LIFE

20 September 2021

Yamina Benguigui Melantangkan Suara Kemanusiaan Lewat Karya


Yamina Benguigui Melantangkan Suara Kemanusiaan Lewat Karya

Lewat sederet judul film dan dokumenter Yamina Benguigui menyorot tema-tema signifikan yang jarang tersentuh dan hampir tak pernah dibahas, sekaligus berupaya menyajikan ragam perspektif yang inspiratif. Oleh MICHÈLE FITOUSSI.

Yamina Benguigui tak mengenal kata lelah. Selama berkarier, ia telah memperjuangkan berbagai bidang mulai dari persoalan imigrasi, edukasi, keberagaman, feminisme, rasisme, pemerkosaan dan genosida, hingga isu lingkungan. Ia turut menyorot berbagai ihwal krusial dunia—tidak hanya yang terjadi di belahan Barat, tapi juga di Maghreb, Afrika Sub-Sahara, dan Amazonia. Karya-karyanya telah memenangkan berbagai penghargaan sekaligus menjadi bahan studi bagi sejumlah universitas terkemuka di Amerika. Pada tahun 2012, Benguigui menduduki posisi Menteri Negara Urusan Luar Negeri untuk Prancis dan La Francophonie. Ia sendiri memiliki prinsip bahwa, “Apabila Anda tidak mengetahui sejarah hidup Anda, maka Anda telah mengkhianati hidup itu sendiri.”

Film Anda yang berjudul Sisters mengacu pada memori pribadi sekaligus konflik imigrasi. Apakah hal ini merupakan bentuk dari eksplorasi karier Anda?

“Sesungguhnya film ini bercerita tentang kisah yang tak kunjung usai. Mengenai anak-anak perempuan di imigrasi Algeria yang lahir di Prancis. Dalam lingkaran sosial kami, psikoanalisis bukan hal yang lazim. Melakukan konsultasi dengan pakar psikologi analisis dipandang sebagai bentuk pengkhianatan terhadap keluarga. Saya sendiri datang dari generasi yang terbiasa menceritakan kisah-kisah dalam bentuk karya tulis, film, ataupun musik. Namun kami tidak pernah memiliki keberanian untuk mengupas akar budaya kami, menjelaskan tentang dari mana kami berasal. Lewat film Sisters, saya mengisahkan rasa sakit hati yang telah terpendam dalam diri saya sejak lama. Cerita ini diawali oleh suatu tragedi di mana para ayah mengambil anak-anak dari ibu mereka lalu membawa mereka bermigrasi dan kemudian mengajukan cerai. Bahkan hingga hari ini, peristiwa penculikan serupa masih kerap terjadi. Namun ironisnya hal ini sangat jarang dibicarakan. Dalam film dokumenter Mémoires d’immigrés, serta karya fiksi seperti Inch’Allah Dimanche, saya berupaya memahami persoalan besar bahwa demi terciptanya pembebasan, ada harga yang harus dibayar untuk setiap hak para perempuan imigran yang telah direnggut. Ibu kami hidup pada masa tahun 1970-an, persis ketika gerakan feminisme mulai melahirkan karakter-karakter kuat. Namun sayangnya, ibu kami tak pernah terlihat. Para feminis tak pernah tahu keberadaan ibu kami, dan barangkali karena itu mereka tak pernah saling berhubungan. Lebih jauh, ibu kami merasa apa yang terjadi bukan suatu pertarungan sehingga mereka pun berdiam diri. Namun kini, zaman telah berubah. Pertanyaannya, jika di dunia ini para ibu mempunyai hak untuk melindungi anak-anaknya, lalu mengapa kenyataannya jauh berbeda di wilayah Mediterania? Mengapa seolah hanya sosok ayah yang punya hak untuk membawa pergi anak-anak mereka? Sedangkan kondisinya sang anak tak menyadari bahwasanya mereka sedang dipisahkan dari ibunya sendiri.”

Di Sœurs (Sisters), Anda memasang aktris yang berasal dari Algeria: Isabelle Adjani, Maiwenn, dan Rachida Brakni. Apakah hal ini penting bagi Anda?

“Sangat penting. Karya film merupakan kombinasi antara fiksi dan realita. Agar dapat tetap setia pada fakta, saya menginginkan pemain yang berasal dari Algeria. Sebab saya menciptakan naskah yang berbicara tentang mereka. Sehingga ini bukan soal sekadar bermain film, tapi juga bagaimana mengolah pengalaman pribadi masing- masing dalam memerankan karakter.”

