11 April 2025
Tissa Biani Suarakan Substansi dalam Kebebasan dan Ketekunan Berkarya
PHOTOGRAPHY BY Bona Soetirto

styling Ismelya Muntu; fashion Gucci; makeup Archaangela Chelsea; hair Charles Sebastian; assistant styling Siti Nur Arisha
Dalam lanskap perfilman Indonesia yang terus berkembang, sosok Tissa Biani muncul sebagai salah satu bintang muda yang penuh determinasi. Dengan bakat, kecerdasan, dan keberanian, ia menapaki dunia seni peran dengan gemilang, menjadikannya representasi perempuan yang berdaya dan mandiri. Hampir dua dekade terakhir, ia konsisten berkarya, membawa warna baru dalam sinema Tanah Air dan membuktikan bahwa keberhasilannya bukan sekadar keberuntungan, melainkan hasil dari ketekunan dan kerja keras.Lahir pada 24 Juli 2002 sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, Tissa tumbuh dalam lingkungan yang jauh dari dunia seni. Ibunya bekerja sebagai pegawai bank, sementara orang-orang di sekitarnya berprofesi di bidang bisnis dan pekerjaan kantoran. Namun, ketertarikannya pada dunia akting telah muncul sejak dini. Ia sering berdiri di depan cermin, memerankan berbagai karakter ciptaannya sendiri, hingga akhirnya menyampaikan impiannya kepada orang tuanya, meski saat itu belum tahu bagaimana mewujudkannya. Pintu kesempatan terbuka ketika seorang tetangga memperkenalkannya kepada Dhea, seorang artis cilik yang memiliki koneksi di industri hiburan. Sejak usia empat tahun, Tissa mulai mengikuti audisi. Perjalanannya tidak mudah—ia harus menghadapi puluhan casting, bahkan pernah setahun penuh tanpa mendapatkan peran. Namun, kegigihannya membuahkan hasil ketika pada usia delapan tahun ia mendapat peran dalam sinetron Anak Kaki Gunung. Sinetron ini menjadi titik awal yang membuka jalan bagi kariernya di dunia hiburan.
Debut layar lebarnya terjadi dalam Tanah Surga… Katanya (2012) yang meraih enam Piala Citra. Berperan sebagai Salina, cucu seorang mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia-Malaysia, Tissa mulai menarik perhatian publik. Namun, tonggak penting dalam kariernya datang pada 2014 melalui film 3 Nafas Likas. Tidak hanya dituntut berdialog dengan dialek Karo, ia juga menjalani transformasi fisik dengan menggelapkan warna kulit serta berjalan tanpa alas kaki di lokasi syuting. Peran ini membawanya menjadi aktris pertama yang memenangkan Piala Citra untuk kategori Pemeran Anak Terbaik, menegaskan kualitas aktingnya yang luar biasa. Sejak itu, Tissa semakin aktif membintangi sinetron, film televisi, dan layar lebar. Salah satu peran yang melejitkan namanya adalah Fitri dalam serial Cinta Fitri (2021), remake dari sinetron legendaris yang memiliki basis penggemar luas. Popularitasnya semakin tak terbendung saat ia memerankan Nur dalam film layar lebar KKN di Desa Penari (2022), film horor terlaris sepanjang sejarah Indonesia, dan Agak Laen arahan sutradara Muhadkly Acho, film komedi terlaris di Indonesia yang meraih lebih dari 9 juta penonton saat ditayangkan di bioskop. Kedua film ini tidak hanya menjadi fenomena box office, tetapi juga memperkokoh posisi Tissa Biani sebagai aktris papan atas.
fashion Givenchy (tops & dress).
Keberaniannya dalam memilih peran juga patut diapresiasi. Ia tidak ragu mengambil karakter yang menantang, seperti dalam Ayat-Ayat Adinda di mana ia harus mendalami ilmu membaca Al-Qur’an selama tiga minggu penuh. Ia juga mengeksplorasi genre yang berbeda, mulai dari komedi dalam Laundry Show (2019) hingga drama sejarah dalam Gadis Kretek (2023), serial orisinal Netflix yang semakin memperluas jangkauan audiensnya. “Saya bersyukur bisa ambil bagian dari perjalanan sejarah sinema Indonesia. Dan terus terang, saya banyak belajar soal kehidupan justru bukan dari bangku sekolah, melainkan dari keterlibatan di industri hiburan dan film. Kita tidak selalu bertemu dengan orang yang baik, kita juga pasti menemukan situasi-situasi kurang enak. Ada banyak hal yang bikin saya belajar dan akhirnya membuat saya menaruh rasa hormat sebesar-besarnya kepada profesi yang sudah ikut mendewasakan saya. Bermain film bukan lagi sekadar untuk mencari nafkah, tapi bagaimana menjalaninya saja sudah bikin saya belajar banyak tentang kehidupan,” tambahnya.
