CULTURE

20 Februari 2024

Jukstaposisi Koleksi Antik dan Desain Kontemporer Mengemas Estetika Interior Rumah Keluarga Elvara dan Jay Subyakto


PHOTOGRAPHY BY Agus Santoso Yang

Jukstaposisi Koleksi Antik dan Desain Kontemporer Mengemas Estetika Interior Rumah Keluarga Elvara dan Jay Subyakto

styling Sidky Muhamadsyah; makeup Acha Mono; hair Merry Kla

Tidak mudah bagi masyarakat kota metropolitan untuk bisa mendapati kompleks perumahan di tengah lanskap alam yang terlestarikan, plus antara satu hunian dengan hunian lain saling berjarak. Elvara dan Jay Subyakto cukup beruntung dapat menemukannya sepuluh tahun silam berkat seorang sahabat arsitek, Yori Antar. “Sebelumnya kami tinggal di kawasan pemukiman yang padat, dan dekat keramaian kota metropolitan. Anda bisa bayangkan betapa hectic suasananya. Begitu pindah, kami mendapatkan suasana segar yang sangat menenangkan,” cerita Elvara. “Lingkungan yang tenang itu juga semakin nyaman buat ditinggali karena area perumahannya ditumbuhi banyak pepohonan hijau,” Jay menyambung, “Posisi rumah kami yang berhadapan langsung dengan taman komunal kompleks juga memberikan lahan lebih yang membuat ruang gerak di luar rumah terasa lebih luas.”

Elvara & Jay Subyakto di balkon ruang tamu.

Berlokasi tersembunyi di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, kompleks perumahan eksklusif tempat tinggal Elvara dan Jay dirancang bersahaja melalui pendekatan alam. Setiap hunian—yang berjumlah tidak banyak—didirikan secara distingtif dengan desain yang menitikberatkan aspek topografi areanya. Kediaman milik Elvara dan Jay misalnya, berdiri selayaknya rumah peristirahatan di daerah perbukitan. Bangunannya menjulang setinggi dua lantai di atas lahan menanjak. Sebagian fasadnya diselimuti tumbuhan hijau merambat; menciptakan keharmonisan paras di antara barisan pepohonan rindang yang tumbuh alami di sekelilingnya. Jalur menuju pintu masuk rumah dialas terali bermaterial besi serupa jembatan. Sepanjang jalan di bawahnya, kolam air berkerikil tampak menggenang hingga masuk ke dalam hunian.

Lukisan karya Eko Nugroho mengaksentuasi di pintu masuk.

Ada sedikit perubahan suasana ketika menginjakkan kaki di dalam rumah. Impresi industrial modern kuat terpancar dengan pemanfaatan material beton dan besi yang cukup dominan. Namun alih-alih dingin, atmosfernya bersemburat ‘hangat’ lewat aplikasi kayu sebagai material padanan. Jauh dari kesan minimalis yang jamak lahir dari kedinamisan kota metropolitan masa kini, cetak biru hunian rancangan arsitek Anthony Liu ini justru paralel memperlihatkan energi Jakarta yang padat. Skema denahnya dipecah menjadi empat massa. Tak ada peminimalan partisi. Setiap ruangan terlindung dinding. Meski begitu, selalu ada titik bukaan yang melegakan, baik berupa jendela; pintu kaca, seperti yang membungkus living room dan kamar tidur; atau pun sekadar rongga terbuka berlapis kawat sebagaimana diterapkan di ruang makan.


“Buat saya, keterhubungan dengan alam merupakan aspek penting yang membentuk kenyamanan suatu rumah. Dekat dengan alam membuat kita merasa tidak terkungkung. Karena itu, keberadaannya sangat krusial,” kata Jay. Pada hari-hari bersuhu panas—terutama di wilayah beriklim tropis—bukaan besar dalam rumah seperti ini pun berperan penting mengalirkan angin segar sehingga tidak perlu terus-menerus menyalakan mesin pendingin ruangan. Keuntungan lainnya? Ruangan tampil terang berkat perolehan cahaya natural.

“Ketika kami membeli rumah ini, bangunannya sudah jadi sedemikian rupa dengan mempertimbangkan keharmonisan lingkungan sekitar. Kami sangat menghargai visi tersebut, sehingga tidak ada sedikit pun struktur ruang yang kami ubah,” ujar Jay yang merupakan alumnus Fakultas Arsitektur Universitas Indonesia. “Jadi PR besar kami adalah menata interiornya yang selaras,” timpal Elvara. Selaras desain dan karakteristik persona pribadi.


