LIFE

15 Februari 2022

Carina Joe Mengubah Dunia Lewat Dunia Penelitian


Carina Joe Mengubah Dunia Lewat Dunia Penelitian

Kisah perjuangan Carina Joe dalam dalam menciptakan formula untuk produksi massal vaksin AstraZeneca.

Ilmuwan Indonesia di balik produksi massal vaksin AstraZeneca. Carina Joe adalah penemu formula untuk pembuatan jumlah besar vaksin Covid-19 AstraZeneca, vaksin yang digunakan banyak orang di dunia, termasuk Indonesia, dalam mencegah penyakit berat dan menurunkan angka jumlah kematian yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Carina menemukan cara untuk memproduksi lebih banyak vaksin Oxford AstraZeneca. Metode yang ia temukan menjadi landasan produksi massal berbagai perusahaan farmasi di seluruh dunia sehingga vaksin bisa didistribusikan ke berbagai negara dalam waktu singkat. Carina mendapatkan formula untuk memperbanyak vaksin dengan cara yang “sederhana”. Dalam penelitiannya, ia menggunakan 30 mililiter sel atau 2 sendok makan untuk menemukan proses produksi yang bisa meningkatkan hasil produksi vaksin hingga 10 kali lebih banyak. Selama 1,5 bulan Carina kemudian berhasil menaikkan skalanya menjadi 200 liter atau 6.700 kali lipat lebih besar. Metode ini ia ditemukan setelah Carina melakukan penelitian sejak November 2019 dan mengonfirmasi ulang pada akhir Januari 2020 silam.

Yang perempuan ini lakukan sangatlah penting sebab jumlah vaksin yang didapatkan dari sel sangat berkaitan dengan biaya produksi. Maka fakta bahwa Carina bisa sangat produktif menghasilkan vaksin, artinya vaksin bisa diproduksi dengan biaya yang relatif murah. Dan dengan harga yang terbilang rendah, maka akan semakin banyak orang di seluruh dunia yang bisa menjangkau vaksin Oxford AstraZeneca. Yang juga sangat penting adalah Carina menerapkan protokol yang cukup sederhana sehingga vaksin mudah direplikasi secara cepat oleh perusahaan-perusahaan pembuat vaksin di seluruh dunia. Hingga akhir 2021, AstraZeneca sudah mendistribusikan 3 miliar dosis vaksin Covid-19 ke seluruh dunia. Sejauh ini vaksin Oxford AstraZeneca adalah vaksin yang paling banyak didistribusikan dibanding vaksin Covid-19 lainnya yakni ke lebih dari 170 negara, termasuk Indonesia. Dan hal ini bisa terwujud berkat formula yang ditemukan Carina.

photography JOHN CAIRNS

Lahir di Jakarta, sejak kecil Carina Joe sudah menunjukkan ketertarikan yang besar pada sains dan ilmu pengetahuan. Kesenangan itu makin menjadi jadi setelah ia mendapat pelajaran bioteknologi dan manipulasi genetik ketika ia bersekolah di SMAK 1 BPK Penabur Jakarta. Namun saat itu belum banyak perguruan tinggi di Indonesia yang mengajarkan bioteknologi. Maka Carina memutuskan untuk kuliah bioteknologi dan meraih gelar Bachelor of Science dari The University of Hong Kong. Ia kemudian mengambil pendidikan master di Royal Melbourne Institute of Technology, lalu melanjutkan studi dan memperoleh gelar doktor dari universitas yang sama. Pengalamannya di laboratorium dimulai ketika ia mengisi posisi magang sebagai petugas proyek penelitian, khusus bagian proses manufaktur skala besar produk biologis, untuk uji klinis dengan ISO9001 dan cGMP (current Good Manufacturing Practice) standar di CSIRO (Commonwealth Scientific Research Organization), Australia.

