LIFE

10 September 2019

Catatan Eksklusif Angelina Jolie Menyoroti Peran Perempuan


Catatan Eksklusif Angelina Jolie Menyoroti Peran Perempuan

Maleficent: sebagai kata sifat, berarti menyebabkan atau mahir menimbulkan kejahatan atau kerusakan; berbahaya atau sangat buruk [diartikan dari bahasa Latin maleficent-, gabungan kata maleficus: jahat, rentan terhadap kejahatan; dan malum, keburukan]. Malefice: Sebagai kata benda, (dalam tulisan kuno) perbuatan jahat atau pesona kejahatan. Ada apa dengan kekuatan perempuan yang bebas namun dianggap begitu berbahaya sepanjang sejarah? Pada masa silam, sabda dalam kitab Perjanjian Lama, “Seorang ahli sihir perempuan janganlah engkau biarkan hidup,” diterapkan secara harfiah. Puluhan ribu orang dieksekusi untuk sebuah kesalahan, dugaan atas kejahatan lewat praktik ilmu sihir, dari perburuan penyihir di Eropa hingga peristiwa persidangan Salem di Amerika. Sebagian besar dari mereka yang dieksekusi adalah perempuan.

Bak teori konspirasi pemungkas, segala hal yang tidak bisa Anda jelaskan—mulai dari gagal panen hingga anak-anak yang jatuh sakit— diarahkan kepada peranan seorang perempuan yang dianggap berkekuatan jahat. Mereka yang disangkut pautkan umumnya adalah seorang janda miskin yang mencari eksistensi sebagai tabib di kalangan masyarakat pinggiran, atau perempuan muda dengan pesona menggoda sangat mudah dikaitkan dengan ilmu sihir.

angelina jolie writes for elle us

Perempuan dapat dituduh melakukan sihir karena mengutarakan pendapat tentang politik atau agama, karena memiliki kemandirian dalam kehidupan seksual, atau karena memiliki gaya berpakaian berbeda. Seandainya saya hidup lebih awal di era tersebut, saya bisa jadi sudah dibakar di tiang pancang berkali-kali hanya karena menjadi diri sendiri.

Tuduhan sihir telah dimanfaatkan untuk mengendalikan dan membungkam perempuan, di hampir semua kalangan masyarakat dan di setiap abad. Joan of Arc dihukum mati dengan cara dibakar, di Prancis abad ke-15, atas alasan penyembahan berhala dan bidat, termasuk mengenakan pakaian laki-laki. Dakwaan awal terhadap dirinya termasuk ilmu sihir, dan ia dituduh menari di dekat ‘pohon peri’ pada malam hari—tindakannya dimaknai sebagai perilaku penyihir.

Hal tersebut rasanya sangat konyol cenderung hampir terasa lucu, hingga Anda menyadari bahwa seorang perempuan menari atau bernyanyi di depan umum dipandang ilegal atau tidak senonoh di banyak negara hari ini. Perempuan-perempuan warga Iran yang mengunggah video dirinya tengah menari, dianggap menantang apa yang ditafsirkan oleh hukum dan dogma agama di negara tersebut yaitu sebagai perilaku yang tidak dapat diterima dari seorang perempuan, enam abad kemudian.

Sejak dahulu kala, perempuan yang memberontak pada apa yang dianggap normal oleh masyarakat—bahkan tanpa bermaksud sengaja—dicap tidak lazim, aneh, jahat, dan berbahaya. Apa yang mengherankan adalah perpanjangan eksistensi mitos dan prasangka semacam ini telah bertahan selama berabadabad dan masih mewarnai dunia tempat kita hidup masa ini. Suatu kejutan betapa seringnya perempuan yang mencalonkan diri di bangku politik di negara-negara demokratis digambarkan sebagai penyihir. Kumpulkan sekelompok perempuan berdaya, dan tak lama kemudian seseorang akan melabeli mereka ‘coven’—istilah teknis sebuah perkumpulan para penyihir di malam hari untuk berkawan dengan iblis. Perempuan yang membela hak asasi manusia di banyak negara masih dicap ‘menyimpang’, ‘ibu yang buruk’, ‘pribadi rumit’, atau ‘hilang akal’.

Dalam bekerja, saya sering bepergian ke negara-negara di mana saya sadar bahwa jika saya seorang warga di negara tersebut, keyakinan dan tindakan saya sebagai seorang perempuan dapat menggiring saya ke penjara atau mendekatkan pada ancaman bahaya fisik. Para perempuan pembela hak asasi di seluruh dunia, dikurung atas pandangan politik mereka atau karena membela diri juga orang lain, dengan keberanian yang sulit saya bayangkan. Dengan seluruh kemajuan teknologi kita, kemerdekaan dan energi kreatif perempuan masih sering dipandang sebagai kekuatan berbahaya untuk dikendalikan, seringkali dilandasi ajaran agama, adat, atau budaya.

