LIFE

22 April 2022

Tiza Mafira Perjuangkan Revolusi Ekologi lewat Advokasi Hukum


Tiza Mafira Perjuangkan Revolusi Ekologi lewat Advokasi Hukum

Lewat advokasi hukum yang mendukung sistem keberlanjutan dan kelestarian alam, Tiza Mafira memperjuangkan revolusi ekologi demi menyelamatkan Bumi dari krisis lingkungan.

Hubungan perempuan dengan lingkungan telah mengakar cukup lama. Di era kontemporer, ekofeminisme memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara degradasi lingkungan dan subordinasi perempuan. Dalam perspektif esensialitas, perempuan dianggap memiliki wawasan penting dalam pelestarian lingkungan karena kapasitas emosional dan sifat khas perempuan yakni merawat, memelihara, sekaligus menjunjung nilai kepedulian. Maka keterlibatan perempuan dalam perjuangan menyelamatkan Bumi dari krisis lingkungan menjadi amat penting. Tiza Mafira menjadi salah satu perempuan yang melakukan upaya pelestarian alam. Dia adalah sosok di balik penerapan kebijakan pemerintah yang melarang penggunaan kantong plastik di sejumlah wilayah di Indonesia. Tahun 2013, Tiza mendirikan organisasi nirlaba Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) dan sejak itu ia bekerja sama dengan pemerintah dan komunitas untuk mengadvokasi adanya perubahan kebijakan dan pembatasan plastik sekali pakai. Tiza menginisiasi pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai di Kawasan ritel dan berhasil mendorong lebih dari 70 daerah di Indonesia untuk melarang pemakaian kantong plastik, termasuk Jakarta dan Bali.

Lahir tahun 1984, Tiza Mafira adalah seorang ahli hukum dan kebijakan lingkungan, dengan spesialisasi perubahan iklim dan pengelolaan sampah. Meraih gelar sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan menyelesaikan studi master di Harvard Law School, Cambridge, Amerika Serikat. Lulus kuliah, Tiza memulai perjalanan karier di McKinsey & Co lalu bekerja di kantor staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan bertugas merumuskan kebijakan Presiden tentang perubahan iklim dan melakukan analisis laporan Presiden terkait isu politik dalam hubungan internasional. Ia kemudian bekerja di perusahaan nonprofit berbasis lingkungan CERES di Boston, Amerika Serikat, sebelum akhirnya tahun 2008 melanjutkan karier di kantor pengacara Makarim & Taira S selama 6 tahun. Tiza juga aktif sebagai pengajar mata kuliah Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim di Universitas Pelita Harapan dan Universitas Indonesia, dan sejak 2014 silam Tiza Mafira memimpin lembaga riset Climate Policy Initiative Indonesia. Salah satu tugasnya yakni memberikan analisis hukum dan rekomendasi strategi kebijakan perubahan iklim dan isu-isu kehutanan melalui penggunaan lahan dan percepatan energi terbarukan yang efisien.

Photography ADRIAN ILMAN

Anda mengadvokasi kebijakan plastik berbayar yang kini menjadi peraturan pelarangan kantong plastik di sejumlah wilayah di Indonesia. Apa landasan perjuangan Anda?

“Sejak kecil, saya selalu melihat kerusakan lingkungan sebagai sesuatu yang tidak logis. Manusia merusak lingkungan, menyebabkan Bumi sakit, dan akhirnya membuat hidup kita sendiri jadi tidak nyaman. Dua tahun sebelum resign dari kantor law firm, saya mulai menjadi relawan di berbagai komunitas lingkungan. Mengenal berbagai organisasi, menjalin jejaring, sampai akhirnya membuat petisi yang meminta agar kantong plastik tidak diberikan secara gratis. Dari petisi ini, saya bertemu dengan berbagai komunitas kemudian kami sepakat untuk membentuk organisasi sendiri, Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik. Butuh waktu 3 tahun untuk mengumpulkan 70.000 tanda tangan yang kemudian kami serahkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tahun 2016, pelarangan kantong plastik mulai diujicoba dengan harga jual Rp200,-. Warga Banjarmasin lantas mengusulkan agar kantong plastik sepenuhnya dilarang dan Banjarmasin menjadi wilayah pertama di Indonesia yang melarang pemakaian kantong plastik. Selama 6-7 tahun kami melakukan pendampingan di berbagai pemerintah daerah, sampai akhirnya per hari ini ada 70 kota dan kabupaten di Indonesia yang sudah melarang penggunaan kantong plastik.”

Bagaimana dengan pasar tradisional yang masih sulit melepaskan ketergantungan pada kantong plastik?

“Sejak tahun 2019 kita sedang menjalani program uji coba peraturan Pasar Bebas Plastik yakni di Pasar Tebet Barat di Jakarta dan beberapa pasar di wilayah lain yakni Bogor, Bandung, Surabaya, dan Bali. Masih berproses dan tentu ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Sempat ada perdebatan panjang untuk memberlakukan pelarangan plastik di pasar tradisional, warung, restoran, kafe, dan online delivery. Namun agaknya kita masih belum siap untuk menerapkan regulasi dengan banyak pertimbangan. Restoran menyajikan makanan basah yang tidak mungkin tidak pakai plastik. Dan rasanya mustahil mengawasi semua warung agar tidak menggunakan plastik. Yang paling memungkinkan adalah supermarket, karena barang-barang yang mereka jual sudah terbungkus dan tertutup kemasan. Mudah-mudahan kami bisa konsisten mencari solusi untuk semua tantangan karena pasar tradisional menjadi penting sekali untuk dibantu agar sepenuhnya bebas plastik.”