Di tengah kuliah magister, Carina direkrut oleh Jenner Institute, bagian dari Nuffield Department of Clinical Medicine di Oxford University, Inggris. Dan kini bekerja sebagai peneliti senior postdoctoral, yang salah satu tugasnya melakukan proyek pengembangan proses manufaktur cGMP skala besar untuk ChAdOx1-nCoV19 (vaksin Covid-19 Oxford AstraZeneca yang berbasis vektor adenovirus) bekerja sama dengan AstraZeneca. Carina juga memberikan alih teknologi proses pembuatan vektor virus kepada para kolaborator dalam konsorsium pembuatan vaksin Covid-19 seperti AstraZeneca, Pall Life Sciences, Halix (Belanda), Cobra Biologics (Amerika Serikat, Inggris, Swedia), Oxford Biomedica (Inggris), Novasep (Belgia), Albany Molecular (Amerika Serikat), Reig Jofre (Spanyol), WuXi Biologics (Tiongkok), Serum Institute of India, SK Bioscience (Korea Selatan), R-Pharm (Jerman), CSL (Australia), Siam Bioscience Group (Thailand), dan mAbxience (Argentina).

photography JOHN CAIRNS

Saya senang jika Anda berkenan menceritakan bagaimana pengalaman Anda dalam menemukan formula produksi massal vaksin Oxford AstraZeneca.

“September 2019 saya tiba di Inggris dan baru bergabung dengan Jenner Institute. Saat itu saya sedang mengerjakan proyek manufaktur skala besar vaksin rabies dan lassa fever. Sejak September 2019, saya melakukan penelitian lalu memperoleh hasil di akhir Desember 2019 dan dikonfirmasi ulang pada akhir Januari 2020. Januari 2020, atasan saya, Sandy Douglas, memberi tahu bahwa sedang terjadi wabah penyakit di Wuhan, Tiongkok. Waktu itu saya menganggapnya sebatas endemi dan tidak mengira virus ini akan menyebar luas menjadi pandemi. Februari 2020, keadaan makin gawat. Banyak negara melaporkan kasus positif Covid-19 di negara mereka. Kami pun memutuskan untuk segera menyiapkan vaksinnya. Dari formula 30 mililiter dinaikkan skalanya menjadi 200 liter. Dan membutuhkan waktu 1,5 bulan untuk menemukan proses untuk ‘scale up’ ini. Jadi 6.700 kali lipat lebih besar skalanya yang saya temukan dalam waktu 1,5 bulan dengan kualitas dan hasil produksi yang harus sama persis. Teknologinya sama, namun targetnya berbeda. Saya berpacu dengan waktu karena vaksin ini masih harus melewati tahapan uji klinis untuk bisa digunakan oleh tubuh manusia sementara di banyak negara sudah makin banyak orang yang tertular penyakit Covid-19.”

Apa peran Anda dalam pekerjaan luar biasa ini?

“Saya membuat protokol proses produksi vaksin. Prosesnya panjang dan standarnya sangat tinggi. Mengembangbiakkan virus, melakukan purifikasi, serta menguji klinis agar aman dan efektif dipakai tubuh manusia. Protokol produksi ini kemudian dikirim dalam bentuk dokumen yang kami transfer ke 25 laboratorium manufaktur di 15 negara dan 5 benua. Mereka akan memproduksi vaksin sesuai dengan protokol yang saya kembangkan di laboratorium Oxford. Mirip seperti konsep franchise, seluruh laboratorium yang menjadi kolaborator harus mengikuti protokol yang sudah saya buat. Yang melakukan pengecekan standar vaksin adalah AstraZeneca, perusahaan farmasi global Inggris-Swedia yang terdapat di berbagai negara. AstraZeneca mengambil alih program manufaktur global dan bertanggung jawab untuk memeriksa kualitas vaksin AstraZeneca dari masing-masing kolaborator.”

photography JOHN CAIRNS

Dan Anda melakukan semuanya sendirian. Bagaimana Anda melewati masa-masa penuh tantangan?

