CULTURE

22 Agustus 2022

Agus Suwage Menarasikan Pemikiran Lewat Seni Potret Diri


Agus Suwage Menarasikan Pemikiran Lewat Seni Potret Diri

courtesy of Museum MACAN

Potret persona menyiratkan sejuta pemikiran. Lewat potongan-potongan rautnya, Agus Suwage secara intim menjabarkan serangkaian narasi perenungan.



Agus Suwage memperkenalkan diri ke hadapan publik seni pada 27 tahun silam. Sarjana program studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknik Bandung itu melepaskan pencaharian sebagai desainer grafis, dan menapaki kehidupan seniman demi memenuhi panggilan jiwanya secara utuh. Langkah monumentalnya ditandai oleh sebuah pameran tunggal tahun 1995 di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta. Ia mempertontonkan serangkaian karya potret persona berisikan wajahnya sendiri, yang lantas mencuatkan namanya ke tengah pusaran seni rupa kontemporer sejak era ’90-an. Personalitas yang ia hadirkan dalam gubahan-gubahan ekspresif satire pemikiran perseptif terkait konteks sosial kehidupan bermasyarakat mampu—secara ringan namun mendalam— menyentuh rasa siapa saja yang memandang.

Tahun ini, melalui pameran bertajuk The Theatre of Me yang bertempat di Museum MACAN, sang perupa kelahiran Purworejo, 14 April 1959, kembali mendefinisikan hubungannya dengan seni yang telah menyalakan gairah kehidupannya sepanjang hayat.

Self-Portrait as Politicians (2019)


Apakah Anda seorang narsistik?

“Saya hanya sangat menyukai tantangan. Kali pertama mengerjakan karya potret diri dan berencana menggelar pameran (tahun 1995), rasa tidak percaya diri sempat memenuhi hati. Apalagi teman-teman turut berpendapat, ‘siapa yang mau membeli wajahmu?’ Mendengarnya semakin menambah keraguan untuk menggelar pameran karya berisikan wajah sendiri. Sementara pada waktu itu, saya sudah menetapkan jalan untuk menjadi seorang seniman seutuhnya. Kesenian adalah sumber kehidupan saya. Siapa sangka justru karya self- portrait menjadi tonggak kehidupan saya sebagai seorang seniman.”

Lantas apa yang mendorong keyakinan Anda tetap melanjutkan karya tersebut, bahkan Anda pertahankan sampai hampir tiga dekade setelahnya?

“Karena saya menyukai tantangan yang disuguhkan, dan sikap saya cukup tegas saat sudah menetapkan prinsip. Barangkali sebab itu, saya menjadi dablek. Contoh saja, saya cukup gemar menggunakan kertas sebagai medium melukis. Zaman dulu, di periode awal berkarya, hidup dari lukisan kertas sangat sulit sekali. Belum banyak orang yang memahami cara menghargai seni di atas kertas pada masa itu. Kendati saya maklum; bagi saya pribadi, seni sesungguhnya tidak bisa dinilai dari mediumnya. Ketika kita menebus seni, pun kita turut bertanggung jawab melestarikannya.”

Yin Yang (2003)


Pasalnya lumrah jika setiap orang memiliki idealisme yang tidak bisa digugat.

“Saya pikir hidup adalah tentang menjalaninya secara seimbang. Omong kosong jika ada orang yang mengatakan tidak butuh materi. Saya pun sadar bahwa kesenian saya merupakan tonggak kehidupan saya. Meski demikian materi juga tidak lantas di atas segalanya. Buat saya, idealisme perlu dipelihara, namun dengan tetap bijak.”

Sebagian besar karya Anda menggurat rupa-rupa manusia—selain potret diri, juga ada beberapa di antara karya Anda menampilkan figur budaya pop ternama. Sebenarnya apa yang begitu indah dari persona seorang manusia di mata Anda?

“Setiap manusia memiliki keindahan masing- masing. Keindahan-keindahan tersebut, dengan caranya sendiri, dapat memberikan pengaruh bagi orang lain. Saya pikir, bentuk kekuatan itu yang menjadikan potret manusia begitu menarik untuk dijelajahi. Saat saya menggambar orang lain,adalah bentuk penghormatan saya terhadap sosok-sosok tersebut; ideologi mereka, pemikiran mereka, dan apa yang mereka torehkan bagi dunia ini.”

Lalu ketika mengangkat figur sendiri sebagai objek karya, apa yang menjadi landasan berpikir Anda?

“Saya berpandangan di saat kita hendak mengkritisi sesuatu, atau seseorang... alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu bercermin pada diri sendiri. Apakah diri kita sendiri sudah cukup baik sebagai seorang manusia? Dari perenungan ini saya menemukan kesadaran akan pemosisian persona diri sendiri sebagai medium ekspresi terhadap suatu persoalan. Saya tidak semata-mata menampilkan wajah sendiri. Saya menambahkan elemen-elemen ekspresif seperti menggubah kepala hewan, buah-buahan, tabung gas, cermin, dan rupa-rupa lainnya, sebagai metafora yang merepresentasikan pemikiran saya terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar yang mengganggu nurani—yang pada waktu itu kegelisahan saya banyak dipantik oleh isu-isu politik termasuk kesenjangan sosial yang tengah terjadi di negeri ini.”

Belakang ke depan: Potrait Diri dan Panggung Sandiwara (2020), Ojo Gumun, Ojo Dumeh (2001-2003); photo courtesy of Museum MACAN


Apakah kegelisahan yang sama masih menyelimuti Anda saat menggubah karya ‘Potret Diri dan Panggung Sandiwara’, yang menjadi tajuk pameran The Theatre of Me?

“Saya membuat karya tersebut di tahun 2019, khusus untuk pameran ini. Ada sekitar 60 lukisan self-portrait yang saya gubah berafiliasi dengan rupa entitas lainnya. Sebagai manusia, kita punya kecenderungan tidak konsisten dalam bersikap. Kita kerap bertindak dengan menghalalkan segala cara. Karya ini adalah metafora atas respon kritis saya terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan tersebut.” 

Terdengar seperti déjà vu.

“Ide awalnya memang sebenarnya merupakan kelanjutan dari seri karya self-portrait terdahulu, di mana saya menjadikan potret diri sebagai medium untuk mengekspresikan unek-unek dan pemikiran saya.”

Ya, Anda pernah berujar bahwasanya karya Anda sebenarnya merupakan repetitif. Apakah Anda melakukannya dalam tujuan tertentu?

“Tidak. Saya baru sadar melakukan praktik ‘mendaur ulang’ tersebut di tahun 2015 silam, lewat seorang teman yang juga kurator seni, Enin Supriyanto. Ia menarik garis merah dalam karya saya dari tahun ke tahun, dan menemukan bahwa terkadang saya ‘memanggil ulang’ tema-tema yang pernah diangkat; saya garap lagi dengan cara atau media yang baru. Misalnya, dari dua-dimensi menjadi tiga-dimensi.”

Bagaimana gagasan Anda tentang kebaruan?

“Saya percaya bahwa tidak ada ide yang benar- benar orisinal. Sebab sedari lahir, pemikiran- pemikiran manusia bertumbuh dengan mendapatkan pengaruh-pengaruh dari lingkungan di sekitarnya. Dalam hidup tentu kita harus berjalan selaras zaman. Namun seiring waktu dan bertambah usia, saya merasakan kebebasan yang lebih dalam berekspresi. Saya telah sampai di titik tidak lagi menetapkan diri pada satu konsep rupa tertentu dalam satu waktu. Cukup ikuti naluri apa yang sedang ingin disuarakan. Tidak ada beban.”