LIFE

13 Mei 2025

Mince Oyaitou Menenun Tradisi dan Menggerakkan Perubahan dari Endokisi Jayapura


PHOTOGRAPHY BY doc. Mince Oyaitou

Mince Oyaitou Menenun Tradisi dan Menggerakkan Perubahan dari Endokisi Jayapura

MINCE OYAITOU (aktivis, penggerak literasi, pendiri Komunitas Kreuw Tangke)

Apa jadinya jika kekuatan perempuan tidak hanya dilihat dari suara yang lantang, tetapi dari jemari yang sabar merajut tradisi? Di ujung timur Indonesia, di sebuah kampung bernama Endokisi, para perempuan membuktikan bahwa pemberdayaan bukan sekadar slogan, melainkan kerja sunyi yang lahir dari akar budaya, menyatu dengan alam, dan menenun masa depan—sebuah semangat yang dijaga dan dihidupkan oleh Mince Oyaitou.

Di sebuah sudut tenang di pesisir utara Kabupaten Jayapura, tersembunyi sebuah permata kecil bernama Kampung Endokisi. Kampung ini terletak di distrik Yokari, di mana hamparan pasir putih menyambut setiap langkah, dan lautan biru menghampar luas bagai cermin langit yang tak bertepi. Alam Endokisi begitu bersahaja, namun menyimpan keindahan yang tak terperi: pantai yang masih perawan, udara laut yang membawa aroma asin khas samudra, dan matahari terbenam yang menyulap cakrawala menjadi lukisan alam. Namun, bukan hanya lanskapnya yang memesona, melainkan juga kehidupan masyarakatnya yang kaya budaya dan tradisi. Salah satu warisan paling berharga dari kampung ini adalah kerajinan tangan Tangke—atau yang lebih dikenal sebagai Noken—tas anyaman serat pohon mahkota dewa yang menggambarkan filosofi hidup, ketekunan, dan keterikatan masyarakat Papua dengan alam.




Noken bukan hanya sekadar tas anyaman. Ia adalah simbol peradaban dan ketekunan perempuan Papua, lahir dari serat-serat pohon mahkota dewa yang dikumpulkan dan diolah dengan penuh kesabaran. Proses pembuatannya melibatkan serangkaian tahapan yang memerlukan kesabaran dan keahlian tinggi, mulai dari pengambilan serat, perendaman, pengeringan, hingga penganyaman menjadi tas yang kuat dan indah.  Di tengah kehidupan sehari-hari, para mama-mama di Endokisi dengan cekatan menganyam noken sambil menjalankan tugas rumah tangga lainnya. Tas-tas hasil karya mereka tidak hanya digunakan untuk membawa hasil kebun atau tangkapan laut, tetapi juga menjadi simbol identitas budaya yang kuat sekaligus jantung ekonomi kreatif. Namun, tantangan muncul ketika akses ke pasar menjadi terbatas. Lokasi kampung yang terpencil membuat penjualan noken menjadi sulit, sehingga banyak hasil kerajinan yang menumpuk tanpa pembeli.


Nama Mince Oyaitou mungkin belum menjadi nama yang akrab di telinga khayalak luas, tetapi bagi mama-mama di Endokisi, ia adalah pemantik bara semangat. Mince tumbuh besar menyaksikan ibunya merajut noken di beranda rumah setiap sore, sembari bercerita tentang nilai-nilai hidup dan kearifan lokal. Ia belajar bahwa kekuatan perempuan Papua bukan semata dari otot dan tenaga, tetapi dari keuletan, ketekunan, dan kesanggupan mereka menjaga budaya sekaligus mencari penghidupan. Dengan latar belakang pendidikan di bidang Ilmu Administrasi Publik dari Universitas Cenderawasih, serta pengalaman luas dalam berbagai organisasi seperti Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia dan WWF Indonesia, Mince memiliki visi untuk memberdayakan perempuan di kampung halamannya. Pada tahun 2016, ia mendirikan Komunitas Kreuw Tangke, sebuah inisiatif yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan melalui pelatihan kerajinan tangan dan literasi. Mince memimpin kelompok mama-mama untuk melestarikan dan memasarkan kerajinan Tangke. Ia menyalakan api semangat di tengah kaum perempuan agar berani bermimpi, berani mandiri, dan berani membangun masa depan. Di tangannya, Noken bukan sekadar tas anyaman, melainkan simbol perjuangan dan harapan.



Perjalanan Mince dalam membangun komunitas ini tidaklah mudah. Awalnya, banyak perempuan yang ragu akan keberhasilan upaya ini, mengingat tantangan ekonomi dan keterbatasan akses pasar. Namun, dengan pendekatan yang sabar dan penuh empati, Mince berhasil meyakinkan mereka bahwa melalui pemberdayaan diri, mereka dapat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka. Kini, Komunitas Kreuw Tangke tidak hanya fokus pada pembuatan noken, tetapi juga mengajarkan pentingnya pendidikan, pelestarian lingkungan, dan kesetaraan gender. Dukungan dari berbagai pihak semakin memperkuat langkah komunitas ini. Pada awal 2025, Yayasan Pratisara Bumi Lestari, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada pemberdayaan perempuan dan pemuda di pedesaan Indonesia, memberikan pendampingan kepada Komunitas Kreuw Tangke. Kolaborasi ini membuka peluang baru dalam meningkatkan kualitas produk, memperluas jaringan pemasaran, dan memperkenalkan konsep ekowisata berbasis komunitas.


