LIFE

9 Desember 2025

Shenina Cinnamon di Antara Keberanian dan Ritme Baru


PHOTOGRAPHY BY VICKY TANZIL

Shenina Cinnamon di Antara Keberanian dan Ritme Baru

Photography VICKY TANZIL styling ALIA HUSIN makeup ADITYA VAGUESKIN hair KRISTALIANTI

Ada cahaya yang berbeda dalam cara Shenina Cinnamon kini menatap dunia: lembut, tapi tegas. Penuh ketenangan, tapi menyimpan kedalaman. Barangkali begitulah wajah perempuan yang tengah menemukan keseimbangannya: tumbuh sebagai aktor yang terus berevolusi, sekaligus manusia yang perlahan mengenali dan memahami arti bahagia dan tenang dalam hidupnya.

    Perjalanan Shenina tidak pernah tentang kebetulan. Ia datang ke dunia akting dengan rasa ingin tahu yang besar dan keinginan untuk selalu mencoba hal baru. Lahir pada 1 Februari 1999, Shenina Syawalita Cinnamon mulai dikenal publik lewat perannya sebagai Yasmin dalam serial Roman Picisan (2017)—debut kecil yang membuka jalan panjang menuju layar lebar. Dari situ, ia perlahan membangun reputasi sebagai aktor muda yang berani mengeksplorasi karakter, dari Tumbal: The Ritual (2018), Rompis, hingga Ratu Ilmu Hitam (2019) yang menandai kematangannya dalam genre horor. “Saya selalu bersyukur,” ujarnya perlahan. “Mungkin kalau saya tipikal orang yang cepat menyerah, saya tidak akan sampai di titik ini. Saya selalu ingin belajar, selalu ingin mencoba hal baru.”

    Ia tak pernah terburu-buru mencari sorotan; justru sebaliknya, ia membiarkan setiap peran berbicara pelan, tapi pasti, tentang perjalanan menjadi manusia yang utuh. Shenina tidak tumbuh dari sensasi, melainkan dari kedalaman yang ia hadirkan dengan kesadaran. Film-film setelahnya memperlihatkan keberanian Shenina menelusuri emosi manusia yang paling sunyi, dari rasa kehilangan hingga pencarian makna: Say I Love You, Hanya Manusia, hingga Di Bawah Umur memperlihatkan keberanian Shenina menyentuh isu sosial dan emosi remaja dengan intensitas yang natural. Tahun 2021 menjadi tonggak penting dalam kariernya—melalui Penyalin Cahaya, ia bukan hanya mencuri perhatian publik dan kritikus, tapi juga mengantarkannya pada nominasi Piala Citra untuk Pemeran Utama Perempuan Terbaik di Festival Film Indonesia. Sejak itu, namanya menjadi bagian dari generasi baru perfilman Indonesia yang tumbuh bukan dari kebetulan, tapi dari kesadaran artistik yang dalam.


    Proses panjang itu membawanya pada Dopamin, film terbarunya yang terasa personal bukan hanya karena ceritanya, tapi karena proyek ini mempertemukannya kembali, dalam cara yang baru, dengan Angga Yunanda. Bukan lagi sebagai rekan seprofesi, melainkan suami. “Yang bikin saya tertarik pertama kali justru karena Mas Teddy Soeria Atmadja yang menulis dan menyutradarai,” katanya dengan antusias. “Saya a big fan of him sejak lama. Karya-karyanya selalu jujur dan indah, dan waktu tahu saya ditawari film yang beliau arahkan, saya langsung mau.”

    Namun di balik kekaguman profesional itu, Dopamin menjadi ruang reflektif yang lebih personal. Ini adalah film pertama mereka setelah menikah—titik di mana hidup dan karya Shenina bertemu dalam satu kesadaran emosional. “Awalnya saya deg-degan juga,” akunya sambil tersenyum. “Tapi ternyata malah mempermudah banget. Karena kita sudah tahu satu sama lain, instingnya sudah menyatu. Jadi di set, semuanya terasa natural.” Dalam film tersebut, Shenina berperan sebagai Alia, perempuan yang berjuang menjaga cinta dan kewarasan di tengah tekanan batin. Bersama Angga yang memerankan Malik, Shenina membangun dinamika pasangan muda yang belajar menghadapi krisis emosional dan bertahan dalam badai kehidupan. “Saya bisa relate banget,” katanya pelan. “Karena di kehidupan nyata pun saya baru menikah. Jadi pola pikir Alia dan saya mirip: bagaimana caranya kita tetap bareng-bareng melewati semuanya.”


