LIFE

22 April 2025

Dewi Makes: Kepemimpinan Perempuan yang Berakar pada Cinta Tanah Air


PHOTOGRAPHY BY doc. Plataran Indonesia

Dewi Makes: Kepemimpinan Perempuan yang Berakar pada Cinta Tanah Air

Dewi Julia Pramitarini Makes (Co-Founder Plataran Indonesia)

Di balik gemerlap industri pariwisata Indonesia, terdapat sosok perempuan tangguh yang mengukir jejaknya dengan penuh dedikasi. Dewi Makes, Co-Founder Plataran Indonesia, bukan hanya seorang pengusaha sukses, tetapi juga akademisi dan filantropis yang menjadikan nilai-nilai keberlanjutan, budaya, dan pemberdayaan masyarakat sebagai fondasi utama dalam setiap langkahnya. Sebagai lulusan Universitas Indonesia dan Université Paris-Sorbonne, Dewi membawa perspektif global dalam membangun Plataran Indonesia sebagai ikon pariwisata yang berakar pada kearifan lokal.

Perjalanan Dewi dalam dunia pariwisata dimulai pada tahun 2009, ketika bersama suaminya, Yozua Makes, mereka memutuskan untuk mengubah vila pribadi mereka di Canggu, Bali, menjadi sebuah resor butik yang kemudian berkembang menjadi Plataran Indonesia. Keputusan ini bukan semata-mata didorong oleh ambisi bisnis, melainkan oleh cinta mendalam terhadap Indonesia dan keinginan untuk berkontribusi pada pelestarian budaya serta pemberdayaan masyarakat lokal.


Sebagai seorang akademisi, Dewi tetap aktif mengajar di Program Studi Prancis, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Keterlibatannya dalam dunia pendidikan mencerminkan komitmennya terhadap pengembangan sumber daya manusia, terutama dalam membentuk generasi muda yang berwawasan luas dan berkarakter. Kecintaannya terhadap anak-anak dan pendidikan juga tercermin dalam berbagai program sosial yang ia inisiasi, seperti Rumah Plataran Indonesia dan Plataran Berbagi, yang fokus pada penyediaan akses pendidikan dan layanan kesehatan bagi anak-anak kurang beruntung.

Dalam industri pariwisata yang kompetitif, Dewi menghadirkan pendekatan yang berbeda dengan menekankan pada nilai-nilai keberlanjutan dan tanggung jawab sosial. Melalui Plataran Indonesia, ia mengintegrasikan aspek lingkungan, budaya, dan masyarakat dalam setiap operasional bisnisnya. Program-program seperti kelas bahasa Inggris untuk anak-anak lokal, pelatihan keterampilan bagi ibu-ibu desa, serta inisiatif pelestarian lingkungan seperti penanaman mangrove, menjadi bukti nyata dari komitmen Plataran terhadap pembangunan berkelanjutaran Peran Dewi dalam pemberdayaan perempuan di sektor pariwisata juga patut diapresiasi. Di tengah realitas bahwa 54,22% tenaga kerja di sektor pariwisata Indonesia adalah perempuan , Dewi berupaya menciptakan ruang bagi perempuan untuk berkembang dan berkontribusi secara maksimal. Melalui pelatihan dan pendampingan, ia mendorong perempuan untuk mengambil peran aktif dalam industri pariwisata, baik sebagai pelaku usaha, pemandu wisata, maupun pengrajin produk lokal.

Di balik visi besar dan pencapaian impresif yang telah diraih, sesungguhnya terdapat narasi yang lebih intim dan manusiawi—kisah tentang keberanian membangun dari akar, tentang kesetiaan pada nilai, dan tentang keyakinan bahwa bisnis bisa menjadi instrumen kebaikan. Dalam wawancara berikut, Dewi Makes membagikan pandangannya dengan lugas dan hangat—mulai dari proses membangun kepercayaan dengan komunitas lokal, menjaga keseimbangan antara idealisme dan realitas bisnis, hingga peran pendidikan dan nilai-nilai keluarga yang membentuk komitmennya terhadap perubahan sosial. Inilah percakapan yang menggambarkan bagaimana kepemimpinan perempuan bisa menjadi kekuatan yang lembut namun transformatif dalam membentuk masa depan industri pariwisata Indonesia.


