CULTURE

18 Juni 2024

Menelusuri Cerita Tradisi dan Warisan Budaya Kuliner Jakarta


Menelusuri Cerita Tradisi dan Warisan Budaya Kuliner Jakarta

text by Kevindra Soemantri; photography by Ryan Tandya for ELLE Indonesia June-July 2024; styling Alia Husin

Dari aroma rempah-rempah yang menggoda di warung- warung pinggir jalan hingga cita rasa yang memanjakan di restoran mewah, setiap suapan menyimpan kisah warisan budaya dan harmoni dari berbagai tradisi kuliner dan pengalaman gastronomi yang sulit terlupakan.


Bicara tentang Jakarta, bagi kebanyakan orang, gambaran yang muncul kemungkinan besar jauh dari destinasi kuliner. Jakarta seringkali dikaitkan dengan kekacauan. Sebuah kota metropolis dengan kebisingan dan riuhnya aktivitas warga. Namun, kota ini memiliki banyak sisi dan salah satu yang paling mencolok adalah aspek kuliner Jakarta yang sedang berkembang pesat.

Kota metropolitan yang luas ini memiliki sejarah yang amat kaya meliputi dari zaman pra-kolonial hingga masa pemerintahan kolonial Belanda dan perkembangan kota modern. Setiap era meninggalkan jejak pada dunia kuliner Jakarta, memperkenalkan cita rasa dan tradisi baru. Untuk benar-benar memahami identitas kuliner Jakarta, maka kita harus menggali lebih dalam lapisan kisahnya, pengaruh- pengaruh, dan beragam profil rasa yang sangat beragam.

Warisan kuliner Jakarta ibarat sebuah kain yang disusun dari berbagai pengaruh yang beragam seperti Sunda, Tionghoa, Arab, Melayu, Jawa, Portugis, dan Belanda. Budaya-budaya ini memiliki kontribusi yang besar terhadap kekayaan kuliner Betawi, makanan asli dari kelompok etnis Jakarta. Namun di luar hidangan tradisionalnya, Jakarta juga telah menjadi pusat restoran sejak zaman Batavia, ibu kota Hindia Belanda.

Dining Hall at Grand Hotel Java in Weltevreden (tahun 1900-an)


Kota Pangan bagi Hindia Timur Belanda

Selama periode kolonial di bawah perusahaan Hindia Timur Belanda dan kemudian kerajaan Belanda, Jakarta lama— yang dikenal sebagai Batavia—menjadi terkenal di kalangan masyarakat barat sebagai tujuan destinasi tempat makanan di kawasan timur. Reputasi ini berkembang pesat pada saat Eropa dilanda revolusi industri pada abad ke-19.

Di Inggris, era ini dirayakan sebagai Era Victoria; di Prancis, era tersebut dipuji sebagai Belle Époque; di Amerika disebut Gilded Age; dan di Jepang menandai restorasi meiji yang transformatif. Sepanjang zaman tersebut, pengaruh budaya Eropa meresap ke Batavia, membentuk tidak hanya lanskap mode dan sistem transportasi tetapi juga dunia kuliner.

Weltevreden, distrik ini mencakup sebagian wilayah Jakarta yang sekarang merupakan kawasan Medan Merdeka, Lapangan Banteng, Menteng, dan Harmoni. Rekam jejak perjalanan dari pengunjung ke Jakarta selama akhir abad ke-19 menggambarkan Batavia sebagai pusat kota yang ramai, begitu ‘hidup’ dengan segala pesona Eropa di restoran- restoran yang megah dan berbagai klub yang eksklusif.

Tempat-tempat ini berdiri sebagai ‘monumen’ atas dampak kehadiran sajian mewah Eropa terhadap struktur perkotaan kota Jakarta. Namun seiring hadirnya kuliner Eropa, komunitas Tionghoa juga memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh budaya makanan Batavia. Restoran-restoran legendaris seperti Kam Leng dan Jit Lok Jun di Glodok, Toeng Kong di Menteng, dan Yen Pin di Medan Merdeka menjadi pijakan kuliner kota Jakarta.



