fenomena Baru
Sebenarnya, pilihan untuk tidak memiliki anak dalam pernikahan bukan sesuatu yang baru. Keputusan dan pilihan ini telah diambil serta dipraktikkan oleh banyak pasangan, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain sejak lama.
Penulis Ayu Utami salah satunya. Tidak memiliki anak telah menjadi pilihannya sejak pertengahan usia ‘20-an tahun pada awal dekade ‘90-an. Ide tersebut kemudian menjadi keputusan yang disepakati bersama dengan suaminya, fotografer Erik Prasetya saat mereka menikah pada 2011 silam. “Ketika saya memilih untuk tidak punya anak, konsep “childfree” belum ada. Jadi, konsep saya tampaknya lain dengan konsep “childfree” yang sekarang ini,” ujar Ayu.
Menurutnya, kebebasan bukan menjadi persoalan mendasar yang ia maknai dari kata “childfree”. “Tapi justru suatu kebersamaan. Sekali lagi, alasannya bukanlah kebebasan individu, tetapi keseimbangan bersama. Kira-kira di usia dua puluhan saya merasa Indonesia sudah terlalu penuh, penduduknya terlalu banyak, sementara sumber daya semakin sedikit. Jika dibiarkan terus-menerus, akan terjadi kelangkaan dan perebutan. Yang kuat akan menang, yang lemah semakin tersingkir. Itulah yang menjadi alasan,” katanya. Ayu mengatakan, ia tidak ingin melahirkan anak yang harus bersaing hingga menyingkirkan sesamanya dalam perebutan sumber daya. “Sekarang saya melihat generasi baru harus bersaing lebih keras memperebutkan udara yang baik, makanan yang baik, pekerjaan yang baik, tempat tinggal yang baik. Jadi, sekali lagi, konsep saya bukan menekankan kebebasan individu, tapi keseimbangan bersama. Saya ingin menyumbang dalam keseimbangan bersama, yaitu dengan mengurangi jumlah penduduk,” jelasnya.
Memahami keinginan dan pemikiran pribadi, merupakan hal paling mendasar sebelum keputusan untuk tidak memiliki anak diambil. Hal tersebut tak hanya ditunjukkan oleh Ayu, tapi juga oleh Stephanie Soewono, Vice President of Marketing and Communication sebuah brand fashion internasional di Indonesia. “Pertimbangan menuju keputusan untuk childfree pasti banyak dan dari berbagai sisi, karena ini merupakan keputusan besar dalam hidup, tapi menurut saya, hal yang paling mendasar harus kembali kepada pertanyaan tentang apa yang kita mau di hidup ini,” katanya.
Lily Sumner (Next Models) photography by Steff Galea for ELLE Indonesia October 2023; styling Aurelia Donaldson; makeup Anna Payne; hair Yoshitaka Miyazaki; set design Phoebe Shakespeare.
Menurut Stephanie, kejujuran terhadap diri sendiri atas apa yang diinginkan dalam hidup, terlepas dari berbagai nilai yang berlaku dalam masyarakat, merupakan hal utama yang harus dijawab. “Saya menyadari sejak kuliah, pemikiran untuk memiliki anak tidak membuat saya menjadi excited, kemudian setelah saya mulai berpacaran dan memikirkan pernikahan, saya juga masih belum memiliki keinginan untuk menikah demi mempunyai anak, tapi saya memang ingin memiliki pasangan yang bisa berkembang bersama dan memiliki visi yang sama dengan saya dalam memandang hidup, termasuk untuk mencapai tujuan hidup kami. Ketika saya kembali kepada pertanyaan apa yang saya mau dalam hidup ini, semakin terjawab jelas bahwa memiliki anak bukan hal yang ingin saya lakukan di hidup saya yang hanya sekali ini, jadi untuk apa memaksakan hal yang tidak akan membuat saya lebih bahagia dalam menjalani hidup saya dan juga hidup anak saya nantinya? Bukankah itu lebih selfish?” katanya.