    Bagi Shenina, Dopamin bukan hanya film romantis, melainkan refleksi tentang kebersamaan dan ketahanan cinta. “Ada satu dialog di film ini yang saya suka banget,” ujarnya. “‘Apa pun yang terjadi, jangan pernah tinggalin aku ya.’ Itu tuh ngena banget, karena saya percaya kalau dalam pernikahan, segalanya harus diselesaikan bareng-bareng. Jangan pernah ninggalin satu sama lain.” Dan justru di antara ruang-ruang kecil itulah, cinta mereka tumbuh lebih matang. “Kita bahkan pillow talk-nya bahas script,” ujarnya sambil tertawa. “Tapi bukan yang mengganggu quality time, justru menyenangkan karena kami menikmati prosesnya bareng-bareng.” Meski banyak yang melihatnya dan Angga sebagai pasangan ideal, Shenina tidak membiarkan label itu menekan. “Saya malah mengaminkan,” ujarnya sambil tersenyum. “Selama itu positif, kenapa enggak? Tapi saya dan Angga tidak pernah bikin apa pun buat kelihatan sempurna. Kita cuma menjadi diri kita sendiri. Kalau itu bisa menginspirasi orang lain, ya alhamdulillah.”

    Itu pula yang membuat film terbaru mereka, Dopamin, terasa personal. Dalam film yang tayang November silam, Shenina dan Angga kembali berbagi layar, kali ini dengan kedewasaan emosional yang berbeda. Bukan sekadar pasangan sinematik, tapi dua manusia yang tengah bereksperimen dengan realitas: bagaimana cinta di dunia nyata bisa diterjemahkan menjadi kejujuran di depan kamera tanpa kehilangan misterinya. “Setiap proyek selalu menantang sisi diri yang berbeda,” ujar Shenina. “Tapi yang membuat Dopamin spesial adalah cara film ini menyoroti hal-hal kecil yang sering kita anggap remeh: tatapan, jeda, atau momen hening yang ternyata menyimpan makna besar.”


    Pernikahannya dengan aktor Angga Yunanda pada Februari 2025 menjadi bab lembut dalam perjalanan panjang itu. Di matanya, cinta bukan tentang kehilangan diri demi orang lain, melainkan menemukan ruang baru untuk bertumbuh. “Cinta itu bukan tentang siapa yang lebih dulu memahami, tapi tentang siapa yang mau terus belajar dan selalu memaafkan,” begitu Shenina menyusun kalimat yang ia ucapkan dalam percakapan tenang di sela-sela jadwal yang padat. Ada ketenangan dalam cara Shenina bercerita tentang Angga, tidak penuh deklarasi besar, tapi dalam bahasa keseharian yang tulus. Ia menyebut suaminya sebagai sosok yang sangat sabar, seseorang yang melengkapi ketergesaan dirinya. “Dia sabar banget, saya tuh heran dia bisa sesabar itu. Saya jadi belajar, bahkan hal kecil seperti belanja impulsif pun saya rem. Saya belajar jadi lebih baik bukan karena saya harus berubah, tapi karena saya tahu itu hal yang baik buat saya.” Kini, setelah resmi menikah, Shenina merasakan versi dirinya yang lebih matang—lebih tenang, lebih sadar. “Saya jadi lebih memikirkan banyak hal sebelum ambil keputusan. Saya belajar sabar, belajar menimbang sebelum bereaksi,” katanya.

    Transformasi itu juga mengubah cara ia bekerja. Di industri yang keras dan penuh ekspektasi, Shenina memilih jalur kesadaran: tidak terburu-buru, tapi konsisten. Ia tahu bahwa regenerasi akan selalu datang, dan satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan terus belajar. “Saya percaya regenerasi itu penting. Dan saya tidak takut,” katanya. “Yang penting saya terus all out dan tidak cepat puas serta harus mau terus belajar. Saya pengen selamanya ada di industri ini, selama saya masih punya sesuatu untuk disampaikan lewat karakter-karakter yang aku mainin.”

