CULTURE

19 Februari 2024

Natasha Tontey Mengkritisi Isu Kesosialan Lewat Manifestasi Kebudayaan Etnik di Film 'Garden Amidst the Flame'


Natasha Tontey Mengkritisi Isu Kesosialan Lewat Manifestasi Kebudayaan Etnik di Film 'Garden Amidst the Flame'

photo DOC. Natasha Tontey

Bioskop kecil dibangun mengasingkan diri dalam bilik yang ditata eksentrik. Selimut bulu rona pink digelar mengalasi lantainya. Di atasnya, lima bean bag warna senada bersejajar tak beraturan menghadap partisi putih yang mempertontonkan sebuah film tentang mitos ritual Karai suku Minahasa, Sulawesi Utara, berjudul Garden Amidst the Flame (2022). Plotnya digerakkan oleh sekumpulan anak perempuan, alih-alih laki-laki sebagaimana tradisi etniknya. “Saya merasakan gap dari praktik budaya hypermasculinity yang masih mengakar kuat dalam masyarakat Minahasa,” ujar Natasha Tontey, sang seniman di balik filmnya, saat saya mempertanyakan ide penceritaan yang melawan arus.

Film karya Natasha tersebut saat ini diputar sebagai salah satu suguhan ekshibisi Voice Against Reason yang tengah diselenggarakan Museum MACAN hingga 14 April 2024. Di ranah seni kontemporer, Natasha Tontey yang berlatar pendidikan Desain Grafis dari Universitas Pelita Harapan dikenal akan seni spekulatifnya yang mengeksplorasi mitos etnik, kesejarahan, dan kesosialan. Sentuhan fiksi berunsur transendental menjadi ciri kreativitasnya. Dalam Garden Amidst the Flame, Tontey menghadirkan rupa-rupa karakter magis dan sinematografi bersemburat warna vibrant sebagai wujud pengalaman psikedelik menjalani ritual spiritual. Tak jarang Garden Amidst the Flame, 2023. praktik berkeseniannya membuat audiens kerap berdialog mempertanyakan implikasi sudut pandang Natasha Tontey tentang kehidupan.

photo DOC. Museum Macan

Natasha, selain faktor Anda keturunan suku Minahasa, apa yang membawa Anda kepada ritual Karai dan melahirkan Garden Amidst the Flame?

“Ketika berkunjung ke Minahasa dan melakukan ziarah budaya selama beberapa tahun, saya menemukan praktik kesenjangan yang besar antara perempuan dan laki-laki. Bagaimana maskulinitas dijunjung tinggi dan segala sesuatu yang sifatnya non-maskulin sering kali direndahkan. Ritual Karai sendiri merupakan upacara adat sebelum perang yang dipercaya memberikan perlindungan leluhur untuk kekebalan, yang umumnya hanya boleh dilakukan oleh laki-laki. Sementara saya menemukan bahwa leluhur Minahasa merupakan non-heternormatif. Garden Amidst the Flame adalah cara saya menyoroti budaya hypermasculinity di Minahasa; serta bagaimana praktiknya membayangi generasi muda leluhur saya di tengah kemajuan dunia saat ini.”

Menampilkan anak-anak perempuan sebagai pelaku upacara, pun menjadi simbolis yang cerdas.

“Saya memilih bekerja dengan anak-anak perempuan karena mereka sangat powerful. Mereka menggambarkan pihak minor, namun mampu mendobrak hegemoni sosial di Minahasa.”

photo DOC.  Museum MACAN

Dalam berkarya, mengapa Anda tertarik menampilkan seni yang bermuatan mitos?

“Saya rasa ide-ide yang berhubungan dengan spiritualitas, animistik, transendental tidak harus selalu dilihat sebagai sesuatu yang old fashioned. Saya tertarik untuk melihat pengetahuan leluhur, dan melihat kemungkinan-kemungkinan lain untuk bisa membuat sebuah plot storytelling yang menarik.”

Elemen lain yang melekat pada karya-karya Anda adalah visual magis, yang bagi orang awam terkesan horor. Dari mana gagasan kreatif itu muncul?

“Saya tidak bermaksud untuk bikin sesuatu yang menyeramkan. Saya hanya membuat sesuatu yang saya pikir menarik. Tapi ternyata terkadang itu mengerikan buat sebagian orang. Sebetulnya, saya hanya membahasakan kegelisahan diri sendiri.”

photo DOC. Museum MACAN

Apa yang membuat Anda gelisah, akhir-akhir ini?

“Banyak dan beragam. Saya adalah orang yang penakut. Saya sendiri mempertanyakan ketakutan itu sendiri apa, dan menemukan bahwa ternyata ketakutan bisa difabrikasi sebagai alat pengendali.”

Dan seni membantu mengendalikan ketakutan Anda?

“Berkarya adalah terapi kardio bagi saya; saya dapat mengeluarkan pikiran-pikiran, setiap kegelisahan dan ketakutan di dalam benak, dan mengejawantahkannya menjadi sesuatu yang bermakna.”

Karya Anda kerap menarik atensi yang mengundang publik memulai ruang-ruang diskusi secara luas. Tak jarang pula menyulut kritik karena dinilai terlalu eksentrik atau provokatif. Apakah hal itu membuat Anda berhenti sejenak dan mempertanyakan kreativitas Anda?

“Berkesenian membuat saya menyadari bahwa saya hanya sebagian kecil dari alam semesta. Tapi belajar budaya sekaligus membawa saya untuk lebih mengenal dan menyayangi diri sendiri.”

Pameran Voice Against Reason bermula dari gagasan bahwa perupa menyuarakan isu yang bergolak di bawah permukaan. Apa makna bersuara buat Anda?

“Bersuara buat saya adalah bercerita. Cerita apa saja, tentang pemikiran kita; kegelisahan kita terhadap suatu hal atau isu. Pun sebuah cerita juga tidak harus selalu didaktis. Tapi dengan bercerita, kita bisa merangkul orang dan mengajak mereka terbuka.”