17 Oktober 2023
Timothy Marbun: Jadilah Pemeran Utama dan Lakukan Kontribusi Aksi ala 'Main Character'
PHOTOGRAPHY BY JEREMY CHOH
styling VIRGINIA RAY model FREYA DALGAARD (FORD MODELS)
Beberapa waktu yang lalu, saya melihat sebuah postingan menarik di media sosial. Intinya begini: Andaikan hidup kita ini adalah sebuah film, karakter apa yang sedang kita mainkan? Apakah kita hanya pemeran pembantu? Atau jangan-jangan hanya figuran? Saya yakin tidak satu pun dari kita ingin mengakui bahwa kita hanya menjadi figuran dalam kehidupan kita sendiri. Saya yakin semua orang merasa bahwa kita adalah pemeran utama dalam kisah hidup kita sendiri. Namun, sudahkah kita berlaku layaknya pemeran utama? Sang jagoan yang tidak pernah diam. Film mana yang seru kalau jagoannya hanya diam? Pemeran utama itu tidak pernah diam, tidak pernah ragu mengambil sikap, tidak pernah meninggalkan permasalahan, malah selalu menjadi yang terdepan dalam mengambil tindakan karena jagoan tahu kalau dia tidak bertindak, maka persoalan itu tidak akan pernah selesai. Dialah pemeran utamanya, dialah penggerak ceritanya, dialah yang membentuk ceritanya sendiri, bukan menunggu orang lain membuat keputusan atas nasibnya. Itu baru pemeran utama. Kalau kita percaya bahwa kita adalah pemeran utama dalam kehidupan kita sendiri, lalu mengapa kita kerap diam? Seringkali tidak bisa atau bahkan tidak mau mengambil keputusan? Bahkan membiarkan nasib kita diputuskan oleh keputusan orang lain. Bukankah kita pemeran utamanya?
Postingan sederhana itu sempat mengusik saya, seperti menampar wajah saya sembari menunggu saya untuk bergerak. Rasanya selama saya hanya diam, saya akan terus tertampar oleh pertanyaan, “Apakah saya pemeran utama dalam kehidupan saya sendiri?”. Sebuah tamparan yang sangat ‘menyegarkan’. Jarang-jarang saya tersenyum usai ditampar, tapi kali ini saya senang ada yang membangunkan saya. Yes, I am the Main Character! Saya harus bergerak, memutuskan sendiri, dan menindaklanjuti keputusan saya sampai tuntas! Ini kehidupan saya, maka sayalah pemeran utamanya.
Sebagai insan pers, kesadaran itu muncul di tengah pekerjaan saya mengawasi hiruk-pikuk pemilu yang akan berlangsung dalam hitungan beberapa bulan lagi. Saya jadi teringat tentang pemilu pertama saya puluhan tahun lalu. Saya masih ingat sekali TPS tempat saya mencoblos, warna tendanya, bentuk surat suaranya, bahkan sampai petugas TPS-nya pun saya masih ingat (Kebetulan memang Pak RT setempat, jadi mudah mengingatnya). Saya harus akui, saat itu saya masih sangat naif, masih ignorant, masih bertanya pada orang tua saya “Nanti saya pilih siapa ya?” Meskipun ayah dan ibu saya sempat mengenalkan saya pada semua calon, pada akhirnya saya hanya ikuti saja pilihan mereka, because I didn’t know any better. Andaikan saat itu sudah ada media sosial dan saya sudah merasakan ‘tamparan segar’ dari postingan tadi, mungkin saya akan melakukan aksi yang berbeda.
Saya tidak tahu apakah semua orang mengingat pemilu pertama mereka, seperti cerita tadi. Tapi menurut saya, menjadi seorang pemuda dan pemudi, yang akhirnya diberi hak untuk terlibat dalam menentukan nasib bangsa, itu rasanya menggairahkan sekali. Meski saya masih bodoh dan terlalu naif saat itu, saya ingat bahwa waktu itu saya merasa kuat. Saya merasa diberi kepercayaan besar, sampai-sampai saya yang hanyalah seorang pelajar ini ikut diberikan kesempatan untuk menentukan siapa pemimpin negeri ini, dan itu membanggakan. Itulah kenapa saya selalu ingat pemilu pertama saya, karena saya ingat bagaimana perasaan saya saat menjalankannya. People remember how things make them feel. Saya boleh lupa siapa-siapa saja wakil rakyat yang saya pilih saat itu, tapi saya tidak akan lupa perasaan saat saya melangkah masuk ke bilik suara untuk menentukan pilihan saya.
Tulisan ini ditujukan bagi para pemilih pertama, yang seperti saya puluhan tahun lalu, baru pertama kali diberikan mandat dan kepercayaan yang begitu besar oleh konstitusi untuk ikut menentukan nasib bangsa Indonesia. Sistem negara kita menentukan “One man one vote” yang berarti setiap suara bernilai sama di mata hukum, tidak peduli apakah seseorang itu seorang pengusaha besar, selebgram terkenal, atau presiden sekalipun, nilai suara orang tersebut sama dengan nilai suara kita. Siapa pun kita, apa pun profesi kita, sebaik atau seburuk apa pun kondisi ekonomi kita, selama kita memang memiliki hak suara, nilainya SAMA.
Jangan pernah merasa suara kita hanya akan menggarami lautan, karena tiap suara menentukan. Kalaupun kita sampai memutuskan untuk tidak memberikan suara kita pada siapa pun, saya selalu menekankan, bahwa yang paling penting adalah kita melakukan hal tersebut dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Tanggung jawab berarti kita memang sudah mempelajari para calon dan tidak satu pun berhasil memenangkan suara kita, bukan karena kita malas mencari tahu. Tidak memilih pun ada cara yang baik yakni tetap datang ke bilik suara, memastikan identitas kita, dan memastikan suara dan hak kita tidak diambil oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Jangan hanya diam dan membiarkan nasib kita ditentukan oleh pilihan orang-orang lain. Bukankah kita pemeran utama dalam kisah hidup kita sendiri?
So, let’s go do some Main Character stuff, mari bergerak, mengambil tanggung jawab, dan menggunakan hak suara kita. Selamat memilih!
Juara Mission Blue Hope Spot Rili Djohani Dedikasikan Puluhan Tahun Melindungi Keanekaragaman Hayati Laut di Bali dengan dukungan dari Rolex Perpetual Planet Initiative
Yayasan Bakti Untuk Bangsa Bekerja Sama dengan Happy Hearts Indonesia Merevitalisasi Infrastruktur PAUD Ar Rafa Bogor
Melihat Lebih Dekat Upaya Rolex Melindungi Ekosistem Kelautan di Teluk Exmouth dan Wilayah Warisan Dunia Pantai Ningaloo