7 Januari 2021
Ramengvrl Menegaskan Eksistensi Jati Diri

Ramengvrl sudah siap saat saya menemuinya di kamar hotel tempat ia beristirahat usai pemotretan bersama ELLE yang melibatkan rangkaian aksi berendam, dengan buah lemon. Ia telah berganti pakaian mengenakan atasan tanpa lengan dipadu jeans. Tidak ada kalung rantai, anting ekstra besar, dan jaket bulu Ca$hmere (baca: single non-album miliknya yang memenangkan penghargaan Anugerah Musik Indonesia 2019 sebagai Karya Produksi Rap/Hip Hop Terbaik). Ia juga melepas kacamata, yang jadi ciri khasnya di setiap video musik, dan duduk bersantai.
Satu minggu sebelum janji temu, ia disibukkan oleh perilisan album studio perdananya yang bertajuk Can’t Speak English. Lima hari mengudara di Spotify, debut album solonya telah diputar lebih dari satu juta kali dan angkanya terus meningkat, seiring keberhasilan lagu Look At Me Now mengisi serangkaian playlist populer di berbagai platform musik digital. Kami duduk di sofa panjang—dalam jarak aman untuk saling menjaga kesehatan— membicarakan kisah kesuksesan Ramengvrl.

Ramengvrl, yang lahir tahun 1992 dengan nama asli Putri Estiani, beberapa kali mencoba merekam lagu, bahkan ia unggah ke platform distribusi suara online. Namun rekaman ala rumahan itu ia anggap tidak lebih dari sekadar eksperimen bakat tanpa berambisi tinggi. Usai menamatkan kuliah Komunikasi Media dan meraih gelar Sarjana dari Universitas Indonesia di tahun 2014, Putche (begitu Ramengvrl biasa dipanggil oleh teman-temannya) memilih bekerja kantoran di perusahaan e-commerce. “Saya berpikir realistis saat itu karena tidak memiliki uang,” katanya terbahak. Ekspresinya pulih, “Dan saya ingin hidup mandiri, melepas ketergantungan dari orangtua.”
Karier sebagai pegawai kantoran ditempuh Putche; selama 2,5 tahun. “Saya merasa gelisah setiap duduk di kantor, hingga dilanda stres berat,” ceritanya. Padahal, posisinya saat itu telah memberikannya kemapanan finansial. Pada satu titik, ia mulai mempertanyakan kualitas hidupnya. “Bukankah uang diciptakan untuk membuat Anda lebih bahagia? Tetapi mengapa saya tidak merasa bahagia? Saya tidak menemukan kecocokan dalam konsep tersebut,” kata Putche. Maka, tanpa menengok ke belakang, ia meninggalkan zona nyaman. Plannya mutlak, untuk melakukan apa yang membuatnya bahagia.

Rencana itu ialah bermusik, di mana ia menemukan pembebasan setiap kali terikat penat kehidupan. Kesempatannya datang lewat seseorang dari kolektif hip hop di Jakarta (Underground Bizniz Club) yang membantunya meluncurkan I’m Da Man, single pertama yang menandai keseriusannya bermusik bukan sekadar ‘rekaman rumahan’ di tahun 2016. Lirik blak-blakan—yang untuk sebagian masyarakat dirasa vulgar—dilafalkan dengan tempo cepat segera mengantarkan Ramengvrl menuai reputasi. Publik pun terpukau oleh suaranya yang dipandang melantangkan nilai feminis.
“Sejujurnya, saya tidak secara sengaja menulis lagu-lagu dengan feminisme. Saya hanya membicarakan sesuatu yang yang saya pahami yaitu kerja keras dan pembuktian diri,” katanya sungkan untuk dipandang demikian. “Saya mendukung sepenuhnya kesetaraan gender. Namun rasanya ada orang lain yang lebih berhak mendapat julukan feminis.” Tetapi kenyataannya, Ramengvrl memang berada di ranah yang dominan figur laki-laki. “Saya tidak merasa terintimidasi. Buat saya gender tidak mematok kredibilitas Anda,” jawabnya tegas ketika saya bertanya bagaimana ia memosisikan diri.
Kehadiran Ramengvrl selayaknya pelangi yang mewarnai industri musik Indonesia. Pada tahun-tahun berikutnya, kita menemukan sang rapper populer sebagai kolaborator musisi-musisi papan atas seperti RAN, Dipha Barus, hingga Afgan. Namun, butuh waktu lebih dari tiga tahun—setelah tujuh single dan mixtape berjudul No Bethany—untuk Ramengvrl akhirnya merilis Cant’t Speak English di November silam. “I was an outsider entering a new world. Saya mencari jalan sendiri di industri musik, menentukan arah tujuan, serta melakukan segala upaya untuk mencapainya,” ujar nominator Pendatang Baru Terbaik di Anugerah Musik Indonesia (2018).
Fase awal merintis karier musik menjadi periode krusial, di mana ia sempat terbawa oleh selera pasar hingga krisis identitas. “Saya menciptakan lagu-lagu banger dengan rap supercepat, karena itu yang orang harapkan. Padahal, tujuan saya bukan ingin menjadi rapper tercepat,” kisahnya. Dunia memang dapat menjadi tempat penghakiman, namun sulit bagi saya membayangkan sosoknya yang begitu penuh percaya diri terbelenggu arusnya. “Saya memiliki kecenderungan inferiority complex sejak kecil.” Wajahnya serius saat menceritakan realitas kesenjangan sosial di lingkungan keluarga besar menjadi penyebab psikisnya tumbuh sebagai individu inferior. Saya menyimak. “Waktu kecil dulu saya tidak terlalu jelas memahaminya seperti sekarang, tapi cukup untuk membuat saya merasa ‘kecil’. Saya sering kali memandang rendah diri sendiri hanya karena agar orang tidak menaruh harapan tinggi pada saya, ” kisahnya.
Seiring transformasi kehidupannya, Ramengvrl menyadari bagaimana kebiasaan tersebut, membuat ia tidak menghargai diri sendiri. Ketika menggarap Can’t Speak English di bawah naungan label Empire yang berbasis di Amerika Serikat, ia membangun pemahaman matang akan sebuah jati diri. “Because people always going to talk sh*t about you, along the way. But when you keep doing what you do, and you keep believing in it, eventually you’ll get somewhere. And you will prove them wrong,” pungkasnya dengan pelafalan supercepat hingga saya merasa seperti mendengar sebuah irama.