CULTURE

17 Agustus 2020

Arahmaiani Lantang Bersuara Lewat Karya Rupa


Arahmaiani Lantang Bersuara Lewat Karya Rupa

Lewat jalur seni, Arahmaiani mengukuhkan diri sebagai aktivis kemanusiaan yang menyuarakan perjuangan tanpa kekerasan.

Salah satu figur penting dalam perkembangan seni rupa kontemporer sekaligus pelopor seni performans di Indonesia. Karya Arahmaiani menyentuh persoalan kekerasan, diskriminasi, feminisme, seksualitas, agama, kapitalisme, dan industrialisasi. Tahun 1992, ia menyelesaikan kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Ketika dosen memberi tugas melukis dengan cat minyak, ia justru melukis dengan arang. Alasannya, harga arang lebih murah dan membuka kesempatan bereksperimen. Dosen marah dan ia tidak lulus mata kuliah tersebut. Arahmaiani lantas menulis puisi protes dan menggambar di dinding koridor kampus. Lukisan-lukisan arang tersebut dipajangnya di sepanjang koridor. Ia juga pernah mengritik Orde Baru dengan menggambar tank baja dan menulis puisi di jalanan. Hasilnya, tentara menangkap Arahmaiani. Ia diinterogasi lalu dibebaskan bersyarat setelah seorang dokter menyatakan ia menderita gangguan mental.

Arahmaiani adalah seniman kontroversial. Sejak 1980-an, karya-karyanya banyak menuai reaksi keras dari komunitas agama dan politik yang berakibat hukuman penjara dalam waktu singkat pada tahun 1983. Tahun 1993, pameran tunggal pertamanya berlangsung di Studio Oncor di Jakarta, didukung penyair Toeti Herati, Tajuk pameran cukup kontroversial, Seks, Agama, dan Coca Cola. Sebelum pameran dibuka, ia menyadari dua karyanya hilang, yakni Etalase dan Lingga-Yoni. Ray Sahetapy, pemilik Studio Oncor, memberitahunya bahwa sejumlah orang menuduhnya menghina Islam. Arahmaiani dituduh menista agama karena melukis kelamin laki-laki dan perempuan lalu menyertakan aksara Arab bersama objek tersebut dalam karya Lingga-Yoni.

arahmaiani
photography DOC. ARAHMAIANI

Bagaimana kisah perkenalan Anda dengan seni?

“Sejak kecil, persisnya saat di taman kanak- kanak, saya senang sekali menggambar, melukis, menyanyi, bermain musik, dan menari. Saya juga suka menulis cerita pendek dan puisi. Lama- kelamaan, saya selalu merasa senang bila melihat karya seni rupa, tari, dan teater. Dari perkenalan sejak masih anak-anak, rasanya hingga kini saya tidak pernah tidak menyenangi seni. Apa pun bentuknya. Semakin dewasa, kecintaan itu semakin menjadi-jadi. Karena itulah saya akhirnya memilih untuk belajar di sekolah seni rupa. Saya mendaftarkan diri di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Kemudian diterima di kedua lembaga tersebut. Namun ayah dan ibu meminta saya untuk kuliah di ITB agar tetap tinggal bersama mereka di Bandung.”

Apa sebabnya Anda sering menyuarakan persoalan perempuan ke dalam bentuk karya seni?

“Barangkali berawal dari kebiasaan senang membaca buku sejak kecil. Ayah saya, Yusuf Amir Feisal, seorang kyai sekaligus politisi. Saya kemudian menjadi akrab dengan berbagai masalah budaya, sosial, dan politik. Dan bisa dimengerti mengapa persoalan yang menyangkut hal tersebut kerap muncul dalam karya-karya saya. Besar di lingkungan akademisi, saya pun tumbuh dengan kepekaan yang lebih untuk memahami berbagai persoalan. Termasuk problem kaum perempuan. Sepanjang hidup, rasanya saya selalu punya perhatian lebih kepada mereka yang berada di posisi marginal dan minoritas. Kaum perempuan adalah bagian dari yang termarginalkan. Tidak terkecuali perempuan-perempuan di Indonesia yang sampai hari ini masih hidup di tengah masyarakat patriarkis.”

Apa yang menjadi kegelisahan Anda?