Fakta menarik tentang Endokisi yang sering luput dari peta wisata adalah bahwa kampung ini menjadi salah satu penghasil noken terbaik di Jayapura. Bahkan, beberapa kolektor seni etnografi dari Eropa pernah menyambangi kampung ini hanya untuk mencari noken klasik buatan tangan para mama. Uniknya lagi, meskipun kampung ini berada di daratan utama Papua, akses ke sana menantang: Kampung Endokisi tak memiliki jalan darat langsung menuju pusat kota. Dari kampung, warga harus naik perahu motor sekitar 45 menit menuju Dermaga Depapre, lalu melanjutkan perjalanan darat selama hampir satu jam untuk mencapai Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura. Transportasi terbatas ini sering kali menjadi tantangan dalam menjual hasil kerajinan atau memperoleh akses pendidikan dan layanan kesehatan. Namun keterbatasan ini tak menyurutkan langkah Mince. Ia melihat peluang dalam keterisolasian. Menurutnya, justru dari tempat yang dianggap ‘terlupakan’, sebuah gerakan besar bisa lahir—gerakan yang digerakkan oleh mama-mama Papua.



Di antara rutinitas harian yang tampak sederhana—menjemur ikan, menyortir hasil kebun, dan merajut Tangke—perempuan-perempuan Endokisi seperti Mince telah melahirkan gerakan yang lebih besar dari sekadar ekonomi rumah tangga. Mereka menjadi penggerak sosial yang menyulut kesadaran akan pentingnya pendidikan, kesehatan, dan kemandirian ekonomi bagi perempuan. Upaya pemberdayaan ini terbukti menjadi fondasi yang kokoh dalam pembangunan sosial di Papua. Generasi muda mulai belajar bahwa kemajuan tidak selalu datang dari luar, tapi bisa bertumbuh dari ketekunan akar rumput yang menjaga tradisi dan bergerak ke masa depan. Kisah Mince Oyaitou adalah gambaran nyata tentang bagaimana gerakan akar rumput yang dipimpin perempuan bisa membawa perubahan nyata bagi masyarakat. Gerakan ini bukan sekadar pemberdayaan perempuan, melainkan langkah kecil yang berdampak besar dalam pembangunan sosial Papua. Kampung Endokisi menjadi saksi bahwa ketika perempuan diberdayakan, masa depan ikut diciptakan.


Mince percaya bahwa perempuan adalah tiang rumah, dan jika mereka diberdayakan, satu generasi akan tumbuh dengan akar yang kuat. Ia menginisiasi pelatihan keterampilan membuat Noken, pengelolaan keuangan sederhana, hingga pengemasan dan pemasaran produk melalui media sosial, dibantu oleh para relawan dan pegiat komunitas. Tak jarang ia mengajak anak-anak muda untuk mengenali kembali warisan budaya mereka melalui kerajinan tangan. Sebab baginya, perubahan sosial tak bisa hanya bertumpu pada generasi tua, tetapi harus menyentuh akar-akar generasi baru. “Kalau kita bisa bikin perempuan mandiri, kita bisa bantu seluruh kampung,” ucapnya.


Apa pengalaman pribadi yang paling memengaruhi Anda dalam mengambil langkah untuk berkontribusi di kampung?

“Sejak kecil, saya merasakan betapa sulitnya mendapatkan pendidikan yang layak karena keterbatasan ekonomi. Orang tua saya, seorang nelayan dan petani, harus berjuang keras untuk menyekolahkan sembilan anaknya. Saya hampir putus sekolah karena biaya yang tidak mencukupi. Pengalaman ini membuka mata saya bahwa pendidikan adalah kunci untuk keluar dari kemiskinan, dan peran perempuan sangat vital dalam mendukung pendidikan anak-anak mereka. Inilah yang mendorong saya untuk memberdayakan perempuan di kampung saya, agar mereka dapat menjadi pilar ekonomi keluarga dan memastikan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang layak.”


Bagaimana awal mula Anda tergerak untuk memberdayakan mama-mama di Endokisi?

“Saya mulai merasa bahwa mama-mama di kampung ini sebenarnya punya banyak potensi. Mereka rajin, kuat, dan telaten. Tapi selama ini, kerja mereka hanya dianggap sebagai pekerjaan rumah tangga biasa. Dulu, saya pun berpikir begitu. Tapi waktu saya ikut pelatihan dari sebuah LSM yang datang ke kampung, saya mulai sadar bahwa kerajinan seperti Tangke atau Noken ini punya nilai ekonomi tinggi kalau kita kelola dengan baik. Dari situ, saya mulai ajak mama-mama buat kumpul, bikin kelompok kecil. Awalnya mereka malu-malu, tapi lama-lama mereka senang karena bisa dapat penghasilan tambahan. Dan bukan cuma itu, mereka juga merasa dihargai.”



