LIFE

10 April 2025

Kirana Agustina Mengarungi Misi Laut dan Menantang Jejak Plastik


Kirana Agustina Mengarungi Misi Laut dan Menantang Jejak Plastik

photo courtesy Kirana Agustina

Mengarungi samudra bukan sekadar petualangan bagi Kirana Agustina, melainkan panggilan jiwa. Ia adalah perempuan Indonesia pertama yang menyeberangi Samudra Atlantik dalam ekspedisi eXXpedition Round the World, sebuah misi ilmiah yang dipimpin oleh perempuan untuk meneliti jejak plastik di lautan. Ekspedisi ini melintasi lebih dari 38.000 mil laut, mengarungi empat dari lima pusaran samudra utama dunia, dan melibatkan 30 titik pemberhentian dari Inggris hingga kembali ke Inggris. Dalam perjalanan ini, Kirana bergabung dengan 150 perempuan dari 40 negara, dan Indonesia satu perwakilan. Para perempuan ini berusia 18 hingga 72 tahun dari berbagai negara—Brazil, Australia, Inggris, Amerika Serikat, Malta, Irlandia, hingga Norwegia—yang memiliki latar belakang beragam, dari ilmuwan hingga jurnalis. Selama dua minggu, ia menyelami realitas pahit bahwa laut, yang seharusnya menjadi bentang biru tak bernoda, telah terkontaminasi plastik hingga ke lapisan terdalamnya.



Sebagai perempuan yang sejak kecil terpesona oleh lautan, Kirana meniti jalan panjang untuk memahami dan melindunginya. Ia lahir di Jawa Barat dan menempuh pendidikan di Universitas Padjadjaran, Jatinangor, mengambil Ilmu Kelautan dengan riset yang berfokus pada penguatan komunitas terhadap ikan karang di Raja Ampat. Gelar magister diperolehnya dari University College London dengan beasiswa Chevening, menekuni bidang Environment, Politics, and Society. Kecintaannya pada laut bukan sekadar konsep akademik; pada 2011, ia mendirikan Trees and Coral for Living, sebuah gerakan yang mengedukasi generasi muda tentang pentingnya menjaga ekosistem laut. Kirana juga menginisiasi European Trees and Coral for Indonesia, sebuah kampanye yang memperkenalkan hutan hujan, terumbu karang, dan biodiversitas laut Indonesia ke berbagai universitas di Eropa. Keahliannya kemudian membawanya menjadi konsultan di Kementerian Kelautan dan Perikanan, terlibat dalam proyek Coastal Community Development untuk memberdayakan masyarakat pesisir.



Pelayaran di Atlantik pada 2019 menjadi titik kulminasi dari perjalanan panjangnya. Dengan kapal SV TravelEdge sepanjang 73 kaki, Kirana dan timnya menelusuri gyre—pusaran samudra yang menjadi kuburan plastik dunia—untuk mengumpulkan sampel mikroplastik yang tersebar di laut lepas. Dengan teknologi Fourier-transform infrared (FTIR), mereka menganalisis asal, ukuran, dan jenis plastik yang mengotori perairan. Hasil penelitian ini tak sekadar menjadi data akademis, tetapi menjadi alarm bagi dunia bahwa laut bukan lagi sekadar ekosistem alami, melainkan museum dari limbah manusia. Namun, Kirana menyadari bahwa solusi dari krisis ini tak hanya terletak pada penelitian, tetapi juga pada keterlibatan perempuan dalam ekosistem maritim. Itulah yang mendorongnya mendirikan Perempuan Laut Indonesia pada 2024, sebuah organisasi yang mengadvokasi kesetaraan gender dalam ilmu kelautan dan konservasi.



Apa landasan dasar dari ekspedisi ini?
“Persoalan sampah plastik di laut adalah masalah global yang tidak mengenal batas negara. Arus laut Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dan Hindia menjadikannya salah satu kawasan yang paling terdampak. Mikroplastik yang masuk ke dalam rantai makanan laut bukan hanya mengancam kehidupan biota, tetapi juga manusia yang mengonsumsinya. Melalui ekspedisi ini, kami ingin memahami secara ilmiah bagaimana sampah plastik tersebar di lautan dan mencari solusi berbasis data yang dapat dipertanggungjawabkan.”



Apa alasan spesifik melibatkan kru yang seluruhnya perempuan?
“Kita sering lupa bahwa isu lingkungan tidak terlepas dari isu gender. Mikroplastik yang masuk ke dalam tubuh perempuan dapat berdampak serius pada kesehatan, seperti gangguan hormonal dan peningkatan risiko kanker. Industri kosmetik dan rumah tangga, yang banyak dikaitkan dengan penggunaan plastik, juga erat dengan peran perempuan. Sayangnya, dunia kelautan masih minim penelitian yang berfokus pada perempuan. Dengan ekspedisi ini, kami ingin menyoroti bagaimana perempuan dapat menjadi bagian dari solusi, mulai dari perubahan gaya hidup hingga kebijakan konservasi.”

Apa pesan yang ingin Anda sampaikan terkait aksi menjaga laut?
Everyone has a role to play. Masalah pencemaran laut bukan hanya tentang lingkungan, tetapi juga hak asasi manusia. Ekosistem yang rusak berdampak pada ekonomi masyarakat pesisir, ketahanan pangan, hingga kesehatan global. Perubahan bisa dimulai dari kebiasaan kecil, seperti mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, memilih produk yang lebih ramah lingkungan, dan mendukung kebijakan konservasi. Baik itu ibu rumah tangga, pegawai kantor, siswa sekolah, atau pembuat kebijakan—semua memiliki peran dalam menjaga laut kita agar tetap biru dan lestari.”