Bagaimana proses membangun kepercayaan dan kolaborasi dengan komunitas lokal, seperti petani dan pengrajin, yang terlibat dalam rantai pasok Plataran?
“Segalanya kembali pada tiga pilar utama Plataran: alam, budaya, dan masyarakat. Prinsip ini menjadi fondasi setiap langkah kami. Di mana pun Plataran hadir, kami tak pernah datang sendiri—kami selalu menggandeng masyarakat lokal sebagai mitra sejati. Prosesnya tentu tidak mudah; dialog kerap berlangsung berliku, penuh tantangan komunikasi dan perbedaan persepsi. Tapi kami percaya pada pendekatan yang humanis. Kami tak ingin sekadar mengajak, tapi mendengarkan. Kami menyelenggarakan pelatihan, membuka ruang diskusi, dan yang paling penting—menghargai mereka sebagai sesama. Di Desa Candirejo, Borobudur, misalnya, kami melatih para ibu membuat anyaman yang kemudian diolah menjadi produk kerajinan seperti tas dan dompet yang kini dijual sebagai suvenir resmi Plataran. Di awal, keraguan adalah tamu yang tak bisa dihindari. Tapi perlahan, kepercayaan tumbuh, rasa bangga mekar. Terutama di kalangan perempuan. Masih banyak perempuan Indonesia yang belum menyadari potensi dirinya. Bahwa berkarya tak perlu bergantung pada identitas gender. Maka, sebagai sesama perempuan, saya merasa bertanggung jawab untuk turut mendorong pemberdayaan ini. Plataran bukan hanya tentang estetika properti, melainkan tentang hospitality with impact. Kami ingin membuktikan bahwa bisnis bisa sekaligus menjadi ladang kebaikan sosial, bahwa dampak tak kalah penting dari keuntungan.”


Dalam ekosistem bisnis hospitality yang kompetitif, apa tantangan terbesar dalam menjaga keseimbangan antara komersialisme dan idealisme sosial-budaya?
“Merawat idealisme dalam dunia yang kerap diukur dengan grafik dan laporan laba rugi adalah tantangan tersendiri. Namun sejak awal, kami di Plataran menyadari bahwa bisnis sejatinya tak semata-mata tentang meraih keuntungan sebesar-besarnya. Kami punya pandangan jangka panjang. Bahwa keberhasilan sejati adalah ketika bisnis mampu melahirkan dampak positif—tak hanya bagi pelanggan, tapi juga masyarakat luas dan lingkungan sekitar. Dalam industri hospitality, yang sering dipenuhi hiruk-pikuk kompetisi dan konsumerisme, kami memilih tetap berpijak pada akar budaya bangsa. Setiap elemen dalam bisnis kami selalu kami pastikan tak mencabut nilai-nilai lokal. Kami percaya, pertumbuhan ekonomi harus berjalan beriringan dengan pertumbuhan moral dan sosial. Ini bukan soal idealisme kosong, tapi tentang menciptakan warisan. Bahwa di balik semua angka dan data, ada nilai luhur yang terus mengalir dan diwariskan.”


Dalam konteks krisis iklim hari ini, bagaimana Anda melihat peran konkret industri hospitality untuk turut menjadi bagian dari solusi?
“Isu lingkungan bukan sekadar tren global yang kami ikuti. Ia adalah pilar fundamental dalam filosofi kami. Dalam setiap pengembangan properti Plataran, aspek keberlanjutan menjadi pertimbangan utama—bukan pelengkap. Kami berkomitmen menjaga keanekaragaman hayati, menekan jejak karbon, dan melindungi ekosistem yang telah lama menjadi rumah bagi banyak kehidupan. Di Plataran Komodo dan Plataran Menjangan, kami melakukan penanaman mangrove secara berkala—sebuah langkah kecil namun berdampak besar dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Kami menyadari, setiap keputusan pembangunan yang kami ambil punya konsekuensi ekologis. Maka, tanggung jawab kami bukan hanya kepada tamu yang datang hari ini, tetapi juga kepada generasi yang akan hidup esok hari. Hospitality, bagi kami, bukan hanya soal melayani manusia, tetapi juga merawat bumi yang menampung kita semua.”


Mengapa pendidikan anak, khususnya untuk kelompok kurang beruntung, menjadi perhatian utama Anda dalam program CSR?
“Dalam hati saya, pendidikan anak-anak adalah panggilan yang tak bisa diabaikan. Sejak dulu, saya sangat tertarik pada isu-isu anak dan kesehatan. Pendidikan adalah fondasi yang menentukan masa depan manusia—dan harus dimulai sedini mungkin. Tak selalu harus lewat bangku sekolah formal; bahkan kebiasaan sederhana seperti membacakan buku di rumah bisa berdampak besar dalam membentuk pola pikir anak. Dan perempuan—terutama ibu—memegang peranan krusial dalam proses ini. Sebagai seorang ibu dan seorang profesional, saya sadar betul bahwa masa depan bangsa ditentukan dari bagaimana kita mendidik generasi muda hari ini. Karena itu, di Plataran Komodo dan Plataran Menjangan, kami membuka kelas Bahasa Inggris gratis bagi anak-anak lokal. Kami ingin mereka tumbuh percaya diri, mampu bersaing, dan punya jendela lebih luas untuk melihat dunia. Dalam industri hospitality yang kadang terlalu sibuk menghibur pelancong, kami ingin tetap menyisakan ruang untuk membangun masa depan.”