Apa saja tantangan yang dihadapi dalam proses pemberdayaan ini?

“Tantangan paling besar itu transportasi dan pemasaran. Kampung kami cukup jauh dari kota, jadi kalau mau kirim produk atau ikut pameran, kami harus keluar banyak biaya. Tapi sekarang kami mulai belajar pakai HP buat promosi lewat media sosial. Saya juga kerja sama dengan anak-anak muda yang bantu kami foto produk, bikin akun Instagram, dan bantu jualin. Selain itu, tantangan lain adalah mengubah cara pandang. Banyak yang masih pikir perempuan cukup di rumah saja. Tapi pelan-pelan, dengan hasil nyata, mereka mulai lihat kalau mama-mama juga bisa bantu ekonomi keluarga.”


Bagaimana cara Anda membangun kesadaran ini di antara perempuan lain di kampung?

“Awalnya saya mulai dengan hal-hal kecil. Kami bikin kelompok belajar bersama, tempat mama-mama bisa saling cerita dan belajar bersama tentang kesehatan, keuangan keluarga, bahkan soal hak-hak perempuan. Lalu dari situ, kita mulai bikin koperasi kecil, hasil dari penjualan Noken dan produk kebun kita kumpulkan supaya bisa bantu biaya sekolah anak-anak atau beli kebutuhan pokok. Dengan cara seperti ini, mama-mama jadi merasa mereka punya kontrol atas hidup mereka, dan dari sana rasa percaya diri itu tumbuh.”



Apa tantangan terbesar yang Anda hadapi saat pertama kali mengajak para perempuan untuk bergabung ke Komunitas Kreuw Tengke?

“Tantangan terbesarnya adalah membangun kepercayaan. Banyak dari mereka yang skeptis dan merasa pesimis tentang masa depan kerajinan noken, terutama karena sulitnya akses pasar. Saya harus meyakinkan mereka bahwa dengan kerja keras dan solidaritas, kita bisa menciptakan peluang baru. Kami mulai dengan diskusi kecil, berbagi cerita, dan secara perlahan membangun rasa percaya diri mereka. Melalui pendekatan ini, mereka mulai melihat potensi diri dan pentingnya peran mereka dalam komunitas.”


Bagaimana respons masyarakat terhadap gerakan literasi yang Anda jalankan?

“Awalnya, ada yang mempertanyakan pentingnya literasi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Namun, setelah kami menunjukkan bagaimana kemampuan membaca dan menulis dapat membantu mereka dalam berbagai aspek, seperti mengelola keuangan, memahami hak-hak mereka, dan meningkatkan kualitas hidup, banyak yang mulai antusias. Saat ini, sekitar 30 hingga 40 anak-anak dan perempuan mengikuti program literasi kami. Kami juga mengajarkan tentang pelestarian lingkungan, mengingat betapa pentingnya alam bagi kehidupan kami di Papua.”


Apa dampak paling besar yang Anda lihat dari gerakan pemberdayaan ini?

“Dampaknya banyak. Pertama, ekonomi keluarga jadi lebih baik. Mama-mama bisa beli kebutuhan rumah tangga, bahkan bantu biaya sekolah anak. Kedua, mereka jadi lebih percaya diri. Dulu banyak yang tidak berani bicara di depan orang, sekarang mereka bisa tampil kalau ada pelatihan atau pameran. Ketiga, anak-anak juga mulai lihat bahwa kerja keras mama mereka itu penting. Mereka mulai tertarik belajar buat bikin Noken juga. Jadi ada kesinambungan budaya. Saya juga ajak anak muda buat gabung, karena masa depan kampung ini ada di tangan mereka.”



Bagaimana Anda melihat peran perempuan dalam menentukan masa depan Papua?

“Perempuan adalah tiang keluarga dan komunitas. Mereka tidak hanya bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak, tetapi juga memainkan peran penting dalam ekonomi dan pelestarian budaya. Namun, budaya patriarki sering kali membatasi ruang gerak mereka. Saya percaya bahwa dengan memberdayakan perempuan, kita tidak hanya meningkatkan kesejahteraan keluarga, tetapi juga membangun fondasi yang kuat untuk masa depan bangsa.”


Apa harapan Anda untuk perempuan-perempuan di Papua secara luas?

“Saya berharap perempuan Papua bisa berdiri tegak, tidak merasa kecil. Kita punya kekuatan yang luar biasa. Kita bukan hanya pelengkap, tapi penentu masa depan. Kalau perempuan diberi akses pendidikan, keterampilan, dan kesempatan yang sama, maka perubahan besar bisa terjadi. Saya ingin lihat lebih banyak mama-mama di kampung lain juga bangkit, saling bantu, saling kuatkan. Karena kita tahu, kalau satu perempuan bangkit, satu keluarga ikut bangkit. Dan kalau banyak perempuan bangkit, seluruh Papua bisa ikut berubah.”