LIFE

18 Agustus 2023

Timothy Marbun: Saya Tidak Akan Mau Jadi Presiden


Timothy Marbun: Saya Tidak Akan Mau Jadi Presiden

PHOTOGRAPHY SI MELBER FOR ELLE INDONESIA SEPTEMBER 2021; STYLING OLGA KASMA

Please don't turn the page! Sebentar. Saya mau klarifikasi. Jangan khawatir ini bukan artikel politik. Jangan kabur dulu. Saya janji tidak akan mengajak Anda mendukung calon tertentu. So, you’re in a safe place. Saya selalu terusik oleh sebuah pertanyaan yang hinggap di kepala saya setiap tahun pemilu tiba, “Why the hell would anyone want to be a president?” Anda mungkin menjawab: Power? Fame? Legacy? Maybe even money? Mungkin saja, toh menjadi presiden kan berarti penghidupannya sudah terjamin. Mana ada presiden miskin? Kecuali Presiden Jose Mujica dari Uruguay ya, tapi bahwa Presiden Mujica jadi viral, itu berarti memang aneh kalau seorang presiden sampai miskin.

Kembali ke topik. Kita sudah me- listing semua benefit menjadi presiden. Saya yakin banyak yang berhenti di sini tanpa melanjutkan untuk me-listing tugas dan tanggung jawab jadi Presiden, karena this is where things get ugly. Kalau saya membayangkan pekerjaan apa yang paling sibuk di dunia, maka pekerjaan pertama yg muncul di kepala saya adalah presiden. Tidakkah pekerjaan presiden melingkupi hampir seluruh aspek kehidupan dalam sebuah negara? Mulai dari harga bawang, pasokan BBM, target penerimaan negara, sampai perakitan satelit baru, semua dikaitkan pada seorang presiden. Baik atau buruk hasil semua itu, dipertanggungjawabkan oleh presiden, baik di sidang di DPR, ataupun di linimasa media sosial. And we all know, sebagai seorang tokoh politik yang berkuasa, sudah berbuat yang benar pun pasti akan tetap ada yang berkomentar buruk. It kinda comes with the job. But that’s not even the worst.

Yang terburuk dari semua itu buat saya adalah bahwa seorang presiden akan selalu mengakhiri masa baktinya tanpa pernah menyelesaikan tugasnya. Maksud saya, kita semua punya target, apa pun pekerjaan kita. Seorang peneliti yang telah mendedikasikan 10 tahun kehidupan untuk menemukan sebuah rumusan atau penemuan baru. Seorang sales yang akhirnya dapat menyelesaikan deal dengan klien bernilai puluhan miliar. Seorang jurnalis yang akhirnya bisa memenuhi mimpinya untuk mewawancarai Paul McCartney (okay, ini contoh pribadi, sih). Intinya, saat kita memulai sebuah pekerjaan atau karier, kita tahu di titik mana pekerjaan kita itu “rampung”. Dan saat momen itu tiba, maka kita akan puas dan lega karena kita telah berhasil dalam karier.

Bagaimana pekerjaan mengurus negara bisa dibilang rampung? Ada 270 juta manusia di Indonesia yang masih perlu diurus hingga ratusan tahun lagi. Ada sejuta hal yang masih perlu diperbaiki di negeri kita agar masyarakatnya bisa hidup lebih sejahtera lagi. Ada ribuan ancaman baru yang belum terpikirkan hari ini yang mengancam pertumbuhan atau bahkan keberadaan sebuah negara. Pekerjaan seorang pemimpin negara tidak akan pernah selesai. Itu yang saya maksud saat saya mengatakan bahwa seorang presiden akan meninggalkan posisinya tanpa pernah merampungkan pekerjaannya. Dan sebagai seorang yang sering berpuas saat menyelesaikan tugas, saya hanya bisa membayangkan betapa mengganjalnya hati bila saya harus meninggalkan sebuah tugas yang saya kerjakan sepenuh hati selama bertahun-tahun tanpa bisa saya rampungkan. But the show must go on, right?


Mengingat masa jabatan presiden terbatas tapi masa jabatan rakyat seumur hidup, maka yang bertugas memastikan negara ini terus berjalan ke arah yang benar adalah kita sendiri sebagai rakyat. Sistem demokrasi yang kita anut memberikan kuasa itu kepada rakyat. Saya percaya, bagi rakyat seperti kita, ada yang lebih penting daripada memilih presiden. Lebih penting bagi kita untuk memahami bahwa kuasa yang kita pegang begitu besar, dan tanggung jawab yang kita emban untuk negara dan bahkan untuk diri sendiri dan orang-orang yang kita sayangi lebih besar daripada seorang presiden. Yang lebih penting bagi kita daripada memilih pemimpin adalah memahami mengapa kita memilih siapa pun yang memimpin kita.

Tahun ini negara kita akan berusia 78 tahun, dan perayaan tahun ini berlangsung hanya beberapa bulan sebelum pesta demokrasi bernama Pemilu dilangsungkan. Momen dimana kuasa kita sebagai rakyat berada di puncak. This is OUR show. Harus disadari, suka tidak suka, apa pun yang kita lakukan di hari pemilihan memang akan menentukan setidaknya nasib negara kita dan rakyatnya, untuk 5 tahun ke depan. Saya bukan mempermasalahkan orang yang memilih atau tidak memilih. Bagi saya yang penting adalah, memilih ataupun tidak, kita melakukannya karena kita sudah membekali diri dengan pemahaman yang baik, lalu mengukur dan mempertimbangkan bahwa itulah yang terbaik untuk kita lakukan. Penentuannya bukan hanya terjadi nanti di bilik suara, tapi sudah dimulai dari hari ini.

Maukah kita mempelajari betul calon-calon yang akan kita pilih? Maukah kita mencerdaskan diri dengan memahami bagaimana menghindari hoax dan menahan diri untuk tidak menyebar informasi yang tidak terverifikasi? Maukah kita menjaga suasana yang damai, dan menolak dibentrok-bentrokkan hanya karena perbedaan pandangan politik? Itu semua dimulai dari sekarang.

Kalau kita sebagai rakyat bisa bersatu, maka saya yakin siapa pun yang terpilih dalam pemilu nanti, kita sudah melangkah maju karena rakyatnya bersatu untuk maju. Itu tanggung jawab yang lebih besar daripada menjadi seorang presiden.