Sebuah hasil penelitian dari buku The Great Disruption Human Nature and the Reconstitution of Social Order yang ditulis Francis Fukuyama pada 1999 dan dikutip oleh Neng Dara dalam tulisannya menyebutkan bahwa membangun keluarga dan memiliki anak telah cukup lama dianggap sebagai praktik hidup yang ketinggalan zaman oleh banyak orang Eropa dan Amerika. Hal ini muncul, antara lain karena makin besarnya peran perempuan dalam ranah publik sehingga peran sebagai ibu, di mana di dalamnya termasuk melahirkan dan membesarkan anak-anak, tidak lagi menjadi satu-satunya pilihan yang dapat diambil oleh seorang perempuan dalam hidupnya.
Dalam berbagai keputusan untuk tidak memiliki anak yang diambil oleh setiap pasangan, akan selalu ada alasan spesifik yang tidak dapat digeneralisasi. Namun, menurut Neng Dara, perihal memiliki anak yang menyangkut tubuh perempuan, sebenarnya merupakan keputusan yang harus dibuat dengan penuh kesadaran oleh seorang perempuan. Menurut Neng, perempuan harus menjadi pihak pertama yang ditanyai apakah ia ingin memiliki anak atau tidak, juga berapa banyak anak yang berkenan ia lahirkan. “Perempuan adalah makhluk bernyawa yang mempunyai pikiran dan perasaan. Ia harus berdaulat atas tubuhnya sendiri,” Neng menuliskan.
Serena Motola photography by Park Jong Ha for ELLE Indonesia March 2024; styling Kim Myeong Min; makeup Ihwang Huijung; hair Jang Hye Yeon; set design Muin Hong Joo.
Keputusan yang harus dihormati
Pilihan untuk tidak memiliki anak adakalanya memang perlu disampaikan secara terbuka untuk memberi pemahaman pada orang lain bahwa tidak memiliki anak juga merupakan opsi yang dapat dipilih oleh pasangan menikah. Baik Ayu maupun Stephanie mengatakan bahwa mereka tak pernah ragu menyatakan pilihannya bila mendapat pertanyaan tentang anak. “Pada awalnya mungkin ibu saya agak sedih. Tapi, tidak terlalu. Dalam keluarga kami ada beberapa bibi dan paman yang tidak menikah. Jadi, biasa saja. Kedua, dalam tradisi Katolik, tidak menikah dan tidak punya anak itu juga biasa saja. Kan para suster, bruder, dan imam hidup selibat (tidak menikah). Hanya, dalam konsep ibu saya, kalau memutuskan tidak menikah dan tidak punya anak, alangkah lebih baik jadi rohaniwan, hahaha,” cerita Ayu.
Ia mengatakan, dirinya akan secara lugas menyampaikan alasannya memilih tidak memiliki anak. “Ya saya katakan terus terang, bahwa Indonesia perlu menurunkan jumlah penduduk. Saya suka bilang pada teman yang punya anak banyak: “Saya ini menghemat jatah anak, tapi kamu memboroskannya,” kata Ayu. Namun ia sama sekali tidak pernah merasa diri paling benar. “Saya melakukan apa yang saya bisa lakukan untuk kebaikan pribadi dan bersama. Saya selalu menimbang dari waktu ke waktu, dan sejauh ini saya merasa mengambil keputusan yang benar untuk diri saya sendiri,” katanya.
Stephanie juga biasa menanggapi dengan cukup santai berbagai respon cenderung negatif yang kerap ia terima terkait pilihannya. “Saya tahu bahwa sangat manusiawi untuk orang mempertanyakan hal-hal yang tidak sejalan dengan pilihan mereka, atau tidak umum terjadi di masyarakat. Kalau ada yang mempertanyakan dengan detail, akan saya jawab secara detail dan memberikan logika yang masuk akal juga. Untuk yang hanya mempertanyakan sekilas, maka saya akan jawab seperlunya juga,” kata Stephanie.
Demikian pula halnya Ayu yang sangat menakzimi fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang akan selalu hidup bersama-sama. Ia juga mafhum bahwa tak ada satu konten nilai atau pilihan yang paling benar di segala zaman. “Yang paling penting adalah menjaga keseimbangan. Kalau masyarakat tergila-gila pada perkawinan dan punya anak sehingga mulai kelihatan ada ketidakseimbangan dan kelangkaan, harus mulai ada yang menyeimbangkan, antara lain dengan tidak punya anak. Tapi putusan tidak punya anak juga tak selamanya bagus. Di Jepang, misalnya, mulai terjadi penurunan jumlah penduduk sehingga jika dibiarkan mungkin bangsa itu bisa punah. Dalam situasi demikian, manusia harus melahirkan anak-anak lagi,” ujarnya.