Dalam industri hiburan yang kerap membingkai perempuan dalam batasan tertentu, Tissa Biani hadir sebagai sosok yang menolak dikotomi. Ia bukan hanya seorang aktris berbakat yang namanya bersinar lewat seni peran, tetapi juga seorang musisi yang dengan penuh kesadaran memilih untuk mengeksplorasi banyak sisi dirinya. Setelah meneguhkan langkahnya di dunia akting, Tissa merambah dunia musik sebagai penyanyi. Debutnya dimulai dengan merilis single Bahagia Sama Kamu, lagu yang diciptakan oleh Sandy Canester. Langkah ini bukan sekadar persimpangan karier, tetapi sebuah ekspresi personal yang telah tumbuh bersamanya sejak kecil. Musik, bagi Tissa, bukanlah dunia asing. Ia telah lama akrab dengan gitar, dengan nada-nada yang mengalir dari jemarinya, dengan nyanyian yang menjadi caranya memahami kehidupan. “Sejak kecil saya gemar bermain gitar dan menyanyi. Musik adalah bagian dari saya,” tuturnya.
Perjalanannya di dunia musik terus berlanjut. Ia pernah berkolaborasi dengan sejumlah musisi Tanah Air, termasuk membawakan ulang lagu Atas Nama Cinta, salah satu tembang legendaris Rossa ciptaan Melly Goeslaw yang menjadi soundtrack Cinta Fitri. Dan perjalanannya belum usai. Baru-baru ini, Tissa kembali hadir dengan single Apakah Kita Hanya Bercanda. Tak berhenti di sana, ia telah menyiapkan beberapa lagu lain yang akan dirilis tahun ini, semakin menegaskan bahwa musik bukan sekadar persinggahan, melainkan bagian dari identitas seninya. “Seni peran dan musik, bagi saya, adalah dua dunia yang saling melengkapi. Saat bermusik, saya bisa mengekspresikan apa yang ada di hati dan pikiran saya. Sebuah dunia penuh kebebasan untuk bersuara dan berpendapat. Sedangkan seni peran menambah lapisan-lapisan dalam diri saya, memperluas pemahaman saya tentang hidup dan manusia,” ungkapnya.
fashion Dior (knitted bodysuit & dress).
Tissa Biani juga gemar menulis—menata kalimat, merangkai makna, dan membangun dunianya sendiri melalui aksara. Buku pertamanya, Untuk Kamu yang Berhak Bahagia, lahir dari kegemarannya menulis dan diterbitkan pada akhir Oktober 2020. Hanya dalam waktu sebulan, ia menumpahkan pikirannya menjadi sebuah karya yang mengajak pembaca untuk memeluk kebahagiaan. Tahun berikutnya, buku ini hadir kembali dalam cetakan kedua dengan judul Kita Pasti Bahagia—sebuah refleksi optimisme yang lebih luas. Kecintaannya pada menulis bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Sejak usia 13 tahun, Tissa telah bermain-main dengan cerita, meski saat itu hanya berani membaginya dengan keluarga terdekat.
Di usia 16 tahun, ia mulai merangkai kata-kata singkat di Twitter—sebuah ruang yang diam-diam melatih kepekaannya dalam menyusun makna dalam keterbatasan jumlah karakter. Sebagai seorang ekstrover yang senang berinteraksi, Tissa menemukan keseimbangan dalam dunia sunyi menulis. “Sejak kecil saya senang bercerita, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Saya menulis buku harian, mencatat perasaan dan pengalaman keseharian, dan ternyata itu adalah awal mula saya memahami betapa kuatnya kata-kata. Menulis itu menyenangkan. Ini adalah cara saya menerjemahkan isi kepala ke dalam bentuk yang lebih nyata,” ujarnya. Tissa Biani datang tepat waktu saat pertemuan kami untuk sesi wawancara. Hari itu, tubuhnya tak sepenuhnya dalam kondisi prima, namun ia tetap menunjukkan profesionalisme. Sikapnya hangat, ucapannya tertata, dan sorot matanya memancarkan keteguhan seorang perempuan muda yang tahu apa yang ia perjuangkan. Ia tengah disibukkan dengan berbagai proyek film, salah satunya adalah Norma: Antara Mertua dan Menantu, yang dijadwalkan tayang bertepatan dengan Lebaran tahun ini. Film ini mengangkat kisah nyata tentang perselingkuhan dalam rumah tangga—isu yang sayangnya masih menjadi momok bagi banyak perempuan. Tissa tak sekadar berakting dalam film ini; ia menyelami karakter Norma dengan penuh dedikasi.
fashion Gucci.