Kebangkitan Kuliner Lokal Legendaris Pasca-Kemerdekaan: Kota Metropolitan

Selama Perang Dunia II, dominasi tak tertandingi kekuatan Eropa dalam politik global mulai meredup. Di Indonesia, pergeseran geopolitik ini mendorong perpindahan massal warga Eropa di mana banyak di antaranya kembali ke kampung halaman mereka. Secara bersamaan, periode awal kemerdekaan Indonesia memberi semangat baru dengan rasa cinta Tanah Air setelah lama ditindas di bawah pemerintahan kolonial. Kebebasan baru ini membuka jalan bagi orang- orang Indonesia untuk muncul sebagai pemain kunci dalam membentuk jati diri bangsa mereka, terutama dalam ranah seni kuliner.

Saat restoran-restoran Eropa menutup pintu mereka, restoran Tionghoa justru tetap teguh berdiri dan bertahan hingga saat ini. Sementara itu, pedagang kaki lima dan rumah makan yang menjual makanan asli Indonesia justru mendapat perhatian baru. Di Jakarta sendiri pada waktu itu muncul berbagai rumah makan dengan cita rasa asli Indonesia, meninggalkan hidangan Eropa demi menyajikan masakan Betawi atau Tionghoa-Indonesia yang orisinal, seakan mengikuti selera masyarakat lokal yang sedang berkembang. Dengan membuka kesempatan kerja yang memberdayakan penduduk setempat, maka daya beli konsumen lokal pun melonjak.

Membicarakan beberapa pelopor masakan Betawi di Jakarta, maka kita perlu menyebut nama-nama seperti Haji Maruf dan Zainal Fanani, di mana rumah makan dan restoran kedua nama besar tersebut telah menjadi legendaris di kota ini. Setelah sekian lama, kini nama keduanya bergema sebagai legenda di dunia kuliner, Haji Maruf dikenal karena keahliannya dalam Soto Betawi dan Zainal Fanani dihormati karena keahliannya dalam membuat nasi uduk, keduanya menorehkan kontribusi besar mereka terhadap dunia gastronomi Indonesia.

Memasuki era 1970-an, berkembang menjadi kota yang bersemangat, mewakili esensi dari negara Indonesia itu sendiri. Kecepatan pembangunan kota didorong oleh upaya pemerintah dalam menarik pekerja kelas bawah dari setiap penjuru nusantara ke depan pintu Jakarta.

Dari perbukitan hijau Jawa hingga pantai Sulawesi, dari Sumatera hingga Kalimantan, serta jangkauan terpencil di kawasan Indonesia Timur, beragam pengaruh dari daerah tersebut berbondong-bondong datang ke Jakarta membawa daya pikat masing-masing untuk kemudian menyumbang kekayaan bagi khazanah kuliner Indonesia. Sebagian bisa dibilang sukses memunculkan bakat-bakat yang berkontribusi pada pertumbuhan dinamis kota Jakarta. Namun, ada pula upaya yang akhirnya akan menyenangkan lidah kita—saat mereka mengubah aspirasi mereka menjadi usaha kuliner, maka setiap destinasi adalah bukti rasa Jakarta yang beragam.

Kafe Victoria, salah satu mal berbasis kafe (tahun 1990-an; circa jakarta DIning Guide 1998)

Dalam lanskap kuliner Jakarta saat ini, seseorang akan terbawa ke dalam kekayaan rasa dan aroma, dari warung sederhana hingga restoran kasual, masing-masing menawarkan beragam hidangan lezat Indonesia. Semua ini membentuk perjalanan kuliner yang lain dari yang lain, karena tidak ada tempat lain di Indonesia di mana masakan daerah berkumpul dengan sebanyak seperti di Jakarta.

Dari kenikmatan masakan pedas Medan, hingga rempah-rempah eksotis Manado, dari bumbu kari aromatik Aceh hingga kelezatan sajian Minangkabau, dari rasa asam Palembang hingga gulai kaya rasa Pontianak dan camilan lezat Bangka—kota Jakarta memiliki keberagaman kuliner yang tak tertandingi dalam hidangan daerah.

