LIFE

1 Mei 2020

Andini Effendi: Kontemplasi Travelling di Masa Karantina Pandemi


Andini Effendi: Kontemplasi Travelling di Masa Karantina Pandemi

Membatalkan seluruh rencana perjalanan dan mencoret bepergian ataupun pelesir dari agenda kegiatan tahun ini. Sebuah kontemplasi di masa karantina pandemi oleh ANDINI EFFENDI

Ketika saya menyelesaikan tulisan ini, dunia sedang dalam masa penyebaran Covid-19. Untuk mendukung #flattenthecurve, saya sudah #dirumahaja sejak minggu kedua bulan Maret. Dengan berat hati, saya batalkan semua rencana perjalanan, termasuk ke New York untuk menghadiri pernikahan salah satu sahabat.

As I hit the cancel button for my ticket and accommodation, saya langsung tersadar, “Oh no, I will probably not going anywhere at least until mid-year. And it’s only March!”

Saya mungkin terdengar sangat menyebalkan. But you have to understandtravelling for me is not only a breather, but also a self- fulfillment. Saya belajar banyak dari orang-orang yang saya temui selama perjalanan, dan yang terpenting, saya belajar mengenal diri saya sendiri.

Saya tidak bisa diam di satu tempat atau kota dalam waktu lama. Berbeda dalam konteks sebuah pekerjaan. Awal tahun ini, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari stasiun televisi yang telah membesarkan saya selama 12,5 tahun. Alasannya simpel, saya ingin berkembang. Saya tidak ingin terbelenggu jadwal tetap dan merindukan excitement ketika bangun tidur di pagi hari.

elle indonesia - photography CAROLIN LAUFFENBURGER styling NIKITA DU TOIT - writer andini effendi

Rasa rindu kebebasan ini sebenarnya terinspirasi ketika saya bersafari di Namibia bulan Desember 2019 silam. Di sana saya menyaksikan hewan-hewan hidup bebas di alam terbuka. Melatih kemampuan untuk bertahan hidup. Tentu berbeda dengan hewan-hewan di kebun binatang yang jam makannya sesuai jadwal dan hidup dalam penjagaan. Selintas di pikiran, saya iri dengan kehidupan hewan di alam bebas. Peristiwa itu yang kemudian memberanikan diri saya untuk mengambil keputusan untuk move forward to greater things.

Sepulang dari Namibia, saya semakin giat mencari banyak pengetahuan tentang benua Afrika. Di masa-masa karantina ini, saya jadi punya banyak waktu untuk membaca buku-buku yang bisa membawa saya ke banyak tempat di dunia. Salah satunya buku berjudul Africa karya jurnalis Richard Dowden.

elle indonesia - photography CAROLIN LAUFFENBURGER styling NIKITA DU TOIT - writer andini effendi

Buku lain yang saya baca selama masa karantina ini adalah How to Travel Without Seeing karya penulis Spanyol, Andrés Neuman. Buku ini adalah kumpulan jurnal Andrés ketika mengunjungi hampir seluruh negara berbahasa Spanyol di Amerika Tengah dan Amerika Latin. Hal yang paling menarik dari tulisan Andrés, meskipun berupa kumpulan jurnal, saya jadi membayangkan seperti apa karakter orang-orang di banyak negara. Di Bolivia, Peru dan Ekuador, orang-orang di sana tidak pernah bilang ‘tidak’. Tetapi juga tidak akan bilang ‘iya’ ketika kita bertanya atau meminta tolong.

Saya paham sekali maksud Andrés. Karena ketika saya di Quito, Ekuador, saya naik taksi bersama seorang teman. Kami berdua tidak mengerti Bahasa Spanyol dan sopir taksinya tidak bisa berbahasa Inggris. Namun jika kami bertanya apakah dia mengerti tujuan kita mau ke mana, dia tidak bilang ‘no’ atau ‘yes’. Jadilah kami berputar-putar tidak jelas arahnya selama satu jam! Akhirnya saya kembali ke hotel.

elle indonesia - photography CAROLIN LAUFFENBURGER styling NIKITA DU TOIT - writer andini effendi

Virus yang paling berbahaya adalah perilaku manusia. Sikap egois, apatis, dan sewenang-wenang juga sama bahayanya.

Andrés Neuman menulis di bukunya, perilaku tidak memberikan jawaban yang jelas bukanlah karakter buruk yang ekstrem, melainkan suatu kebiasaan dari bangsa yang tertindas. I wonder if we still experienced this behaviour in Indonesia. Not with me though, I always give direct answer because I refuse to be oppressed.

Dalam buku tersebut, Andrés Neuman bepergian di saat pandemik flu babi sedang merajalela. Bedanya dengan kita sekarang, saat itu orang- orang masih bisa bepergian sebab tidak semua negara terkena virusnya. Kekhawatiran pun juga tidak sebesar saat ini. Namun ada satu perilaku yang relevan dengan kondisi kita sekarang, kita jadi sangat mudah menyalahkan orang lain atas terjadinya sebuah peristiwa. Menurut Andrés Neuman sendiri, virus yang paling berbahaya adalah perilaku manusia. Sikap egois, apatis, dan sewenang-wenang juga sama bahayanya.

elle indonesia - photography CAROLIN LAUFFENBURGER styling NIKITA DU TOIT - writer andini effendi

Menarik sekali, satu buku bisa membawa saya ke suatu tempat yang belum pernah saya kunjungi. Mungkin pernah kita datangi, tetapi belum mengenalnya dengan baik hingga akhirnya membawa kita pada hal-hal yang relevan terjadi saat ini. Menyimak bagaimana setiap orang punya caranya masing-masing untuk beradaptasi dengan situasi.

Ada satu hal yang selalu saya rasakan ketika pulang dari bepergian, yakni pulang dengan banyak pertanyaan di kepala. Pengalaman dari melihat, mendengar, menyentuh, dan merasakan, seakan-akan tak pernah cukup untuk memperkaya diri sebagai manusia.

Barangkali benar apa yang dikatakan Andrés Neuman dalam bukunya, “When we travel, we move forward with our bodies and backwards in our memories. In other words, we advance in the past”. Kendati saat ini kita dianjurkan untuk di rumah saja, saya tidak akan pernah berhenti untuk terus berkelana, suatu hari nanti. Berharap bahwa setiap perjalanan
yang saya lalui kelak bisa membuka banyak pintu dan mudah-mudahan juga dapat menginspirasi orang-orang di sekitar saya.

Images as seen in Fashion Well ELLE Indonesia Mei 2020“Wildest Dreams
photography CAROLIN LAUFFENBURGER styling NIKITA DU TOIT model TIFFANY WINTELER makeup MICHELLE SHABASON