Kegiatan membersihkan pantai di Pulau Damar, Kepulauan Seribu, tahun 2018.
Photography dok. Tiza Mafira

Apa yang sebetulnya menjadi masalah ketika kita bicara soal sampah plastik?

“Indonesia saat ini menyandang gelar sebagai negara kedua terbesar di dunia penyumbang sampah plastik ke lautan. Sampah plastik terlihat kecil, tapi urusannya bisa panjang sekali. Dibuang ke tanah, tidak akan terurai dan malah mengganggu tanaman. Dibuang ke laut, plastik hanya akan menjadi mikroplastik yakni potongan-potongan kecil yang kurang dari 5 milimeter. Mikroplastik akan termakan oleh ikan, masuk ke dalam tubuh ikan, kemudian ikan-ikan dikonsumsi dan sampah plastik kembali lagi ke manusia. Bayangkan di masa depan, setelah hutan dihabisi, sumber protein manusia akan bergantung kepada laut. Dan menurut World Economic Forum dalam The New Plastics Economy Rethinking the Future of Plastics, pada tahun 2050 jika kita tidak berubah, jumlah mikroplastik di lautan akan lebih banyak daripada jumlah ikan.”

Apa yang penting dan perlu dipahami?

“Bahwa 40% plastik yang diproduksi bentuknya adalah sekali pakai dan ini banyak digunakan oleh industri pangan dan toko kelontong (supermarket dan minimarket). Selama 15 tahun terakhir, jumlah pemakaian kantong plastik sekali pakai makin meningkat tajam. Plastik memang bahan yang cukup ideal karena dia murah sekaligus sangat kuat dan tidak bisa degradasi selama ratusan tahun. Tapi kenapa benda sekuat itu malah dirancang untuk dipakai hanya beberapa menit? Harus dipahami bahwa kita bukan sedang memerangi plastiknya, melainkan melawan dorongan untuk konsumtif dan membuang-buang barang. Sejatinya hidup minim sampah bukan berarti tanpa plastik, tapi bagaimana kita bertanggung jawab menghindari yang sekali pakai dan terus berusaha untuk mengurangi sampah di Bumi.”

Bagaimana Anda menyikapi sikap skeptis terhadap persoalan lingkungan?

“Rasanya mustahil mengharapkan semua orang memikirkan keadaan Bumi 10 tahun mendatang ketika kondisi hidup mereka minggu ini saja mungkin belum jelas. Ketimbang memaksa apalagi menghakimi gaya hidup orang lain, saya memilih untuk fokus mengubah aspek kebijakan karena isu lingkungan jadi terasa merepotkan buat banyak orang karena sistemnya tidak mendukung. Memang penting untuk mengubah gaya hidup kita, tetapi yang tak kalah genting adalah perubahan ini harus dilakukan secara masif dan dijalankan bersama-sama. Setelah diri kita sendiri berubah, mulailah mengajak orang-orang sekitar. Kemudian kritis pada hal-hal lain seperti pola konsumsi dan kebijakan pemerintah. Ketika banyak orang bersuara dan berusaha untuk berubah, saat itulah kita bisa mulai merasakan adanya perbaikan.”

Apa pendapat Anda tentang greenwashing?

“Suatu problem yang penting untuk diperhatikan. Marketing menjadi senjata utama perusahaan untuk menjual produk. Dan kini mereka menggunakan sentimen publik yang sekarang sudah mulai punya kepedulian lingkungan dengan membuat strategi penjualan berkonsep ramah lingkungan padahal belum tentu benar-benar sustainable. Ada banyak teknik marketing yang menanamkan persepsi bahwa lebih baik membeli dalam bentuk refill pouch karena lebih ramah lingkungan ketimbang kemasan botol. Kenyataannya, botol dapat didaur ulang tetapi pouch belum tentu. Menurut Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia, tingkat daur ulang botol 60% sedangkan pouch memiliki recycling rate yang sangat rendah karena tidak banyak kemasan pouch bisa didaur ulang. Sama halnya dengan saset, contoh produk berbahaya yang sangat mengotori banyak pesisir di Indonesia. Produk berbentuk saset memiliki multilayer packaging yakni lapisan kertas dan plastik perak yang membuat dia tidak bisa didaur ulang. Sehingga menjadi tanggung jawab produsen untuk memikirkan bagaimana seharusnya kemasan produk dalam ukuran kecil.”

Bagaimana Anda mengartikan gaya hidup berkelanjutan?

“Bahwa aturan pertama hidup ramah lingkungan adalah selalu menggunakan apa yang sudah dimiliki atau reuse (guna ulang). Mengurangi konsumsi dan selalu mawas diri terhadap apa yang kita konsumsi. Jika benar-benar ingin mengatasi persoalan sampah, maka gunakan tas belanja dan peralatan makan yang ada di rumah. Tidak perlu membeli yang baru jika akhirnya hanya menumpuk jadi sampah. Termasuk mengurangi belanja baju karena pakaian yang tidak terpakai sesungguhnya adalah sampah yang terus menumpuk. Ini yang disebut dengan konsep sustainability. Tidak mengeluarkan tenaga untuk memproduksi yang baru dan tidak perlu membuang apa yang sudah dimiliki. Sebab sejatinya semua permasalahan lingkungan berawal dari konsumsi manusia yang berlebihan yang salah satunya disebabkan karena produksi berlimpah. Sehingga penting juga bagi konsumen untuk cerdas menentukan sikap dan pilihan. Membeli karena memang benar-benar membutuhkan, bukan sekadar mengikuti tren yang pada akhirnya hanya membuat sumber daya Bumi terus-menerus tergerus.”