“Saya bertemu langsung dengan sosok asli Norma,” tuturnya. Ia ingin memahami bahasa tubuh, ekspresi, serta luka emosional yang perempuan itu alami. Dari awal hingga akhir proses syuting, Tissa harus terus-menerus menguras emosi, menangis, dan menanggung beban karakter yang ia perankan. “Ini tantangan baru buat saya. Sebelumnya, saya lebih sering bermain di genre komedi romantis, drama ringan, atau horor. Kali ini, saya harus masuk ke dalam pengalaman batin seorang perempuan yang dikhianati dalam rumah tangganya, sesuatu yang belum pernah saya alami,” katanya. Ia sadar, dunia masih sering menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus menanggung luka dalam diam, meski sebenarnya, kisah mereka layak untuk didengar dan diangkat ke permukaan. Selain Norma: Antara Mertua dan Menantu, Tissa juga terlibat dalam beberapa proyek lain tahun ini. Ia baru saja menyelesaikan syuting film drama religi Assalamualaikum Baitullah, yang membawa pengalaman spiritual tersendiri karena mengambil lokasi syuting di Mekkah. Tak hanya itu, ia juga bermain dalam film Mungkin Kita Perlu Waktu, arahan sutradara Teddy Soeriaatmadja, beradu peran dengan aktor senior seperti Lukman Sardi dan Ine Febriyanti. “Saya sangat antusias. Bekerja dengan sutradara yang saya kagumi dan aktor-aktor hebat adalah kesempatan besar untuk terus belajar,” ujarnya.
Dalam kariernya, Tissa dikenal sering memerankan karakter protagonis, tetapi ia tak membatasi dirinya pada satu tipe peran tertentu. “Saya ingin ada tantangan di setiap proyek. Peran yang sama dalam film yang berbeda hanya akan membuat saya stagnan,” ungkapnya. Salah satu impian besarnya adalah memerankan sosok seorang ibu. “Saya ingin memahami kompleksitas perempuan yang telah menjadi ibu—perjuangannya, pengorbanannya, rutinitas yang ia jalani, dan kedewasaan yang tumbuh bersamanya.” Sulit untuk menyebut nama Tissa Biani tanpa mengaitkannya dengan Abdul Qodir Jaelani, atau yang lebih akrab disapa Dul. Lima tahun menjalin hubungan dengan putra bungsu Ahmad Dhani dan Maia Estianty, kisah cinta mereka berkembang di antara denting nada dan sorot lampu panggung, sebuah pertemuan yang tampaknya sudah ditakdirkan sejak awal. Namun, bagi Tissa, kisah ini bukan sekadar romansa; ini adalah perjalanan bertumbuh, tempat di mana ia dan Dul saling mengasah dan menantang satu sama lain dalam berkarya. “Saya melihat Dul sebagai seniman muda yang berbakat dan profesional. Kami sering bertukar gagasan, mengkritik satu sama lain, dan belajar bersama,” ujar Tissa. Baginya, hubungan ini bukan sekadar kebersamaan dalam suka, tetapi juga laboratorium kreatif yang memperkaya perspektif dan memperdalam pemahaman mereka tentang seni. “Saya bersyukur kami bisa tumbuh bersama, bukan hanya sebagai pasangan, tetapi juga sebagai individu yang terus mencari dan menemukan makna dalam apa yang kami lakukan.”
fashion Dior (off-shoulder top, pants & boots).
Dalam setiap perjalanannya, Tissa Biani membawa sesuatu yang lebih dari sekadar bakat: sebuah kesadaran akan siapa dirinya dan siapa ia ingin menjadi. Ia tidak membiarkan dunia membentuknya tanpa perlawanan. “Saya menikmati masa muda saya dengan bekerja, berkarya, dan terus belajar. Saya ingin memiliki pengalaman di berbagai bidang, meski dunia film tetap menjadi tempat di mana saya merasa paling hidup.” Namun di luar ambisi profesionalnya, ada satu hal yang lebih sering melintas dalam pikirannya: masa depan sebagai seorang perempuan. “Saya banyak berpikir tentang masa depan saya sebagai perempuan. Bagaimana nanti, ketika saya menjadi istri dan ibu, saya tetap bisa berkarya tanpa kehilangan jati diri, bagaimana kelak saya bisa menyeimbangkan kehidupan pribadi dan profesional? Bagaimana saya bisa menjadi istri dan ibu, tanpa kehilangan jati diri dan impian saya?” ujarnya.
Baginya, menjadi perempuan adalah perjalanan yang kompleks—kita didorong untuk berprestasi, tetapi juga dihadapkan pada ekspektasi yang menuntut kita untuk selalu mengutamakan orang lain. “Saya ingin menemukan jalan di mana saya bisa tetap berkarya tanpa harus mengorbankan kehidupan pribadi. Perempuan sering kali dipaksa memilih, padahal seharusnya kita bisa memiliki keduanya—karier dan keluarga, ambisi dan kelembutan, kebebasan dan keterikatan.” Seiring waktu, Tissa terus berkembang, mengeksplorasi berbagai sisi dirinya, dan memperkuat posisinya sebagai salah satu aktris paling menjanjikan di Indonesia. Tissa Biani adalah gambaran perempuan muda yang tak hanya bekerja demi eksistensi, tetapi juga ingin mengukir jejak yang bermakna. Ia menikmati hidup, tetapi juga menata masa depan dengan penuh kesadaran. Dari caranya mempersiapkan diri untuk peran-peran yang ia pilih, hingga cara ia berbicara tentang perjalanan karier dan impiannya, terlihat jelas bahwa ia bukan sekadar aktor—ia adalah seorang perempuan yang memahami bahwa suaranya, karyanya, dan keberadaannya memiliki arti yang lebih besar dari sekadar sorotan kamera.