Film Anda melibatkan sejumlah perempuan yang mengusung emansipasi. Apakah Anda melihat adanya perubahan dalam sikap kehidupan sosial?

“Perubahan itu selau ada. Masih banyak perempuan seperti Aïcha, Zouina (nama-nama peran di film Inch’Allah Dimanche), dan Yamina yang tersebar di seluruh kota. Saat baru mulai membuat film, saya sutradara pertama yang berasal dari Afrika Utara. Namun kini, ada banyak sekali sutradara dan penulis perempuan berlatar belakang imigran. Hal ini menjadi bukti bahwa meritokrasi telah berhasil. Pada 2005, saya membuat Le Plafond de Verre, film dokumenter yang masih relevan sampai sekarang karena kami
masih saja terjebak dalam persoalan yang sama. Terhitung sejak tahun 2001, ada banyak konflik terjadi terkait pergerakan Islam yang mulai kentara di mata dunia, khususnya Islam politik. Orang-orang mulai memiliki kekhawatiran, nama-nama muslim kian dicurigai. Sejak film dokumenter saya dirilis, Mémoires d’immigrés, pergerakan rakyat sekonyong-konyong berpindah ke arah agama. Padahal bukan itu yang kami harapkan. Yang kami inginkan sesungguhnya adalah memberantas kesemena-menaan dari penguasa yang kerap terjadi di sejumlah penjuru kota. Pada satu titik, terdapat ribuan muslim bekerja di pabrik, namun tiba-tiba pabrik-pabrik itu ditutup. Tidak ada pekerja yang tersisa. Hingga generasi berikutnya memutuskan untuk tidak bekerja karena masyarakat Prancis tidak ada yang mau menggaji seorang muslim sebagai manajer meskipun ia berbekal gelar sarjana. Kini, perempuan berusia 25–30 tahun menjadi anak-anak dari generasi yang menolak untuk bekerja dan membuat perubahan tersebut. Generasi lain telah beranjak membuat perubahan. Dan kini, para generasi muda sangat menyayangkan hal ini.”

Dulu, para feminis berjuang melawan hak untuk mengenakan kerudung, sesuatu yang bertentangan dengan nilai- nilai sekuler. Sedangkan saat ini, neo-feminis justru memiliki pendapat yang berlawanan. Bagaimana pendapat Anda?

“Generasi pertama, di mana menjadi bagian dari saya, berjuang untuk kemerdekaan. Pada masa itu, memiliki prinsip berbeda di tengah masyarakat dianggap sebagai perilaku ekstrem sekaligus kontroversial. Sebagai contoh, industri film dipandang sebagai sesuatu yang maskulin. Dalam lingkup keluarga, kami harus bersusah payah untuk mencapai kemandirian, dan bahkan sangat sulit untuk mendambakan cita-cita menjadi seorang aktris atau sutradara. Kami dihantui berbagai ancaman mengerikan, misalnya diusir dari rumah akibat keluarga tidak setuju dengan keputusan Anda. Saat itu kami bukan hanya dihantui konsekuensi berat dari sisi agama, tapi juga dipertanyakan secara budaya. Namun generasi saat ini jauh berbeda. Pada masa ini, perempuan menghormati dan mencintai dirinya dengan berbagai keunikan yang dimiliki. Mulai dari warna kulit, hingga persoalan penggunaan kerudung. Lalu mengapa hal ini kerap dikaitkan sebagai masalah agama? Mampukah mereka melakukan apa yang mereka inginkan sebagai manusia? Haruskah mereka mematuhi aturan masyarakat? Bagi saya pribadi, fenomena ini menjadi sebuah perenungan akan identitas kita sebagai manusia.”

Anda sudah tidak berkecimpung di dunia politik. Apakah Anda mengalami kekecewaan?

