17 Agustus 2018
Sumba: Surga di Nusa Tenggara Timur

Pencinta travelling yang terpikat keheningan matahari terbenam di perbukitan eksotis dan terpesona panorama timur Indonesia. SANDY THEMA menceritakan pengalaman perjalanannya ke Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Kepopuleran Sumba begitu mendunia. Saya sendiri tidak asing mendengar nama Sumba. Terutama ketika kedua orangtua saya berbicara soal tekstil dan daerah-daerah penghasil kain di Indonesia. Sebagai pencinta dan kolektor kain, saya begitu antusias pada Sumba. Saya mulai jatuh cinta ketika melihat panorama Sumba di film Marlina karya Mouly Surya yang pernah saya tonton dan film Pendekar Tongkat Emas yang disutradarai Mira Lesmana. Jadi bukan hanya tertarik melihat kain tenun Sumba, tapi juga ingin menyaksikan keindahan Indonesia bagian timur. Sumba merupakan pulau di Nusa Tenggara Timur yang terbagi menjadi empat kabupaten: Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, dan Sumba Timur. Pulau ini berbatasan dengan Sumbawa di sebelah barat laut, Flores di timur laut, Timor di bagian timur, serta Australia di selatan dan tenggara. Di Sumba terdapat bandar udara dan pelabuhan laut yang menghubungkan Sumba dengan pulau-pulau lainnya seperti Pulau Sumbawa, Pulau Flores, dan Pulau Timor. April tahun lalu, saya mengikuti open trip ke Sumba yang diadakan sebuah penyelenggara perjalanan. Saya sengaja tidak memilih menginap di Nihiwatu Resort yang terkemuka itu. Kali ini saya ingin merasakan pengalaman berbeda dan pergi bersama orang-orang yang baru saya kenal. Biayanya Rp 3,5 juta per orang untuk penginapan, penyewaan mobil, dan makan tiga kali sehari. Bersama delapan orang lainnya, kami sepakat menghabiskan lima hari liburan di Sumba. Dari Jakarta, penerbangan menuju Denpasar menggunakan maskapai Garuda Indonesia. Kemudian melanjutkan satu jam penerbangan ke Tambolaka, bandar udara di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Saya tiba di Sumba siang hari yang panas terik. Tujuan pertama di Sumba Barat yakni makan siang di Warungku, restoran berbentuk rumah warga yang menyajikan makanan Indonesia dan chinese food. Sayur capcay dan sup jagungnya enak! Saya menginap di Sinar Tambolaka, losmen yang terletak di perumahan warga di Sumba Barat. Sumba Barat belum ada penginapan atau hotel bintang lima. Yang ada penginapan berupa losmen atau motel. Well, tidak bisa dibilang buruk. Tetap terjaga kebersihan dan keamanannya, hanya saja luas kamarnya tidak terlampau besar. Dan tidak ada sarapan ala buffet. Makanan diantar setiap pagi ke tiap kamar tamu. Tidak ada mall dan supermarket untuk belanja. Namun ada pasar-pasar lokal serta kedai yang menjual roti dan kopi. [caption id="attachment_3164" align="aligncenter" width="785"]
PETUALANGAN DI AIR TERJUN LAPOPU DAN PANTAI WALAKIRI
Pagi-pagi sekali menuju air terjun Lapopu yang berada di kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, Desa Lapopu, Kecamatan Wanokaka, Sumba Barat. Untuk menuju ke sini, kita perlu menyewa kendaraan dari Waikabubak. Menempuh perjalanan 30 km lalu berjalan kaki selama satu jam. Akses jalanan tidak semuanya diaspal. Bahkan rambu-rambu atau petunjuk jalan nyaris tidak ada. Maka sebaiknya pergi ke sini bersama penduduk lokal di Sumba. Air terjun tertinggi di Nusa Tenggara Timur ini terletak di Desa Hatikuloku, Kecamatan Wanokaka, Sumba Barat. Tingginya 90 meter dengan air yang mengalir sangat deras sehingga menimbukan suara sangat kencang. Berbeda dengan air terjun lain yang langsung turun terjal ke bawah, air terjun Lapopu berbentuk tangga dengan ujung kolam setinggi 2 meter. Sumber airnya berasal dari lubang goa yang di sekitarnya merupakan hutan belantara. Situasinya sangat sepi. Hanya terlihat beberapa turis asing sedang berdiam diri memandang air terjun. Namun selain sebagai destinasi wisata, air terjun Lapopu juga difungsikan sebagai sumber air masyarakat Sumba serta pembangkit listrik tenaga mikro hidro listrik untuk warganya. Sebelum kembali ke penginapan, saya mengunjungi Kampung Tarung, kampung tertua di Sumba Barat. Di kampung ini, sedikitnya ada 100 rumah menara yang dihuni oleh sekitar 400 warga. Setiap rumah diisi tiga generasi penduduk Sumba. Bentuk rumah panggung tiga tingkat ini punya maksud khusus. Bagian bawah jadi tempat tinggal para hewan ternak seperti anjing, babi, dan kerbau. Tingkat kedua untuk rumah tinggal para penghuni rumah. Dan paling atas untuk lumbung padi yang mampu menampung beras hingga satu ton. Struktur rumah menara terbuat dari kayu dengan atap dari jerami. Di Kampung Tarung ini juga terdapat kuburan yang terbuat dari tumpukan bebatuan. Saya menyempatkan diri melihat proses pemakaman warga Sumba. Peristiwa yang digelar secara masif oleh penduduk Sumba. Untuk memakamkan seseorang, diperlukan bebatuan berkualitas terbaik dan berpuluh-puluh hewan yang menelan biaya tidak sedikit. Di kampung ini saya juga menemukan kain tenun yang dibikin selama 3-5 bulan oleh warga Sumba. Kain ini dijual seharga 8-10 juta per lembarnya. Motifnya terdiri dari gambar manusia, hewan, dan tanah. Senang sekali bisa membawa pulang beberapa lembar kain Sumba yang begitu cantik dan menarik. Apa yang saya saksikan di Kampung Tarung terlihat menyatu dengan alam dan seolah tak terjamah teknologi modern. Tradisi dan adat istiadat para leluhur dijaga secara tekun dan sangat baik oleh masyarakatnya. [caption id="attachment_3166" align="aligncenter" width="785"]






Langkah Nyata Sudamala Resort Menuju Masa Depan Pariwisata Berkelanjutan lewat Transformasi Energi Tenaga Surya

Daftar Kota-Kota Negara Dunia yang Wajib Masuk Agenda Pelesiran Dekade Ini: Daya Pikat dan Deteriorasi