Lee Ju Won photograph by Yoon Song Yi for ELLE Indonesia November 2024; styling Son Da Yea.
Menurut Ayu, dirinya tak begitu setuju dengan konsep “childfree” jika hanya mengutamakan kebebasan pribadi. Sebab baginya, hal yang lebih penting adalah menjaga keseimbangan. “Bukan keseimbangan dalam arti harmoni di mana tidak ada pertentangan. Dalam konsep “rasa” yang saya kembangkan, justru keseimbangan itu terjadi dari penyatuan pertentangan tanpa menghilangkan pertentangan. Jadi, saya tidak suka istilah “childfree”. Yang lebih perlu adalah pertama, menjaga keseimbangan, kedua, melawan dogma-dogma dan nilai-nilai yang memaksa dan ketiga, melawan status-status yang diamdiam juga menguasai kita. Istilah “childfree” itu mungkin bisa dipahami karena masalah pada poin kedua dan ketiga, yaitu, masyarakat masih memaksakan norma-norma agama yang mengharuskan nikah dan berketurunan, juga merendahkan orang yang dianggap tidak mencapai status sebagai manusia sukses yang berkeluarga dan berketurunan. Tapi, kita sebaiknya tidak terus-terus melawan dogma dengan dogma baru. Karena itu, yang lebih penting diingat adalah bahwa kita hidup bersamasama. Dalam kebersamaan itu jangan ada yang disingkirkan karena nilai maupun karena kelangkaan,” katanya.
Stephanie juga berharap, anggapan atau stigma menyudutkan yang kerap dilekatkan pada orang-orang yang memilih untuk menerapkan childfree dalam pernikahannya sebagai orang-orang yang tidak bahagia dan kesepian tapi melakukan penyangkalan. “Truthfully, we’re not. Karena itu kami tidak sibuk memberikan judgement terhadap orang yang memilih untuk memiliki anak, karena we’re busy enjoying our life dan memang benar merasa bersyukur karena bisa menjalankan tipe kehidupan yang kami inginkan,” Stephanie menegaskan.
Dalam dunia yang terus berkembang dan berubah seperti dunia yang kita miliki saat ini, menjaga keseimbangan memang merupakan hal utama yang perlu dipikirkan dan diterapkan secara sadar bersama-sama. Saling memahami dan tidak mudah menghakimi pilihan orang lain yang berbeda dengan kelaziman yang berlaku dalam masyarakat juga perlu terus diupayakan. Penghargaan atas hak setiap individu untuk memilih keputusan yang terbaik bagi dirinya, menurut Neng Dara juga harus terus coba dilakukan, dan dijadikan kebiasaan. Karena setiap manusia, memiliki nilai dan praktik yang berbeda terkait kebahagiaan yang ingin dicapai dan wujudkan. Tidak menghakimi dan memberikan penilaian buruk pada orang-orang yang memilih tidak memiliki anak merupakan salah satunya. “Para pembuat keputusan itu lebih mengetahui tentang dirinya dan prioritas yang ingin dijalani dan ditumbuhkan dalam mengisi kebahagiaan hidupnya,” jelas Neng Dara.
Nyatanya, mempunyai anak dan menjadi orangtua, memang merupakan salah satu aspek dan fungsi dari begitu banyak aspek dan fungsi lain yang bisa dipilih dan dijalani oleh seorang manusia dalam hidupnya. Pilihan untuk tidak memiliki anak dan tak menjadi orangtua bagi anak-anaknya, tak lantas akan menjadi penghambat apalagi menjadi penghalang seorang manusia menemukan aspek dan fungsi terbaik dalam hidup yang dapat ia persembahkan bagi kemanusiaan. Cinta kasih akan selalu menemukan jalan untuk dicurahkan. Maka, siapa kita hingga merasa pantas menghakimi sesama manusia hanya karena pilihannya menemukan kebaikan dan kebahagiaan tanpa kehadiran anak dalam hidupnya? Tampaknya, sudah saatnya kita mulai membangun pemahaman baru yang lebih ramah dan penuh pengertian serta penghargaan atas pilihan hidup orang lain.