“Ketika membuat film, kita berupaya mengedukasi. Sedangkan dalam politik, kita berusaha melakukan tindakan nyata. Setelah membuat
Le plafond de Verre, Bertrand Delanoë (mantan Walikota Paris) membuat delegasi di Balai Kota Paris untuk saya, yang bertugas untuk melawan diskriminasi dan membela hak asasi manusia. Hingga hari ini, program saya hampir selalu digunakan. Setiap saat Anda bisa datang untuk melaporkan diskriminasi dan mencari pembelaan. Menjadi Menteri bagi La Francophonie adalah hal yang saya senangi, karena saya dapat menggunakan suara saya di seluruh negara berbahasa Prancis. Seketika saya pun menempatkan hak-hak perempuan di dalam agenda. Pemerkosaan dan genosida terjadi hampir di seluruh lokasi yang tengah dilanda peperangan akibat konflik, seperti di Sahel dan Republik Demokratik Kongo. Berbekal izin dari Presiden Hollande, saya dipersilahkan untuk pergi mengunjungi tempat-tempat ini. Di Kongo, saya tiba di sebuah kamp yang menampung sebanyak 60.000 perempuan, yang semuanya telah mengalami pemerkosaan secara brutal. Karena memberi perhatian pada hal ini, saya dikritik keras di Quai d’Orsay, Paris. Walau demikian, saya berhasil mengumpulkan 2 juta Euro untuk rumah sakit Panzi yang dikelola oleh Dr Mukwege (penerima hadiah Nobel Perdamaian tahun 2018) untuk memberi perawatan bagi perempuan korban perang. Saya berusaha memajukan negara- negara yang pernah saya kunjungi. Seperti pada asosiasi perempuan di Tunisia yang menjadi sasaran setelah serangan Bardo terjadi. Di Kongo, saya mengajukan undang-undang untuk memasukkan kapasitas 30% perempuan dalam daftar kandidat pemerintahan. Saya pun telah menyaksikan kebrutalan di Majelis Nasional. Demi membantu mereka, kata ‘tidak’ nyatanya tak cukup kuat untuk menghentikan saya. Namun apa pun itu, saya tetap tidak tertarik dengan politik yang terjadi di dalam politik.”

Lebih dari satu tahun pandemi, menurut Anda bagaimana hal ini memengaruhi kehidupan perempuan?

“Para perempuan rentan pada kecederaan. Saya menyaksikan banyak ibu rumah tangga yang mengalami kelelahan luar biasa. Belum lagi persoalan kekerasan rumah tangga yang kerap terjadi dan anak-anak sering kali ikut terseret sebagai korban. Di setiap keluarga, figur perempuan yang dianggap paling bertanggung jawab, harus bisa diandalkan, sekaligus menjadi pihak yang paling menyesal apabila terjadi hal buruk. Misalnya saya mengambil ilustrasi dari seorang ibu yang berasal dari Senegal. Ia sangat dihormati karena empati dan kekhawatiran besarnya hingga berinisiatif mengawasi koridor komplek perumahan untuk mencegah masuknya para pengedar narkoba. Namun ketika pandemi melanda, ia hanya bisa menangis. Karena di luar kuasanya, ia dipaksa membiarkan hal itu terjadi walau nuraninya menentang keras hal yang kelak merusak keluarganya. Dari contoh ini kita dapat melihat sekali lagi bahwa perempuanlah yang membayar untuk banyak kejadian.”

Anda baru saja membuat film dokumenter di Sungai Kongo, The Last Lung of the World. Apa yang membawa Anda ke ranah ekologi? 

“Semuanya berawal ketika saya bekerja dengan Danielle Mitterrand (mantan Ibu Negara Prancis) di yayasan France-Libertés miliknya. Beliau memiliki sejumlah inisiatif, salah satunya terhadap persoalan air. Beliau juga sangat terinspirasi oleh kepala suku Amazon, Raoni Metuktire —salah satu figur yang pertama mengatakan bahwa Sungai Amazon, paru-paru pertama dunia, sedang mengalami penghancuran. Tahun- tahun berlalu dan saya bersama tim tengah mempersiapkan COP 21 (The Paris Climate Conference). Saya baru saja melakukan perjalanan ke sejumlah destinasi di Afrika dan memutuskan untuk membahas topik ekologi

ini dengan membuat film tentang lembah sungai Kongo. Saya berangkat untuk melihat sendiri lahan gambut tersohor (lebih besar dari luas Britania Raya) yang merupakan gudang besar penyimpan karbon dioksida (CO2) dan seketika memahami tujuan Afrika sesungguhnya: untuk melindungi planet ini dengan tidak mengganggu eksistensi lahan tersebut dan membiarkannya lestari. Warga Afrika adalah penjaga masa depan. Tapi sejujurnya, apa untungnya bagi mereka? Selama ini tidak pernah ada yang menghargai mereka untuk apa yang telah mereka lakukan bagi dunia.”

Lalu apa yang terjadi setelah film ini?

“Walau pandemi melanda, film ini tetap ditayangkan di Guinea dan negara-negara Sungai Kongo. Pemanasan global juga melanda Danau Chad. Sebanyak 40 juta orang biasanya mengambil air dari danau, namun kini danau tersebut kian mengering. Saat ini saya masih membuat film tentang kota-kota di Afrika. Ironisnya, dalam upaya menyelamatkan planet Bumi, kita sangat luar biasa terlambat.”