LIFE

22 April 2021

Mengubah Perilaku Untuk Melindungi Bumi


Mengubah Perilaku Untuk Melindungi Bumi

Selama lebih dari satu tahun, kita semua telah melewati hari-hari dalam situasi pandemi. Saya tidak pernah mengira sejauh ini manusia bisa bertahan. Kedatangan virus SARS-CoV-2 dan terjadinya pandemi nyatanya membuka mata jutaan manusia. Namun kondisi tidak selalu baik. Bagaimanapun kita berupaya agar tetap positif, adakalanya seseorang mengeluh tentang berbagai hal.

Termasuk saya. Saya si pengeluh yang selalu mencari pelarian dengan menyalahkan apa saja yang bisa dipersalahkan. Pertanyaannya, sampai kapan kita berada di posisi mengeluh dan sebatas menunggu bantuan tanpa berbuat apa-apa? Rasanya manusia harus segera menentukan tempatnya. Menggerutu tanpa memikirkan solusi, atau sesekali mengeluh tapi akhirnya memilih berbuat sesuatu.

nadine chandrawinata interview elle indonesia
Nadine Chandrawinata photography by VICKY TANZIL styling ISMELYA MUNTU for ELLE Indonesia Februari 2020

Pandemi mengubah kehidupan manusia. Tak hanya soal perilaku, tapi juga intensitas berada di rumah yang lebih tinggi dibanding masa-masa sebelumnya. Kita jadi punya waktu lebih untuk memerhatikan kehidupan dan orang-orang di sekitar. Yang artinya, alih-alih memikirkan hal-hal eksternal, pandemi membuat kita berpikir ke ‘dalam’. Melakukan kontemplasi dan merenungi hal-hal esensial dalam hidup.

Rumah. Salah satu aspek penting dalam hidup manusia. Di tempat inilah awal kehidupan seseorang. Selama ini rumah dianggap sebatas tempat beristirahat. Kini, nyaris semua aktivitas dilakukan di rumah. Saya dan Anda tak lagi keluar rumah kecuali untuk hal-hal penting. Semuanya dilakukan di rumah. Mulai dari bekerja, belajar, berolahraga, bersantai, hingga berbelanja. Siapa yang tak pernah berbelanja online? Salah satu kegiatan menyenangkan yang simpel dan praktis dalam memenuhi keinginan belanja di tengah pandemi. Namun adakah sisi buruk dari belanja online? Ya, semakin banyak barang yang dibeli artinya semakin sering plastik dan kardus terpakai untuk membungkus barang tersebut. Dilematik memang. Namun seperti pertanyaan sebelumnya, Anda memilih jadi ‘si pengeluh’ yang mana?

model MARIANGELA BONANNI photography CAYETANO GONZALEZ styling NOELIA ALVAREZ for ELLE Indonesia April 2021

Setiap persoalan, serumit apa pun, pasti selalu memiliki jalan keluar. Tidak berarti mudah dan tak selalu enak situasinya. Di sini manusia harus mengorbankan ego dan kenyamanannya. Tak terkecuali problem lingkungan dan masalah sampah plastik. Pernahkah Anda stres ketika melihat penumpukan sampah kardus dan plastik di rumah? Anda tahu ini bermasalah tapi Anda bingung mau memulai dari mana.

Saatnya kita mengurangi ‘guilty pleasure’ yang membahayakan Bumi. Mengubah perilaku kecil yang berawal dari rumah. Jika pandemi memang benar mengubah manusia, maka perilaku seseorang pun harus disesuaikan dengan perubahan zaman.

Saya ingin berbagi cerita tentang apa yang saya dan suami saya lakukan. Sesuatu yang sederhana dan tentu bisa dikerjakan oleh siapa pun. Saat saya belanja online, apabila barang pesanannya tidak membutuhkan bubble wrap, saya menuliskan pesan kepada penjualnya agar tidak perlu dikemas dengan bubble wrap dan tidak usah dibungkus kembali dengan kantong plastik. Memerlukan sedikit effort, namun langkah tersebut tidak akan sia-sia apabila dilakukan terus-menerus.

Ketika membeli produk dalam jumlah banyak, usahakan untuk menyatukan bermacam daftar barang dalam satu pembelian. Langkah ini guna menekan penggunaan pembungkus plastik. Dengan menyatukan daftar produk belanja, setidaknya barang yang Anda beli dikemas dengan volume yang lebih besar menggunakan kardus.

Anda juga bisa belanja dengan mencari toko yang dekat dengan lokasi rumah. Datangi langsung toko tersebut, siapkan kantong belanja sendiri. Atau kunjungi toko dengan berjalan kaki atau menaiki sepeda untuk menekan jejak karbon dioksida.

Jika sulit untuk sama sekali tidak memakai plastik, manfaatkan kembali plastik tersebut dan gunakan berulang-ulang agar tak memperbanyak sampah.

Saya dan suami bangga sekali telah berhasil menerapkan sistem memilah sampah dan mengompos di rumah kami. Awalnya terasa sulit dan aneh. Seringkali kami salah menentukan kategori sampah, akhirnya saling berdebat saat memasukkan sampah. Namun setelah 2 tahun menjalaninya, kami berdua bisa dibilang kompak dan berhasil memilah sampah. Termasuk menjadikan sampah sisa makanan sebagai pupuk organik. Apa rasanya ketika melakukan semua ini? Memuaskan dan menggembirakan hati!

Memilah sampah itu perlu dilakukan bukan hanya untuk meringankan beban petugas sampah, tapi juga mampu mengurangi tumpukan sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Apabila kita terbiasa melakukan pemilahan, berbagai bahan dapat didaur ulang secara mandiri dan dikreasikan menjadi ecobrick atau kerajinan.

Jadi, sudahkah siap merasakan sensasi perubahan gaya hidup yang lebih keren?