24 Agustus 2018
Maria Farida: Hakim Perempuan Pertama di Indonesia

Kami menyimak perjuangan Maria Farida, Hakim Konstitusi Republik Indonesia, yang gigih tegakkan hukum secara bermartabat dan jaga kebhinnekaan Indonesia.
Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH., MH menjadi hakim perempuan pertama dan satu-satunya di antara 9 hakim di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Perempuan kelahiran Solo. Jawa Tengah, 14 Juni 1949 ini menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pernah mendapat predikat ‘mahasiswi teladan’. Di universitas yang sama, Maria menyelesaikan pendidikan notariat, lalu memperoleh gelar master dan doktor Ilmu Hukum. Ia mengawali karier sebagai dosen Ilmu Perundang-undangan. Di luar kampus, Maria terlibat dalam pembuatan undang-undang dan pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Perundang-undangan di Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, serta Tim Pakar Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Departemen Pertahanan Republik Indonesia. Tahun 2008, Maria Farida diangkat menjadi Hakim Konstitusi atas usul presiden dan kembali terpilih pada periode 2013-2018. Ia dikenal tegas dan berani berbeda pendapat. Sulit sekali menggoyang keyakinan Maria. Namun di luar ketegasannya, ia mudah tersenyum ramah dan tertawa lepas. Tuturnya halus, meski pun ia juga terlihat sangat berhati-hati dalam berkata. Saya menemui Maria di ruang kerjanya, di lantai 13 gedung Mahkamah Konstitusi. Meja kerjanya rapi, buku-buku disusun teratur. Apa fungsi Mahkamah Konstitusi? Mahkamah Konstitusi (MK) adalah penyeimbang dalam pembuatan peraturan dan perundang-undangan yang tidak sesuai etika, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pijakannya. Karena Indonesia adalah negara demokrasi, maka bisa dibilang MK berfungsi sebagai penjaga demokrasi. Yang MK lakukan adalah menjaga hak-hak konstitusi warga negara dan melindungi hak asasi manusia. Kami punya wewenang yaitu menguji undang-undang, memutus sengketa kewenangan negara, memutuskan perselisihan hasil pemilu, memberikan putusan jika DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) menganggap presiden melangggar konstitusi, dan pembubaran partai. Artinya MK sebagai lembaga negara yang sifatnya pasif? “Betul, saya sebagai hakim konstitusi tidak bisa bergerak maju jika tidak ada pemohon yang datang ke MK. Kalau undang-undangnya diuji kemudian disidangkan, saya bisa maju untuk mengemukakan pendapat. Saya bersama 8 hakim lainnya tidak bisa ikut campur dalam merevisi undang-undang. Yang mengubah isi undang-undang itu dilakukan presiden (yang biasanya diwakili oleh Kementerian Hukum), kementerian lain yang berhubungan dengan undang-undangnya, dan DPR.” Biasanya, dalam hal apa undang-undang perlu diuji? “Perubahan undang-undang, misalnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dilakukan untuk menyesuaikan undang-undang dengan kondisi zaman. KUHP di Indonesia itu warisan zaman kolonial Belanda. Jika tidak mereka ubah, bisa-bisa Indonesia seperti saat ini. Contohnya ya, Undang-Undang Penodaan Agama, yang menurut saya, itu perlu diubah supaya jelas definisi dan batasannya dan nggak gampang memicu keributan.” Sebagai hakim konstitusi, Anda punya wewenang untuk menguji undang-undang. Putusan Anda dan hakim lainnya menjadi sangat berpengaruh. Ini rentan sekali dengan orang-orang yang ingin menyuap demi melancarkan agenda tersembunyi. Bagaimana sikap Anda? “Untungnya saya ini galak dan cukup keras, mungkin karena itu jadi tidak pernah didekati pihak-pihak yang ingin bermain curang. Tetapi sebagai hakim, saya punya selalu memegang janji untuk tetap menjaga diri sendiri dari berbagai kepentingan. Sebetulnya sederhana aja, saya selalu mensyukuri apa pun yang saya dapat. Kalau saya minta lebih, artinya saya tidak bersyukur ‘kan? Sifat manusia memang ingin berlebih. Ya kalau pun kita ingin berlebih, kejarlah dengan cara terpuji.” Salah satu tugas MK adalah melindungi hak asasi manusia. Namun persoalan hak asasi bisa menjadi sangat luas. Setiap pasal dalam undang-undang bisa dipermainkan. Apakah ini menjadi tantangan bagi