    Bagi Shenina, film bukan sekadar panggung, tapi ruang belajar dan refleksi. Ia menonton ulang karyanya bukan untuk mencari kesalahan, melainkan untuk menghargai kerja kolektif di balik setiap adegan. “Saya melihatnya sebagai penonton,” ujarnya. “Karena film itu sudah menjadi karya yang utuh, bukan cuma milik saya, melainkan hasil kerja banyak orang, dan saya ingin menikmati itu.” Di luar layar, Shenina juga belajar tentang keseimbangan: antara identitas publik dan ruang pribadi. Ia tahu, di era digital, setiap unggahan bisa menjadi representasi diri yang ditafsirkan banyak orang. “Saya selalu berhati-hati dengan apa yang saya posting,” katanya. “Bukan karena takut, tapi karena saya sadar dampaknya bisa besar. Tapi selama niatnya positif, saya bersyukur kalau apa yang saya bagikan bisa bikin orang lain ikut bahagia.”

    Dalam banyak hal, hidup Shenina hari ini menyerupai dopamin itu sendiri: tidak mencolok, tapi menghidupkan. Bukan dalam euforia besar, melainkan dalam momen-momen kecil yang membangkitkan rasa syukur. “Dulu saya pikir kebahagiaan harus besar dan luar biasa,” katanya dalam wawancara kami, “tapi ternyata yang paling membahagiakan justru hal-hal yang paling tenang seperti merasa damai dengan diri sendiri.” Ia menemukan kebahagiaan bukan dari gemerlap premiere atau penghargaan, melainkan dari keseharian yang nyata: waktu tenang di rumah, percakapan hangat dengan orang-orang yang ia cintai, dan momen-momen kecil yang membangkitkan rasa syukur. “Dopamin saya tuh sederhana,” ujarnya. “Tidur siang, makan enak bareng Angga, libur di hari yang sama. Hal-hal kecil itu justru yang bikin saya paling bahagia.”


    Sebagai perempuan muda di industri yang sering kali menuntut kesempurnaan, Shenina memilih untuk jujur pada dirinya sendiri. Ia sadar, menjadi perempuan hari ini berarti menghadapi banyak lapisan harapan dan stereotip. Namun di tengah itu semua, ia memilih jalan yang lebih personal. “Saya ingin menjadi versi terbaik dari diri saya sendiri, bukan versi yang diinginkan orang lain. Saya ingin karier saya tidak hanya dilihat dari peran yang saya mainkan, tapi dari gagasan yang saya bawa: tentang kejujuran, kerentanan, dan keberanian untuk tidak selalu tampak kuat”.

    Kini, setelah hampir satu dekade berakting, Shenina ingin memperluas ruang kreasinya. “Saya pengen banget jadi produser,” katanya mantap. “Dulu saya sekolah di bidang film, dan ayah saya juga sutradara sekaligus produser. Jadi kayaknya memang sudah turun dari situ.” Ia berbicara tentang keinginan memahami dunia di balik layar—tentang menulis, mengurasi cerita, dan mungkin suatu hari nanti, menyutradarai. Bagi Shenina, perjalanan ini baru separuh jalan. Setelah Do You See What I See, 24 Jam Bersama Gaspar, Sujud Terakhir Bapak, hingga Tepatilah Janji, ia masih terus mencari cerita-cerita yang jujur dan relevan.

    Dan mungkin, seperti dopamin yang bekerja diam-diam di tubuh manusia, perubahan dalam hidup Shenina juga bergerak dalam ritme yang lembut namun pasti. Ia tidak tergesa. Ia memilih tumbuh dengan kesadaran, di antara cinta dan karier, antara layar dan kehidupan nyata. “Saya terus belajar menyeimbangkan banyak hal: cinta, ambisi, makna, dan kedamaian batin,” katanya menutup percakapan. “Saya akan terus berlari, tapi kali ini dengan langkah yang lebih pasti. Saya masih terus bermimpi, tapi dengan kaki yang berpijak kuat di bumi.”  Dan di situlah pesona sesungguhnya: Shenina Cinnamon tidak hanya memerankan kisah di layar, tapi juga menulis kisahnya sendiri dengan bahasa yang lembut, jujur, dan berani. Barangkali itulah makna sesungguhnya dari becoming: bukan tentang mencapai, melainkan terus berubah menjadi versi diri yang paling jujur.