Elvara dan Jay Subyakto adalah pasangan artistik. Jay merupakan fotografer, perupa, serta produser sekaligus sutradara kawakan yang telah mendalangi karya-karya film dokumenter, video musik, hingga berbagai pertunjukan budaya; sementara naluri seni Elvara dikenal lewat label mode berimbuhan kearifan lokal. Bukan suatu hal yang mengejutkan bilamana kemudian hunian tempat tinggal mereka semarak akan rupa-rupa karya seni. Di muka pintu saja, kehadiran kami disambut karya Eko Nugroho berukuran masif. Sejumlah lukisan karya seniman legendaris, seperti Soedjojono, Hendra Gunawan, Srihadi Soedarsono, mengguratkan warna di tiap spasial. Beberapa kreasi Jay Subyakto sendiri turut membaur di antaranya.


Meski sama-sama berjiwa kreatif, “Saya dan Jay adalah dua kepribadian berbeda yang sama-sama kuat. Dia menyukai palet monokrom, as he always dress in black,” kata Elvara diikuti tawa Jay yang pecah. “Iya, saya tidak begitu suka warna-warni,” aku Jay; sebelum Elvara melanjutkan, “Sementara saya cenderung menyukai tampilan colourful.” Perbedaan mereka terlihat jelas dari foto profilnya. Yang menyatukan estetika keduanya ialah kekaguman mereka akan benda antik, dan benang merah itu menjadi karakteristik estetis paras kediaman ini.

“Banyak orang berpikir segala sesuatu yang baru itu bagus. Tapi saya pikir, keindahan muncul ketika kita mampu memelihara barang lama hingga melintas zaman. Buat saya, benda antik tidak pernah tampak kuno. Memang tergantung pada bagaimana kita menempatkannya, namun adaptasinya tidak sulit. Kita bisa menggabungkannya dengan elemen-elemen modern, dan tampilannya pun sontak berubah komtemporer,” kata Jay.


Kebanyakan furnitur yang mengisi rumah berpalet warna natural-netral ini merupakan koleksi antik warisan orangtua Jay. “Beberapa barang kami remajakan tampilannya dengan mengganti material bahan yang berunsur kebaruan,” ungkap Jay. Tak heran saya merasa seolah-olah berpijak di antara masa lalu dan masa kini selama menelusuri kediaman pasangan tersebut. Elvara menunjukkan salah satu furnitur karya gubahan mereka, deretan kursi yang mendampingi meja makan kayu panjang buatan khusus di ruang makan. “Kami ganti upholstry kursinya dengan kulit sapi, atau bahan bermotif yang cocok dengan desainnya. Sebetulnya menata interior serupa dengan styling baju, pintarnya kita memadankan saja,” ujarnya.

Rangkaian ornamen antik sarat histori dan kisah lainnya tersebar meramaikan rak pajang dan bufet di setiap ruangan. Contoh, lampu gantung di meja makan, tusuk konde etnik yang didapatkan Jay saat mengunjungi Sumba; atau aksesori dekoratif batok kepala manusia buah tangan petualangan ke Tibet. “Selain buku dan literatur, satu hal yang tidak pernah berhenti saya beli adalah aksesori unik yang khas dari berbagai kota atau negara. Suvenir travelling merupakan sumber inspirasi kreativitas saya dalam berkarya. Setiap benda punya cerita di baliknya. Tiap kali saya melihat benda-benda tersebut, saya teringat bagaimana tempatnya, apa yang saya rasakan ketika berada di sana; pengalaman-pengalaman itu tinggal dalam memori kita seumur hidup. Buat saya, memori itu sangat berharga sehingga kalau bisa saya ingin selalu dikelilinginya,” kata Jay.


Makna tentang memori kebendaan itu sama halnya dengan bagaimana ia memandang rumah. “Rumah menggenggam semangat, cinta, dan memori. Suatu perasaan yang hidup dalam benak kita, yang membuat kita selalu ingin pulang,” ujarnya. “Rumah bukan sekadar bangunan. Ini adalah tempat kita berlabuh di penghujung hari, bersama dengan orang-orang yang berarti buat kita,” tutup Elvara.