Anda? “Isu soal hak asasi memang sering kali memicu timbulnya pasal karet, pasal bisa dimainkan sesuai keinginan pihak yang berkepentingan dan memainkan ketentuan. Bukan saja menjadi subjektif, tapi pasal bisa berlawanan dengan semangat demokrasi. Di sini lah saya dan hakim lainnya punya hak untuk melakukan dissenting opinion atau sikap perbedaan pendapat. Dissenting opinion adalah pendapat satu atau lebih hakim dalam suatu perkara yang menyatakan ketidaksetujuan dengan pendapat mayoritas majelis hakim dalam menilai suatu hal tertentu. Meski pun bisa aja dissenting opinion ini nggak berpengaruh terhadap putusan, tetapi bisa digunakan untuk memancing perubahan dalam hukum atau undang-undang.” Anda menjadi sorotan karena sering kali mengajukan argumen-argumen yang berbeda dengan hakim lainnya. Anda satu-satunya hakim yang melakukan dissenting opinion terhadap undang-undang yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia. Mengapa demikian? “Begini, menurut saya, yang paling berpotensi menghancurkan persatuan Indonesia adalah urusan agama. Agama itu persoalan keyakinan. Anda bisa bilang agama saya salah, tapi bagi saya ini benar. Dalam dissenting opinion, saya tegaskan bahwa negara seharusnya tidak boleh ikut campur dalam urusan meyakini kepercayaan tertentu. Hanya jika ibadah saya mengganggu orang lain, maka negara bisa turun tangan. Tapi selama tidak mengusik kenyamanan orang lain, mengapa negara harus ikut campur? Termasuk dalam UU Perkawinan. Kita ini hidup dalam keberagaman. Dan menikah itu dasarnya cinta. Negara seharusnya nggak bisa melarang perkawinan beda agama. Yang mesti negara lakukan adalah menjamin perlindungan hak mereka berupaya pencatatan perkawinan. Bukan malah memaksa orang lain untuk meyakini agama tertentu. Itu jelas pelanggaran HAM.” Apa pendapat Anda soal pornografi dan Pasal Perzinahan dalam KUHP yang sekarang menjadi perdebatan banyak orang? "Masalah pornografi dan kesusilaan semestinya tidak dibakukan sebagai suatu hukum positif. Karena sangat tidak mudah mendefinisikan persoalan kesusilaan dalam norma hukum positif. Dari ujung Sumatera sampai Papua, jika Anda bertanya apa itu yang disebut porno, mereka punya jawaban berbeda-beda. Bahkan hakim pun punya interpretasi masing-masing terhadap isu ini. Soal Pasal Perzinahan, saya belum bisa berkomentar karena persidangannya masih berlangsung. Saat ini saya dilarang berbicara soal Pasal Perzinahan yang kemudian dikaitkan dengan persoalan LGBT (Lesbian Gay Biseksual Transgender). Tapi saya selalu tekankan, hukum pidana tidak seharusnya masuk ke dalam ruang privat seseorang." Ada kegentingan di Indonesia saat ini. Kelompok-kelompok yang menghakimi agama dan budaya orang lain. Anda melihat ini sebagai ancaman serius bagi persatuan dan kebhinnekaan Indonesia? "Ya, saya melihat adanya gejolak. Tapi saya masih optimis negara ini akan terus berdiri dengan kebhinnekaan yang membanggakan. Saya yakin, tidak semua orang menginginkan kekacauan. Ada banyak orang-orang baik dan berintegritas di negeri ini." Pada 13 Agustus 2018, Anda resmi masuk masa pensiun. Bagaimana perasaan Anda dan apa rencana Anda setelah tidak lagi duduk sebagai hakim konstitusi? "Betul, saya pensiun dan berhenti menjadi hakim konstitusi. Bisa dibilang agak lega ya, hehehe.. Tidak sedih atau galau, karena saya masih terus berkarya. Saya akan kembali ke kampus. Mengajar mahasiswa-mahasiswa saya. Saya juga akan menulis buku, tapi masih belum boleh cerita buku tentang apa." Apa saran Anda agar kita semua mulai memelihara Indonesia di tengah ancaman dan konflik? "Hmm, mulai dari berbangga dengan Bahasa Indonesia. Belajar menjauhi pemikiran-pemikiran sempit yang membuat kita mudah menghakimi orang lain. Kita ini sedang bergerak maju, saya yakin itu. Tetapi ada yang kita lupakan. Ketika kita diam dan membiarkan sekelompok orang merasa eksklusif lalu menghakimi yang berbeda, maka kebhinekaan itu tidak akan pernah terjadi. Keberanian menyuarakan pendapat menjadi amat penting saat ini. Dengan kita diam, artinya kita setuju dan membiarkan. Kita mesti berbicara dan menunjukkan pemikiran kita dengan cara yang baik."