Setiap sudut mengungkapkan harta karun keajaiban kuliner, dari kesederhanaan yang menghibur seperti masakan Sunda hingga cita rasa berani ala Makassar, pesta yang bergetar dari Bali, rempah-rempah aromatik Lombok, dan banyak lagi. Pesta kuliner ini merupakan perayaan warisan gastronomi Indonesia yang memiliki awal yang sederhana pada tahun 1970-an lalu membentuk pondasi bagi status Jakarta sebagai destinasi utama bagi kenikmatan kuliner. Dalam warna-warni lanskap kuliner Jakarta, fenomena menarik muncul yakni tradisi penamaan yang unik, lahir dari kebutuhan dan kecerdasan.

Dengan berkumpulnya berbagai masakan daerah di kota Jakarta, pengusaha makanan menghadapi tantangan untuk membuat sebuah perbedaan dalam hal apa yang mereka tawarkan di tengah ‘lautan’ hidangan yang mirip dan serupa. Dan hasilnya, sistem penamaan kreatif muncul, yang tidak hanya menggoda lidah tetapi juga berfungsi sebagai tanda keaslian. Dari Soto Betawi, Sate Padang, Nasi Campur Pontianak, Bubur Cirebon, setiap hidangan membawa nama yang mencerminkan asal-usulnya. Ini menjadi persetujuan penamaan yang tidak hanya membedakan satu hidangan dari yang lain tetapi juga mengundang para penikmat kuliner dalam perjalanan sensorik melalui dunia kuliner Indonesia yang beragam yang ditawarkan Jakarta.

Charred Octopus dengan XO sauce (terbuat dari Teri Medan & octopus tentacle end), dihiasi sauteed Banana Blossom & Potato. (photo DOC. August)

Perkembangan Menuju Kuliner Kontemporer

Ada sejarah kaya yang tersembunyi di dalam kuliner Jakarta. Sebuah narasi yang merangkai rasa dan tradisi yang mengatakan banyak hal tentang warisan gastronomi Jakarta. Kota ini kemudian menjadi sangat lekat bagi para pencinta makanan, di mana setiap sudut menyimpan kenikmatan kuliner yang menunggu untuk dinikmati. Namun, terlepas dari daya tarik intrinsiknya, Jakarta masih berada di puncak kejayaan kuliner, dengan masih banyak landasan yang harus dibangun untuk menjadi destinasi kuliner sejati. Namun dalam beberapa tahun terakhir, secercah pengakuan muncul di panggung internasional, menyoroti dunia kuliner modern di Jakarta. August, sebuah destinasi kuliner yang visioner yang dipimpin oleh chef Hans Christian dan Budi Cahyadi, merintis jalan dengan meraih penghargaan One-to-Watch dari ajang prestisius Asia’s 50 Best Restaurant di tahun 2023. Pencapaian inovatif ini tidak hanya mengangkat August tapi juga menjadi preseden bagi perusahaan lain yang berbasis di Jakarta untuk mendapat pengakuan global.

Penghargaan tidak berhenti sampai di situ. Bar-bar seperti Pantja dan Cocktail Club bergabung dalam jajaran bar terbaik, mendapatkan tempat spesial dalam daftar penghargaan Asia’s 50 Best Bars. Penghargaan-penghargaan ini menjadi bukti berkembangnya dunia kuliner di Jakarta, yang memicu gelombang inovasi dan kreativitas di seluruh kota. Saat ini, Jakarta berada di ambang kebangkitan kuliner dengan begitu banyaknya konsep dan tempat makan baru yang bermunculan di setiap kesempatan, melukiskan lanskap kota dengan janji petualangan gastronomi yang belum terkuak. Ini menjadi evolusi kuliner yang didorong semangat kreativitas dan komitmen teguh terhadap keunggulan. Sebuah perjalanan menuju masa depan dengan beragam kemungkinan tak terbatas di mana satu-satunya batasan adalah imajinasi itu sendiri.