10 April 2025
Annisa Fauziah Menawarkan Solusi Bijak Mengatasi Penumpukan Limbah Tekstil di Bumi

Kesadaran akan kondisi Planet Bumi yang semakin tidak baik-baik saja jadi kompas yang menuntun Annisa Fauziah berkiprah. Berawal dari volunter di berbagai komunitas lingkungan semasa sekolah. Saking aktifnya mengurus lingkungan, pilihan tema skripsinya saat kuliah di jurusan Manajemen Bisnis Universitas Paramadina Jakarta pun mengusung isu lingkungan. Ia meneliti perilaku konsumen hijau di sebuah sekolah di Bali—yang menerapkan kurikulum berprinsip keberlanjutan—di mana ia berkenalan dengan banyak pencinta lingkungan yang berpikiran inovatif; sampai akhirnya terlibat pengembangan UMKM berdampak, TRI Handkerchiefs (sekarang bernama TRI Cycle), yang memproduksi barang-barang dengan pendaurulangan kain bekas sebagai aksi perlindungan ekosistem hutan. Dari keterlibatan itu, Annisa menemukan kenyataan bahwasanya kain dan tekstil berkontribusi secara signifikan terhadap rentetan permasalahan lingkungan. Begitu signifikan sampai menempatkan industrinya sebagai penyumbang polutan terbesar nomor tiga di dunia. Kondisi tersebut diperparah oleh peningkatan perilaku konsumsi berlebihan di masyarakat.
Annisa memperluas fungsi TRI Cycle, yang semula berorientasi menawarkan solusi daur ulang inovatif dan mempromosikan ekonomi sirkular; sekaligus mewadahi komunitas di Bali yang menyuarakan sustainable fashion serta nilai-nilai konsumerisme berkesadaran. Aktivitasnya meliputi diskusi forum, hingga festival yang mengumpulkan pelaku industri ramah lingkungan dan pegiat gaya hidup berkelanjutan dalam Sustainable Fashion Fest, di mana ia menggagas program Clothes Swap yang mengajak publik saling bertukar pakaian untuk mewujudkan perilaku bijak konsumsi. Ia turut mengembangkan program layanan pengelolaan limbah tekstil terpadu lewat organisasi Rekynd di bawah naungan TRI Cycle. Geliat perjuangannya memerangi isu sampah juga ia lancarkan bersama Plastic Bank Foundation, sebuah organisasi non-profit yang menyoroti sampah plastik sekaligus mensejahterakan komunitas pemulung selaku kesatria daur ulang.
photo DOC. Annisa Fauziah/Plastic Bank Foundation.
Alih-alih membeli, Anda mengajak agar publik melakukan barter pakaian yang tidak lagi terpakai. Bagaimana cara tersebut berdampak bagi keberlanjutan lingkungan?
“Setiap kali membeli barang baru artinya kita turut andil berkontribusi terhadap produksi barang—yang belum tentu prosesnya menerapkan prinsip berkelanjutan. Ketika semakin banyak terjadi produksi, semakin besar pula risiko eksploitasi terhadap sumber daya alam bumi. Apalagi ditambah konsumerisme yang berlebihan. Penelitian menunjukkan bahwa manusia membeli baju dua kali lipat lebih banyak, tapi menggunakannya dua kali lebih jarang. Dan kebiasaan itu terus meningkat selama 15 tahun terakhir. Dengan bertukar pakaian, kita secara bijak mengolah tumpukan barang-barang tak terpakai, sekaligus berkontribusi menekan rantai polutan praktik konsumtif berpolah-polah. Saya sadar upaya ini tidak serta-merta menurunkan peredaran barang di masyarakat. Tapi setidaknya dapat menanamkan mindset conscious consumerism. Sebab, kalau bicara menciptakan perubahan sistemis gaya hidup, sesungguhnya tidak cukup hanya menuntut dari sisi produsen; konsumen juga memegang kunci penting.”
Jelaskan keterkaitan antara pakaian dan bahaya eksploitasi lingkungan.
“Kehadiran industri fast fashion telah membuat produksi pakaian kian tak terkontrol. Untuk memasok bahan baku alami, penanaman kapas secara intensif butuh banyak air dan pestisida. Pembukaan lahan pertanian kapas pun sering kali menuntut deforestasi dan degradasi tanah. Di sisi lain, pelestarian tanah serta hutan tidak berimbang. Penggunaan serat sintetis seperti poliester semakin memperburuk isu mikroplastik yang mencemari air dan lautan. Sejumlah produsen dan merek fashion yang peduli telah mengambil sikap dengan menggunakan bahan-bahan organik. Tapi penerapan prinsip itu membutuhkan proses yang lebih hati-hati dengan rentang waktu lebih panjang. Alhasil, harga produk sustainable menjadi lebih mahal. Jadi bayangkan besarnya effort yang diperlukan untuk memproduksi sebuah pakaian, yang hanya akan jarang-jarang kita kenakan. Di sini kita bukan menentang produksi pakaian, tetapi melawan dorongan konsumtif berlebihan sehingga sampah di bumi dapat berkurang. Let’s normalize having just enough clothes to wear.”
Apa pendapat Anda tentang thrifting?
“Sebuah alternatif baik selama tetap memperhatikan esensi conscious consumerism. Tetap jaga pola konsumsi saat thrifting agar tak sekadar jadi cara lain konsumsi berlebihan. Beberapa hal penting yang juga perlu kita perhatikan saat thrifting yaitu asal-usul barangnya. Kalau dari luar negeri, berarti ada pengiriman internasional yang perlu diperhatikan jejak emisi karbonnya sampai ke Indonesia. Thrifting dari sumber-sumber lokal bisa jadi opsi yang baik.”
photo DOC. Annisa Fauziah/Tri Cycle.
Bagaimana Anda menilai rapor Indonesia dalam konsumerisme berkesadaran?
“Belum ideal, namun riset mempelajari tren mengonsumsi produk ramah lingkungan terus meningkat selama sepuluh tahun terakhir di kalangan masyarakat Indonesia—terutama di antara milenial dan gen Z. Kita perlu lebih kritis memahami tujuan konsumsi; bagaimana kita bertanggung jawab terhadap kepemilikan kita agar, jika mustahil mengurangi, paling tidak tak menambah produksi limbah sampah di Planet Bumi.”
Bagaimana melatih diri lebih kritis perihal konsumsi?
“Dengan mempertanyakan manfaat setiap konsumsi kita, baik benda yang kita beli hingga yang didapatkan gratis. Siapa yang tidak suka benda gratis; tapi apakah kita akan menggunakan dengan baik, atau hanya sekali pakai lalu buang? Saat ‘membuang’ pakaian biasakan tetap bersikap bijak. Salurkan ke tempat-tempat pendonasian yang terorganisir dengan sistem manajemen waste yang baik. Perihal itu yang kami upayakan di Rekynd; kami merancang solusi pengelolaan limbah tekstil dengan bekerja bersama berbagai komunitas bisnis, masyarakat, hingga pengepul lokal untuk memilah dan mengoptimalkan pemanfaatan kembali kain-kain sebelum benar-benar berakhir di TPA. Dengan cara-cara itu, harapannya pelan-pelan mindset kita akan terbiasa kritis ketika kita mau mengonsumsi.”