Diperkirakan 200 juta perempuan yang hidup hari ini telah menderita mutilasi genital. Atau sekiranya 650 juta perempuan dewasa dan remaja, di seluruh dunia, yang dipaksa menikah sebelum genap berusia 18 tahun. Ratusan perempuan dibunuh oleh anggota keluarga dengan asas yang disebut pembunuhan demi kehormatan, setiap tahunnya, sebagai bentuk hukuman karena mewujudkan kehendak bebas mereka sendiri. Dan ketika ribuan perempuan Sudan turun ke ke jalanan Khartoum menyerukan diadakannya pemilihan bebas di negara mereka musim panas ini, sebuah perintah dikeluarkan untuk ‘patahkan upaya perempuan-perempuan tersebut,’ yang mengarah pada sejumlah dugaan pemerkosaan oleh pasukan keamanan.

Tidak satu pun dari kelaziman tersebut bertujuan untuk menghentikan atau meredam seketika tindak pelecehan mengerikan yang dilakukan laki-laki dewasa dan remaja— termasuk menuduh mereka menggunakan sihir modern. Tetapi melihat ke seluruh dunia, kita harus mempertanyakan, mengapa begitu banyak energi yang dikerahkan untuk menjaga agar perempuan tetap di posisi kedua?

Dilihat dari sudut ini, ‘perempuan jahat’ dipahami sebagai perempuan yang lelah dengan ketidakadilan dan tindak pelecehan. Perempuan yang menolak untuk mengikuti aturan dan norma yang mereka tidak yakin merupakan hal terbaik untuk diri sendiri serta keluarga mereka. Perempuan yang tidak akan menyerahkan suara dan hak-hak mereka, bahkan dengan risiko kematian, hukuman penjara, hingga penolakan oleh keluarga serta komunitas.

Jika semua itu adalah kejahatan, maka dunia membutuhkan lebih banyak ‘perempuan jahat’.

Namun juga adalah benar bahwa perempuan tidak bangun setiap pagi dan menginginkan berkelahi. Kami ingin mampu menjadi lembut, mengasuh, anggun, dan penuh kasih— tidak semua orang dilahirkan untuk bertarung. Dan kami tidak memiliki kekuatan magis. Apa yang kami miliki adalah kemampuan untuk mendukung satu sama lain, dan untuk bekerja dengan banyak lakilaki hebat yang menghargai dan menghormati perempuan sebagaimana sederajat. Saya memikirkan seorang bapak yang saya temui kala kunjungan pertama saya ke sebuah kamp pengungsi Afghanistan di Pakistan, pada masa pemerintahan Taliban. Dia telah dipukuli dengan sangat brutal karena mengirim putriputrinya ke sekolah, hingga bagian matanya menguning karena organ hatinya rusak. Saya berpikir tentang seorang suami warga Suriah yang memiliki istri lumpuh usai tulang belakangnya ditembak oleh penembak jitu. Mereka tinggal di kamp pengungsian, tanpa harta benda dan tidak punya tempat tujuan, tetapi rasanya saya belum pernah melihat pasangan yang lebih penuh kasih atau suami yang berbakti. Dan saya sangat bangga dengan bagaimana putra-putra saya tumbuh besar, cara mereka menghormati saudara perempuan mereka dan sebaliknya.

Siapa diri kita seharusnya di dalam hidup ini adalah sosok yang kita semua harus upayakan untuk diri kita sendiri. Saya pikir kita bisa sering keluar dari jalur sebagai perempuan, karena naluri kita adalah untuk memelihara diri atau menyesuaikan diri dengan harapan masyarakat. Mungkin sulit meluangkan waktu untuk bertanya kepada diri sendiri tentang keinginan kita—bukan apa yang kita pikir orang akan terima dan setujui, tetapi siapa kita sebenarnya. Namun ketika Anda mendengarkan diri sendiri, Anda dapat membuat pilihan untuk melangkah maju, belajar dan berubah.

Saya ingat, pertama kali momen tersebut datang kepada saya. Saat saya berusia 20-an, bertemu dengan para pengungsi di Sierra Leone pada periode akhir perang saudara yang brutal. Saya memahami untuk pertama kalinya level kekerasan yang ada di dunia, dan kenyataan hidup bagi jutaan orang yang terkena dampak konflik serta terpaksa hidup berpindah. Dan saya menemukan pekerjaan serta tujuan hidup saya. Saya sering mengatakan pada putri saya bahwa hal paling penting yang dapat mereka lakukan adalah mengembangkan pemikiran. Anda selalu dapat mengenakan gaun cantik, tetapi tidak ada artinya apa yang Anda kenakan jika pikiran Anda tidak berdaya. Tidak ada yang lebih menarik—Anda bahkan bisa katakan memesona—selain seorang perempuan dengan kemandirian dan pendapatnya sendiri.

Dengan cinta untuk semua ‘perempuan jahat’, dan laki-laki yang mengerti pribadi mereka,

Angelina.