“Saya bekerja 18 jam sehari, 7 hari seminggu. Dan punya waktu hanya 1,5 bulan untuk membuat proses manufaktur yang lengkap. Tidak ada waktu istirahat karena pandemi terus merajalela di berbagai negara dunia dan proses produksi vaksin harus segera rampung. Saya mengerjakannya sendiri karena sulit merekrut orang baru di tengah pandemi. Dan benar-benar tidak boleh bikin kesalahan. Karena sekali salah, maka saya harus mengulang proses dari awal sedangkan kami tidak punya waktu untuk itu. Kuncinya adalah ketelitian. Memastikan seluruh persiapan sebelum memulai eksperimen. Dan tentunya menjaga diri agar tidak sakit. Makan 3 kali sehari dan hanya mengonsumsi makanan yang sudah disiapkan project manager. Rutinitas bepergian hanya rumah dan laboratorium. Menghindari bertemu banyak orang agar saya tidak tertular ataupun menularkan penyakit Covid-19. Sempat merasa tidak kuat dan saya ingin mundur dari proyek ini. Atasan saya kemudian berkata, ‘Carina, sebagai saintis, tanggung jawab kita saat ini adalah melakukan upaya terbaik. Apa yang kita kerjakan mungkin bisa menolong hidup banyak orang di seluruh dunia, Maka lakukan pekerjaan ini demi tujuan kemanusiaan, membantu menyelamatkan jiwa manusia dari kesakitan dan kematian.’ Kalimat ini berhasil menguatkan dan mengembalikan semangat saya.”

Setelah memiliki pengetahuan dasar tentang cara kerja virus dan vaksinnya, bagaimana hal ini dapat membantu kita untuk mempersiapkan pandemi virus lainnya di masa depan?

“Kami selalu menganjurkan orang-orang agar segera melakukan vaksinasi. Sebab mutasi virus terjadi apabila masih banyak populasi yang tidak divaksin. Tubuh seseorang yang belum vaksinasi adalah lingkungan kondusif untuk virus bisa bermutasi. Maka penting untuk semua orang agar segera menerima vaksin agar kondisinya berubah dari pandemi menjadi endemi, dan mudah-mudahan virus ini jadi tidak berbahaya lagi. Tentu ada mutasi-mutasi yang menurunkan efektivitas vaksin. Kami selalu mengamati apakah terjadi penurunan drastis dalam mencegah penyakit berat dan kematian. Perusahaan seperti AstraZeneca, Pfizer, dan Moderna kini tengah mempersiapkan vaksin untuk varian virus yang baru. Namun perusahaan-perusahaan tersebut belum menyarankan untuk menggunakannya karena vaksin yang sekarang dinilai masih sangat efektif untuk mencegah penyakit berat dan tingginya angka kematian akibat Covid-19.”

photography JOHN CAIRNS

Apa agenda dan rencana Anda selanjutnya?

“Pekerjaan tidak berkurang, namun urgensinya tidak setinggi tahun lalu. Sekarang saya bisa memilih pekerjaan mana yang harus dilakukan hari ini dan mana yang bisa diselesaikan besok. Saya tetap bekerja dengan AstraZeneca untuk menerapkan continuous improvement dalam manufaktur proses produksi vaksin. Kami juga sedang melakukan proyek kolaborasi untuk membuat platform vaksin yang lebih baik. Teknologi yang kami pakai saat ini adalah Chimpanzee Adenovirus Vektor. Untuk mengatasi pandemi berikutnya, kami ingin memiliki teknologi lain. Saya belum bisa bilang teknologinya apa, namun kami ingin menghadirkan inovasi dan ide-ide baru agar teknologi ini bisa digunakan untuk pandemi berikutnya. Saya pun berharap suatu saat nanti saya bisa memimpin perusahaan farmasi global, dengan visi dan misi seperti yang dilakukan AstraZeneca. Oxford University memiliki regulasi bahwa perusahaan farmasi yang menjadi mitra Oxford tidak diperkenankan mengambil profit selama pandemi. Dan dari semua perusahaan farmasi, hanya AstraZeneca yang menyanggupi syarat tersebut. Saya senang luar biasa ketika tahu AstraZeneca tidak mengambil profit karena artinya akan ada lebih banyak lagi orang yang bisa menjangkau vaksin ini, terutama di negara-negara berkembang. Dan saya ingin meniru langkah AstraZeneca yang mengambil keputusan bijak serta meletakkan prinsip kemanusiaan di atas kepentingan finansial.”