LIFE

1 Januari 2021

Lala Timothy: Regenerasi Perfilman Indonesia


Lala Timothy: Regenerasi Perfilman Indonesia

12 tahun lalu saya jatuh cinta pada sebuah naskah berjudul Pintu Terlarang. Saya bertekad untuk menjadikannya karya film. Sebagai produser baru yang belum pernah memproduseri film, nyali itu muncul tanpa saya sendiri menyadarinya. Hanya berbekal pengalaman kerja di kantor periklanan, selain juga saya memang sangat suka dunia film. Namun nyatanya, perjalanan mewujudkan mimpi tidak selalu indah berbunga-bunga. Ada proses jatuh-bangun ketika anak baru masuk ke dunia baru.

Sampai hari ini, saya tidak mungkin lupa pertama kali ditolak mentah-mentah oleh para investor dan sponsor. Tidak satu-dua kali, tapi berkali-kali. Film Pintu Terlarang memang genrenya tidak lazim pada masa itu, psychological thriller dengan plot twist dan sedikit nuansa noir. Film tersebut adalah karya Joko Anwar, sutradara sekaligus penulis yang pada waktu itu pun masih jadi anak baru dengan pengalaman menyutradarai dua karya film. Singkat cerita, karya ini akhirnya berhasil diselesaikan dan diproduksi dengan baik.

pintu terlarang
Photo courtesy Lifelike Pictures

Tantangan tidak berhenti. Patah hati paling besar ketika Pintu Terlarang tayang di bioskop namun tak bisa bertahan lama karena sepi peminat. Saat itu saya berpikir untuk mundur dari industri film. Dan Pintu Terlarang mungkin menjadi satu-satunya film yang pernah saya produksi.

Beberapa bulan kemudian, saya kembali menerima naskah. Judulnya Modus Anomali. Jalan ceritanya sangat menarik, sehingga muncul semangat untuk kembali memproduseri film. Kali ini saya berusaha lebih keras lagi. Usai menyelesaikan produksi film kedua, saya melanjutkan ke film-film berikutnya; Tabula Rasa, Banda: The Dark Forgotten Trail, dan Wiro Sableng.

elle indonesia women in cinema - lala timothy - ifan hartanto
photography IFAN HARTANTO styling SIDKY MUHAMADSYAH - ELLE Indonesia Edisi Maret 2019

Sebagai anak baru di dunia film, saya harus mencari jalan sendiri untuk bisa bertahan di industri ini. Proses belajar dilakukan sambil berkarya. Film merupakan salah satu industri yang paling berat dibanding industri lainnya. Suatu kategori bisnis dengan risiko tinggi karena bentuknya tidak menentu. Kecilnya pasar perfilman Indonesia turut menyebabkan tingginya persaingan. Para pelakunya dituntut peka pada perubahan zaman. Seorang produser harus tanggap pada dinamisme dunia film, termasuk soal strategi investasi, pemasaran, distribusi, teknologi, dan tren kreativitas penceritaan. Kemampuan beradaptasi juga berlaku bagi sutradara, penulis, kru dan para pemainnya.

Salah satu upaya menimalisir risiko, biasanya dengan mengambil segala sesuatu yang sudah dikenal banyak orang. Karena itu lahir banyak cerita adaptasi, misalnya adaptasi dari novel, sinetron, ataupun film sebelumnya. Termasuk dalam hal mencari pemain. Tidak banyak produser yang berani bekerja sama dengan bakat-bakat baru; sutradara baru, penulis baru, director of photography yang baru, ataupun aktor baru. Ada tuntutan yang terbentuk yakni memilih aktor yang sudah berpengalaman. Para pemain yang mempunyai “fan base” dengan jumlah besar dan angka followers yang tinggi di media sosial jadi bahan pertimbangan lainnya.

photography IKMAL AWFAR styling SIDKY MUHAMADSYAH - ELLE Indonesia edisi September-Oktober 2020_DSF7931
photography IKMAL AWFAR styling SIDKY MUHAMADSYAH - ELLE Indonesia edisi September/Oktober 2020

Tahun 2019, industri film Indonesia bertumbuh secara signifikan. Ketersediaan layar bioskop meningkat, jumlah penonton mencapai 51,2 juta, semakin banyaknya film Indonesia yang menembus pasar internasional, ditambah potensi pasar yang membesar. Jumlah pekerja film di Indonesia juga terus meningkat. Sejak 1998 sampai 2017, ada 23.000 orang yang terlibat sebagai pekerja film. Namun, kemajuan ini diikuti tingginya tingkat turnover pekerja. Artinya pertumbuhan industri film tidak berkorelasi dengan pertumbuhan sumber daya manusianya. Sehingga saat ini tantangan besar yang dihadapi bukan lagi tentang pendanaan, melainkan soal pekerja film yang berkualitas.

Salah satu pemicu masalah tersebut adalah adanya konsep rekomendasi atau rekrutmen langsung dari mereka yang berpengalaman. Sehingga peluang bakat-bakat baru untuk bisa berkarya jadi bergantung pada bantuan seniornya. Dan pada akhirnya, kita memang harus sekaligus butuh untuk menyambut talenta-talenta muda dengan membimbingnya agar menjadi pekerja film yang berkualitas. Alih-alih menjadi saingan, bakat-bakat baru justru merupakan elemen penguat yang dibutuhkan untuk sama-sama memajukan perfilman Indonesia.

Kita semua pernah menjadi anak baru. Dan karena itu, sudah sepatutnya seluruh individu di perfilman Indonesia dapat saling bekerja sama berbagi ilmu. Berkolaborasi untuk mematangkan etos kerja dan meningkatkan kualitas diri dengan satu tujuan, memajukan industri perfilman Indonesia.