Apa nilai-nilai yang Anda warisi dari keluarga atau pengalaman hidup yang kemudian membentuk kepedulian sosial Anda hari ini?
“Saya tumbuh dalam keluarga yang dekat dengan akar rumput. Sejak kecil, orangtua saya rutin mengajak kami pulang kampung ke Pacitan dan Kudus. Ayah saya—seorang pria sederhana dengan pandangan jauh—gemar mengajak saya menjelajahi sawah, berbincang dengan petani, mendengar langsung cerita mereka. Dari situ, saya belajar untuk tidak hanya melihat ke atas, tapi juga menundukkan kepala dan menengok sekitar. Ia kerap berpesan bahwa kebijaksanaan sejati lahir dari keberanian untuk mendengar suara yang paling lirih. Ketika saya memasuki dunia bisnis dan akhirnya menjalankan Plataran bersama suami, prinsip itu menjadi kompas moral saya. Bahwa bisnis adalah sarana untuk berbagi, bukan sekadar ajang unjuk keberhasilan. Saya merasa Plataran adalah lanjutan dari nilai-nilai keluarga yang saya rawat sejak kecil.”


Sebagai seorang pemimpin perempuan di sektor pariwisata dan sosial, apa tantangan tersulit yang Anda hadapi dan bagaimana Anda mengatasinya?
“Menjadi perempuan di banyak panggung kehidupan berarti memainkan banyak peran dalam satu waktu. Di satu sisi, saya bertanggung jawab menjalankan bisnis hospitality. Di sisi lain, saya tetap harus hadir sebagai istri, ibu, dan pribadi yang aktif dalam kegiatan filantropi. Mengatur waktu bukan sekadar soal agenda, tapi tentang memelihara keseimbangan batin. Ada hari-hari ketika lelah datang bergulung, ketika stres tak bisa dielakkan. Tapi karena saya mencintai apa yang saya lakukan, semuanya terasa lebih ringan. Di tengah tantangan ini, saya belajar satu hal penting: bahwa kita, perempuan, tidak perlu sempurna dalam segala hal. Tapi kita bisa bermakna, jika kita tahu kapan harus memberi, dan kapan harus menerima. Banyak perempuan hari ini membuktikan bahwa kepemimpinan bukan lagi monopoli laki-laki—dan saya bangga menjadi bagian dari gerakan itu.”

 Apa arti “sukses” bagi Anda hari ini? Apakah itu berarti pertumbuhan bisnis, atau justru dampak sosial yang ditinggalkan?
“Sukses bagi saya bukan soal seberapa tinggi pencapaian, tetapi seberapa dalam pengaruh positif yang bisa ditinggalkan. Saya tidak pernah bisa memisahkan kesuksesan pribadi dari tanggung jawab sosial. Apa yang saya jalani hari ini harus bisa menyentuh hidup orang lain, membuka jalan bagi mereka yang mungkin belum punya akses yang sama. Dalam dunia bisnis, angka memang penting, tapi makna jauh lebih penting. Saya ingin dikenang bukan karena bisnis saya sukses, tapi karena bisnis saya punya dampak yang mengubah hidup.”

Apa mimpi jangka panjang Anda untuk Plataran—di luar ekspansi bisnis?
“Mimpi saya sederhana namun dalam: saya ingin Plataran menjadi rumah kedua bagi siapa pun yang datang. Tempat di mana tamu bukan sekadar pelanggan, tapi bagian dari keluarga besar Indonesia. Saya ingin setiap langkah kaki yang singgah di Plataran membawa pulang rasa damai, kehangatan, dan cinta pada tanah air ini. Indonesia memiliki keistimewaan yang tak bisa ditiru, dan Plataran adalah panggung di mana keistimewaan itu kami rayakan. Kelak, jika Plataran dikenang, saya berharap orang-orang mengingatnya bukan hanya karena keindahannya, tetapi karena ruhnya. Sebuah rumah di mana alam, budaya, dan manusia hidup berdampingan dengan penuh hormat.”