“Tahun 1983, saat berusia 22 tahun, saya meninggalkan Indonesia dan tinggal di Sydney, Australia. Di situ saya bertemu dan mengenal kaum marginal seperti orang Aborigin, para hippie, dan kelompok punk yang menentang kemapanan lewat musik dan gaya berpakaian. Mereka memprotes kapitalisme dan globalisasi. Suatu masa dalam hidup di mana saya berpenampilan ala punker dengan cincin dan hidung di telinga. Pengalaman ini memberi saya wawasan baru dan membuka mata tentang politik global. Kehidupan yang hierarkis dan bagaimana kelas bawah sering dimanipulasi oleh mereka yang di atas sering kali menjadi sumber kegelisahan saya. Hati ini selalu ingin melawan segala bentuk ketidakadilan. Perlakuan semena-mena kepada mereka yang terpinggirkan sering mengusik sisi kemanusiaan saya. Mulai dari penyalahgunaan kekuasaan, perusakan lingkungan, hingga keserakahan manusia. Sampai akhirnya saya menyadari, semua ini menular begitu cepat pada banyak orang dan membawa kehancuran jika kita tidak segera berubah.

Kegelisahan itu juga termasuk pada persoalan reproduksi dan pengendalian tubuh perempuan. Hal ini tertuang pada karya saya yang berjudul Do Not Prevent the Fertility of the Mind. Sebuah instalasi berupa tembok berukuran 6m x 4m yang dipenuhi pembalut pada hampir seluruh bagian dengan foto diri sedang memegang gunting dan alat kontrasepsi. Lewat karya tersebut, saya menyinggung kebijakan program Keluarga Berencana yang dicanangkan pada masa pemerintahan Orde Baru. Sementara dalam karya Nation for Sale, saya mengritik kapitalisme dan budaya konsumerisme lewat instalasi berupa sekumpulan kotak berisi senjata, air, obat-obatan, dan tanah.”

Dalam berkesenian, Anda juga terlibat dalam gerakan lingkungan di Tibet. Bagaimana kisahnya?

“Saya ‘terdampar’ di Tibet lalu bekerja sama dengan para biksu serta penduduk setempat di tahun 2010 awalnya karena proyek pameran seni kontemporer di Museum Seni Kontemporer di Shanghai di mana beberapa seniman kontemporer Indonesia diundang untuk pameran bersama. Saya meminta untuk diperbolehkan bekerja sama dengan komunitas di Tiongkok, khususnya daerah-daerah yang termarginalkan dan terlanda bencana alam. Saya lantas mengenal Li Mu, seniman muda di Shanghai yang membantu saya memasuki daerah yang diisolasi. Sejak itu hingga kini, saya terus membantu mereka mengatasi masalah lingkungan hidup di dataran tinggi Tibet (Plateau Tibet) yang dikenal dengan sebutan ‘Atap Dunia’. Kami mengelola sampah, mendaur ulang, menanam pohon, menghidupkan kembali pertanian organik, serta mengelola air dan sanitasi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari masyarakat setempat.

Dataran tinggi Tibet juga dikenal sebagai ‘Tower Air Asia’. Lebih dari 2 miliar orang di Benua Asia hidup dari air yang bersumber dari dataran tinggi tersebut yang mengalir lewat Sungai Yangtze, Sungai Mekong, Sungai Indus, Sungai Gangga, ataupun Sungai Brahmaputra. Dataran tinggi ini juga merupakan lempengan es terluas di muka bumi setelah Kutub Utara dan Kutub Selatan. Dengan adanya problem pemanasan global, es di kutub meleleh sehingga memunculkan karbon dioksida yang bikin suhu bumi makin meningkat. Suatu peristiwa yang menimbulkan longsor dan banjir di seluruh benua Asia, selain turut membawa masalah perubahan iklim di seluruh planet ini.”

Karya-karya seperti apa yang hendak Anda ciptakan di masa mendatang?

“Karya seni rupa yang mengangkat berbagai isu dan permasalahan manusia. Seni nyaris selalu bisa menjadi jalan untuk memahami ragam persoalan lewat kewaspadaan terhadap apa yang mungkin terjadi. Lewat seni rupa, saya ingin menghadirkan cara-cara dan pemikiran kreatif untuk menemukan solusi dari berbagai masalah hidup. Yang pasti bagi saya, tidak ada jalan kekerasan untuk menghadapi problem-problem kita hari ini. Sebab sudah jelas, kekerasan bukan hanya menghancurkan orang lain, melainkan juga membinasakan kehidupan itu sendiri. Rasanya setiap orang harus mulai meyakini bahwa seluruh elemen di dalam hidup ini saling terhubung satu sama lain. Kita merusak satu hal, maka bukan mustahil kita mengacaukan aspek-aspek lainnya. Di sini seniman memainkan perannya, menyodorkan pemikiran dan solusi- solusi kreatif yang mendamaikan umat manusia.”